Kudeta Guinea, Sinyal Kuat untuk Penguasa Haus Kuasa Oleh M. Anwar Djaelani, penulis buku Jejak Kisah Pengukir Sejarah
PWMU.CO – Presiden Guinea, Alpha Conde, tumbang dikudeta pada 5 September 2021 lalu. Kudeta Guinea dilakukan karena menguatnya rasa frustrasi akibat kemiskinan dan korupsi yang meluas di salah satu negara di Afrika Barat itu. Juga, karena ketidakpuasan terhadap terpilihnya kembali Alpha Conde untuk jabatan ketiga, satu hal yang bisa terjadi karena amandemen konstitusi sebelumnya.
Apapun, kisah Alpha Conde memperpanjang daftar “penguasa yang lupa sejarah”. Bahwa, penguasa yang otoriter dan menyengsarakan rakyat bisa terjungkal dari kekuasaannya secara mengenaskan.
Perubahan Performa dari Kudeta Guinea
Seperti apa kisah Alpha Conde, yang ketika dikudeta berusia 83 tahun? Berdasarkan sejumlah sumber, berikut ini sekilas kisahnya.
Alpha Conde lahir pada 4 Maret 1938 di Boke, Guinea. Dia politikus, juga seorang profesor ilmu politik di Universitas Paris.
Lelaki itu memenangi pemilu pada tahun 2010, yang dipandang sebagai pemilu demokratis pertama di negara itu sejak merdeka dari Perancis tahun 1958. Saat itu rakyat berharap Alpha Conde akan menciptakan kestabilan di Guinea, di mana korupsi telah merajalela selama puluhan tahun.
Dalam perkembangannya, kepresidenan Alpha Conde justru memperburuk kemiskinan, padahal kekayaan mineral mereka sangat besar. Dia juga dirasakan hanyut ke dalam otoritarianisme.
Ketegangan memuncak pada 2020. Ketika itu Alpha Conde mendorong amandemen konstitusi untuk memungkinkan dirinya mencalonkan diri lagi untuk masa jabatan ketiga. Dengan pengubahan itu dia maju lagi dalam Pemilu 2020 dan memenangkannya. Kemenangan ini kontroversial karena berdasar perubahan konstitusi yang memungkinkan Alpha Conde menghindari batas dua masa jabatan presiden di negara itu.
Perjalanan Alpha Conde mirip dengan banyak penguasa lain yang lupa sejarah. Bahwa, setelah “sempat berjasa” kemudian lupa diri. Lihatlah, jejaknya! Dia merupakan mantan pemimpin oposisi yang pernah dipenjara dan dijatuhi hukuman mati. Dia kemudian menjadi pemimpin pertama Guinea yang terpilih secara demokratis pada 2010 dan memenangkan pemilihan kembali pada 2015. Baca: detik.com
Akhir Mubarak
Telah banyak kisah bahwa penguasa dijatuhkan karena tak benar mengurus negara dan atau “mempermainkan” konstitusi. Mari kita buka sejarah.
Pada 2011 warga Mesir berdemonstrasi menentang Presiden Hosni Mubarak. Gelombang ketidakpercayaan–untuk tak menyebut kemarahan–ditujukan kepada Mubarak yang telah memerintah 30 tahun. Disebut-sebut, di bawah rezim dia terjadi kemiskinan, pengangguran, penindasan, dan korupsi merajalela.
Unjuk rasa tak hanya di Mesir. Sebuah poster yang ditujukan kepada Mubarak tampak dibentangkan seorang perempuan di depan Konsulat Jenderal Mesir di Chicago AS pada 30 Januari 2011 dan bertuliskan: “30 years too many”.
Mubarak mulai menjadi presiden saat berusia 52 tahun. Ketika didemonstrasi besar-besaran, dia sudah berumur 82 tahun. Lalu, kapan pemilu terakhir di Mesir sebelum demonstrasi rakyat itu? Ternyata, bisa dibilang hanya beberapa saat sebelumnya, yaitu pada 28 November 2010.
Jika demikian, mengapa Mubarak yang terpilih lagi menjadi presiden sampai enam tahun ke depan, malah diminta turun? Bahwa, dalam pemilihan anggota parlemen yang berlangsung 28 November 2011 warga merasakan berbagai praktik penipuan dalam proses pemberian suara.
