Opini oleh Nadjib Hamid *)
PWMU.CO – Akhir bulan ini (24-26/2), Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah menggelar sidang Tanwir, di Kota Ambon, Maluku. Tanwir di lingkungan Ormas Islam bersimbol matahari ini, merupakan permusyawaratan tertinggi setelah Muktamar. Setidaknya diselenggarakan dua kali selama seperiode, untuk membahas masalah-masalah urgen yang tidak dapat ditunda hingga Muktamar.
Ambon dipilih sebagai tempat Tanwir, menurut Haedar Nashir, untuk semakin memperkokoh rekonsliliasi masyarakat Maluku, akibat konflik berkepanjangan di masa lalu, dan sekaligus menyambut keinginan pemerintah untuk bersinergi dalam membangkitkan kembali pembangunan di Maluku.
(Baca: Beri Harapan agar Kader Lebih Gairah Berkegiatan, Catatan Kunjungan ke Malaysia dan Singapura)
Berdasar pengalaman, di daerah-daerah yang pernah ditempati Tanwir atau Muktamar, selalu ada kebangkitan, ada dinamika yang tumbuh baik di internal Persyarikatan maupun masyarakat secara luas di daerah tersebut. Apalagi, masyarakat di Kawasan Timur selama ini sudah merasakan betul peran Muhammadiyah dalam memajukan bangsa. “Di pelosok-pelosok misalnya, sudah ada sekolah-sekolah dan amal usaha kesehatan Muhammadiyah,” terang Haedar.
Tanwir mengusung tema “Kedaulatan dan Keadilan Sosial Menuju Indonesia Berkemajuan”. Spiritnya, sekarang ini ada problem besar dalam kedaulatan dan keadilan sosial, yang berimplikasi pada kegaduhan kehidupan berbangsa dan bernegara.
“Sebagai elemen penting dari bangsa, yang juga ikut mendirikan republik ini, Muhammadiyah terpanggil untuk mencarikan solusi secara komprehensif,” tutur Haedar. Ditegaskan juga bahwa melalui Tanwir Ambon ini akan dilakukan penguatan tentang “Jihad Ekonomi” Muhammadiyah.
Sebagaimana pernah dilansir Wakil Presiden Jusuf Kalla bahwa kini terjadi ketimpangan ekonomi yang luar biasa di negeri ini. “Dapat ditafsirkan dalam gini ratio, 1 persen penduduk memiliki 50 persen aset bangsa,” kata Jusuf Kalla dalam suatu kesempatan.
Sayangnya, praktik ketidakadilan ekonomi itu seolah didiamkan pemerintah. Para kapitalis dibiarkan bebas menguasai aset-aset strategis, terutama tanah. Tambak-tambak di tepian pantai utara Laut Jawa, tanah-tanah di kota, dan jalur lalu lintas utama umumnya sudah dikuasai para pemilik modal. Umumnya para pemilik asal sudah tidak berdaya membiayai tambak dan tanah lainnya, dan dilepas kepada siapa saja yang mampu membelinya, yang tidak lain adalah mereka yang tergolong 1 persen tersebut.
Di tengah suasana tidak berdaya, mudah difahami jika masyarakat bawah jadi gampang marah, dan mudah diadu domba. Ibarat rumput kering, disulut api sedikit saja langsung terbakar semua. Kini masyarakat enteng mencaci-maki siapa saja yang berbeda, termasuk pemimpinnya. Sikap tenggang rasa atau toleransi atas perbedaan pendapat yang selama ini menjadi kekayaan bangsa, sirna begitu saja. Tak terhindarkan, konflik horizontal pun melanda di mana-mana.
Sebagai permusyawaratan tertinggi di bawah Muktamar, Tanwir yang rencananya dibuka Presiden Joko Widodo dan ditutup Wakil Presiden Jusuf Kalla, itu diharapkan mampu melahirkan pemikiran-pemikiran genuine untuk mengatasi problem aktual kebangsaan. Baca sambungan di halaman 2: Agenda lain yang tidak kalah pentingnya …
Discussion about this post