PWMU.CO – Rencana Aksi Bela Islam III atau Aksi 212 yang akan melaksanakan shalat Jum’at di jalan menuai beragam tanggapan. Ada yang pro dan kontra terkait dengan masalah ibadah yang memang “tak lazim” ini. Menanggapi problem tersebut, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa bernomor 53 Tahun 2016. Fatwa tentang “Pelaksanaan Shalat Jum`at, Dzikir, dan Kegiatan Keagamaan di Tempat selain Masjid” itu dikeluarkan pada 28 November 2016 kemarin.
Diantara putusan MUI memuat beberapa hal: ketentuan hukum, rekomendasi, dan ketentuan penutup. Dalam ketentuan hukum, Fatwa MUI memuat 9 putusan. Pertama, Shalat Jum’at merupakan kewajiban setiap muslim yang baligh, laki-laki, mukim, dan tidak ada ‘udzur syar’i. Kedua, Udzur syar’i yang menggugurkan kewajiban Shalat Jum’at antara lain : safar, sakit, hujan, bencana dan tugas yang tidak bisa ditinggalkan.
Ketiga, Unjuk rasa untuk kegiatan amar makruf nahi munkar, termasuk tuntutan untuk penegakan hukum dan keadilan tidak menggugurkan kewajiban Shalat Jum’at. Keempat, shalat Jum’at dalam kondisi normal (halat al-ikhtiyar) dilaksanakan di dalam bangunan, khususnya masjid. Namun, dalam kondisi tertentu, Shalat Jum’at sah dilaksanakan di luar masjid selama berada di area permukiman.
(Baca juga: 6 Poin Tausiyah Kebangsaan Dewan Pertimbangan MUI Terkait Kasus Ahok)
Kelima, apabila Shalat Jum’at dilaksanakan di luar masjid, maka harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut: (1) terjaminnya kekhusyukan rangkaian pelaksanaan Shalat Jum’at (2) terjamin kesucian tempat dari najis (3) tidak menggangu kemaslahatan umum (4) menginformasikan kepada aparat untuk dilakukan pengamanan dan rekayasa lalu lintas, dan (5) mematuhi aturan hukum yang berlaku.
Keenam, Setiap orang yang tidak terkena kewajiban Shalat Jum’at, jika melaksanakan Shalat Jum’at hukumnya sah sepanjang syarat dan rukunnya terpenuhi. Ketujuh, Setiap orang muslim yang bertugas mengamankan unjuk rasa yang tidak memungkinkan meninggalkan tugas saat Shalat Jum’at tiba, maka tidak wajib Shalat Jum’at dan menggantinya dengan shalat zhuhur.
Kedelapan, Kegiatan keagamaan sedapat mungkin tidak mengganggu kemaslahatan umum. Dalam hal kegiatan keagamaan harus memanfaatkan fasilitas umum, maka dibolehkan dengan ketentuan (1) penyelenggara perlu berkoordinasi dengan aparat, (2) dilakukan sesuai dengan kebutuhan aparat wajib membantu proses pelaksanaannya agar tertib.
(Baca juga: Pesan Din Syamsuddin untuk Bangsa Berkaitan dengan Ahok)
Putusan ketentuan hukum yang kesembilan atau terakhir adalah, kegiatan keagamaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam angka 8 hukumnya haram.
Fatwa MUI itu juga merekomendasikan 3 hal. Rekomendasi pertama, pemerintah perlu menjamin kebebasan beribadah warga negara dan memfasilitasi pelaksanaannya agar aman, nyaman, khusyuk, dan terlindungi.
Rekomendasi yang kedua, umat Islam perlu menjaga ketertiban dalam pelaksanaan ibadah dan syi’ar keagamaan. Rekomendasi yang ketiga adalah, aparat keamanan harus menjamin keamanan dan kenyamanan pelaksanaan ibadah dan syi’ar keagamaan umat Islam.
(Baca juga: Ini Sikap PP Muhammadiyah tentang Status Tersangka Ahok dan Kisah Haedar Nashir tentang Isi 2 Kali Pertemuan dengan Presiden Jokowi Soal Ahok)
Di bagian penutup, MUI juga menetapkan beberapa hal tentang Ketentuan Penutup.Pertama, Fatwa ini berlaku pada tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata dibutuhkan perbaikan, akan diperbaiki dan disempurnakan sebagaimana mestinya. Kedua, agar setiap muslim dan pihak-pihak yang memerlukan dapat mengetahuinya, menghimbau semua pihak untuk menyebarluaskan fatwa ini.
Demikian fatwa MUI yang ditandatangani oleh Prof Hasanuddin AF dan DR M. Asrorun Ni’am Sholeh itu. (kholid)