Mubarak mengundurkan diri pada 11 Februari 2011 menyusul demonstrasi besar-besaran di 18 hari sebelumnya. Kemudian, pada 02 Juni 2012 dia divonis penjara seumur hidup.
Akhir kekuasaan Mubarak yang tragis serupa dengan sejumlah penguasa lain. Silakan cermati, antara lain Zine El Abidine Ben Ali di Tunisia serta Sukarno dan Soeharto di Indonesia.
Tragedi di Tunisia
Lihatlah, di Tunisia rezim Ben Ali berakhir pada 15 Januari 2011. Penggulingan rezim yang telah berkuasa 23 tahun itu berlangsung cepat. Faktor pemicu gelombang gerakan sosial waktu itu adalah ketidakpuasan publik atas praktik tata-kelola pemerintahan yang tak bersih dan berujung kepada maraknya korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Faktor lainnya adalah hasrat warga melakukan reformasi ekonomi, yaitu untuk bebas dari himpitan yang menyesakkan. Maka, tercatatlah peristiwa tragis berupa aksi “bakar diri” seorang sarjana berumur 26 tahun. Dia-bernama Bouazizi-menjadi penjual buah karena ekonominya terpuruk. Kekesalannya memuncak dan berujung pada aksi “bakar diri” setelah pada 17 Agustus 2010 barang dagangannya disita polisi di kota Sidi Bouzid. Konon, aksi inilah yang lalu menyulut gejolak sosial besar-besaran di Tunisia dan lalu membuat Ben Ali kabur ke luar negeri.
Nestapa di Indonesia
Bagaimana di Indonesia? Mahfud MD menulis artikel “Sukarno, Soeharto, dan Dalil Acton” di Jawa Pos edisi 31 Mei 2008. Untuk Sukarno, Mahfud MD menulis: “Siapapun yang membaca sejarah pasti tahu bahwa Sukarno adalah salah seorang putra terbaik bangsa Indonesia yang berhasil memerdekakan Indonesia dari penjajahan asing pada 1945”. Namun, “Tragisnya, Sukarno jatuh dari kekuasaannya karena (pada akhirnya) memerintah secara tidak demokratis dan banyak melakukan pelanggaran atas konstitusi”.
Lalu, Soeharto? Mahfud MD menulis: “Siapapun yang membaca sejarah pasti tahu bahwa Soeharto adalah putra terbaik bangsa Indonesia yang menyelamatkan Indonesia dari krisis politik dan ekonomi.” Soeharto itu “Rendah hati, yang dipilih oleh rakyat dan mahasiswa (angkatan ’66) karena sifat kebapakannya dan menjanjikan kehidupan yang demokratis dan konstitusional bagi Indonesia”. Namun, “Tragisnya, Soeharto jatuh dari kekuasaannya karena (pada akhirnya) memerintah secara tidak demokratis dan menumbuhsuburkan korupsi yang hingga sekarang menjadi kanker ganas di Indonesia”.
Pelajaran Pasti
Wahai para penguasa, jangan lupakan sejarah! Jangan khianati rakyat. Ingatlah, kekuasaan itu amanah yang harus ditunaikan. Sungguh, semua penyalahgunaan kekuasaan akan mendekatkan kepada kehinaan di dunia dan akan mendapat balasan yang tak tertanggungkan kelak di akhirat.
Banyaklah “piknik”, ambil pelajaran dari berbagai peristiwa di dunia ini: “Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunah Allah; karena itu berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan (Rasul-Rasul)” (Ali-Imraa: 137).
Sungguh, jangan pernah menjadi pelupa! Sejarah itu selalu berulang dan kita wajib mengambil hikmah darinya. “Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai wawasan” (al-Hasyr 3). (*)
Editor Mohammad Nurfatoni
Artikel Kudeta Guinea, Sinyal Kuat untuk Penguasa Haus Kuasa, ini adalah versi online Buletin Jumat Hanif Edisi 47 Tahun XXV, 10 September 2021/3 Safar 1443.
Hanif versi cetak sejak 17 April 2020 tidak terbit karena pandemi Covid-19 masih membahayakan mobilitas fisik.