Imlek, Gong Xi Fa Cai oleh Daniel Mohammad Rosyid, pendiri Rosyid College of Arts, Guru Besar ITS.
PWMU.CO– Besok saudara-saudara kita Tionghoa merayakan Imlek. Ini semacam perayaan tahun baru di negeri Tiongkok. Lalu diucapkan Gong Xi Fa Cai yang secara harfiah berarti semoga tahun baru ini membawa kemakmuran dan kekayaan.
Tahun ini adalah tahun Harimau. Sejak beberapa hari lalu, hotel-hotel dan mal-mal menghias diri dengan pernak-pernik Imlek. Kalender China dihitung berdasarkan peredaran bulan seperti kalender Hijriyah.
Saya ingat 40 tahun silam lebih saat keluarga kami di Semarang diundang keluarga Gow Ching Hwa, mitra kerja ayah, untuk merayakan Imlek. Biasanya kami dikirimi kue keranjang.
Malam itu kami diajak makan malam Chinese Food di kawasan pecinan tidak jauh dari Semarang Kota Lama. Beberapa hari sebelumnya terjadi tawuran antar pelajar SMA Karangturi dan STM Pembangunan. Terlontar pertanyaan dari putri mitra kerja ayah saya itu: ”Kemarin Daniel ikut memeriahkan tawuran itu ya?” Saya hanya tersenyum kecut.
Sewaktu kecil di kawasan Taman Maluku, Sidodadi, Semarang, saya punya dua teman akrab etnis Tionghoa. Han Gwan dan Sugeng Budhiwan. Keduanya masih hidup dan masih berkomunikasi dengan saya hingga hari ini.
Ada juga kawan-kawan etnis Arab dari keluarga Pak Adnan, yaitu Amat, Ardan, Atik dan Uyun. Semua kawan Arab itu kini sudah wafat. Waktu kecil dulu itu, kami tidak pernah membeda-bedakan asal usul, warna kulit dan bentuk mata atau hidung.
Kami hampir tiap hari bermain bersama apa saja. Di sekitar rumah kami ada dua lapangan: sepakbola dan voli. Sebagai anak-anak, saya tidak pernah melewatkan hari tanpa bermain, termasuk main pingpong di salah satu tetangga kami di kawasan Sidodadi itu.
40 tahun berlalu. Kini kawasan pemukiman di mana kami tinggal itu secara demografi berubah. Jika dulu didominasi pribumi, sekarang tidak lagi. Mayoritas warga di sana adalah Tionghoa. Tidak saja kampung halaman saya itu berubah. Dunia juga berubah. For better or worse. Lapangan Sport Supaya Sehat (S3) itu kini dikelilingi tembok tinggi. Dulu saya ikut klub S3 itu antara lain dilatih oleh Sartono.
Sebagai warga negara Indonesia dengan nenek moyang beragam, saya mencoba memahami apa yang telah dan sedang terjadi. Ibu saya keturunan Jawa yang mengabdi pada kraton. Sedang buyut ayah saya dari lingkungan pedagang campuran paling tidak dari tiga etnis pendatang : Arab, India dan China serta Jawa tentu saja.
Blasteran ini tampak sekali pada penampilan fisik saudara-saudara perempuan ayah saya. Buyut Tionghoa yang dikenal di daerah sekitar Merapi itu disebut Mbah Nyonyah. Ia adalah salah satu istri dari pengawal Pangeran Diponegoro.
Kakek saya dan adiknya pernah mencoba keberuntungan dengan berjualan sate ke Tumasik sebelum kemerdekaan. Kakek saya memutuskan kembali ke Jawa sedang adiknya terus ke Malaka, beranak pinak hingga hari ini.
Orang tidak pernah memilih dari suku mana dia berasal. Bahkan asal-usulnya bukan pula keputusan ayah-ibunya. Menyalahkan seseorang gegara sukunya sama sekali tidak beralasan. Rasisme atau tribalisme adalah pandangan hidup yang bodoh dan karenanya juga berbahaya.
Islam, juga Kristen, adalah agama yang membantu banyak suku di nusantara untuk keluar dari jebakan tribalisme itu. Sebagai agama yang dipeluk mayoritas suku-suku di negeri ini, Islam adalah faktor yang memudahkan penerimaan gagasan tentang sebuah bangsa baru yang disebut bangsa Indonesia.
Akhir-akhir ini banyak narasi yang menyudutkan Islam seolah pemeluknya anti-Pancasila, anti NKRI, radikal, bahkan teroris. Bahkan seorang petinggi TNI AD mengimbau agar tidak terlalu mendalam dalam belajar agama. Seolah agama adalah sumber radikalisme.
Bahkan pernah ada narasi oleh pejabat publik bahwa agama adalah musuh terbesar Pancasila. Melihat sejarah, narasi ini biasa disemburkan oleh kaum sekuler radikal yang ingin menjauhkan agama dari kehidupan bernegara. Adalah kaum sekuler kiri radikal yang suka menyemburkan istilah kadal gurun (kadrun) bagi muslim yang tampak taat beribadah.
Hemat saya, narasi islamofobia dan rasis yang marak akhir-akhir ini membahayakan persatuan kita sebagai bangsa yang bhinneka tunggal ika. Ekspresi setiap agama dijamin oleh konstitusi selama tidak mengganggu ketertiban umum, seperti ekspresi non-agama lainnya.
Keragaman adalah kekayaan dan sumber kreativitas. Membuat daftar pesantren yang terpapar radikalisme dan ISIS misalnya, sama sekali tidak membantu mengurangi ketegangan antar kelompok akhir-akhir ini yang telah dipicu oleh narasi pejabat yang gegabah, dengungan para buzzers bayaran serta algoritma medsos yang cenderung mengeraskan perbedaan. Ini hanya menyenangkan pihak yang menginginkan perpecahan bangsa ini.
Kita harap narasi-narasi islamofobia yang sembrono ini segera dihentikan. Di tahun Harimau ini, ingatlah pepatah mulutmu adalah harimaumu.
Gunung Anyar, 31/01/2022
Editor Sugeng Purwanto