PWMU.CO – Negara jika di tangan orang yang gagal memahami kitab suci dan sunnah nabi maka akan memunculkan produk atau kebijakan yang koruptif.
Hal itu disampaikan Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Dr H M Busyro Muqoddas MHum dalam ceramah Tarawih di Masjid Kampus Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, Jumat (22/4/2022).
Busyro mengatakan, agama islam itu memiliki karakter yang jelas. Menjadi rahmat, kasih sayang, keadilan, kemanusiaan, kesetaraan, kejujuran, kepandaian dan kemanfaatan dalam arti luas, kepada siapapun juga, bahkan kepada alam semesta seisinya.
“Islam juga memiliki karakter memadukan doktrin iman yang bersumber pada tauhid dengan ilmu dan diintegrasikan dalam bentuk ilmu amaliah dan amal ilmiah,” katanya.
Konsekuensinya, ilmu memiliki sumber yang pokok yakni al-Quran al-Karim dan as-Sunah, yang kemudian melahirkan amal insaniyah, amal ihsaniyah.
“Amal yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan secara universal. Dan sekaligus amal yang sangat menekankan pada terbentuknya ikatan kekuatan yang mengandung kebajikan,” ucapnya.
Busyro menambahkan, agama Islam juga memiliki watak mendidik umatnya agar tidak memiliki split personality (pribadi yang pecah). Namun sebaliknya, memiliki pribadi yang utuh. Karena ilmunya diamalkan, dan amalnya berdasarkan ilmu. Bukan amal sembarangan amal.
“Sebagai agama yang juga memiliki watak mendidik umatnya berlaku lembut, tidak semestinya ada hamba Allah yang kejam. Allah saja lembut kepada hambanya. Masak sih ada hamba yang hobi memfitnah, main hoax, mengembangkan budaya buzzer, padahal fitnah itu lebih kejam dari pada pembunuhan,” katanya.
Aktualisasi Nilai Al-Maun
Menyampaikan ceramah dengan tema Aktualisasi Nilai-nilai Al-Maun dalam Kebijakan Pembangunan Nasional, Busyro mengatakan, islam juga menghendaki umatnya terhindar dari sikap hipokrit (munafiq), sehingga surat Al-Maun sangat jelas mengingatkan, agar umat Islam tidak mengabaikan anak yatim dan orang miskin.
“Tafsir elaboratif terhadap ayat ini dimaknai bahwa siapa saja yang berilmu namun ilmunya digunakan justru untuk menciptakan suatu situasi atau produk, baik produk hukum, produk politik, produk pendidikan, yang produk itu menimbulkan kelemahan yang ditunjukkan degan yatim piatu dan fakir miskin, (maka itulah orang yang mendustakan agama),” katanya
Pria kelahiran Yogyakarta 17 Juli 1952 ini menuturkan, yatim piatu tidak sekedar anak yatim di bawah umur, atau balita yang orang tuanya meninggal.
Tapi bisa dalam konteks sosial, ini mengandung makna, bahwa siapapun yang punya kuasa ilmu, namun ilmunya itu didesain, diorientasikan untuk membuat produk-produk atau kebijakan politik, sosial, hukum, dan lain-lain yang itu menciptakan masyarakat yatim piatu.
“Bangsa yang yatim piatu, bangsa yang miskin ekonomi, sosial, budaya, politik, pendidikan dan lain-lain. Adanya sistem penegakan hukum yang miskin kejujuran, namun sebaliknya kaya diskriminasi, (maka itulah yang dimaksud dalam surat Al-Maun ini),” ucapnya.
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Indonesia yang menggantikan Antasari Azhar ini mengatakan, islam dan muslim-muslimah itu tidak dapat dipisahkan. Sehingga kalau islam memiliki misi membebaskan, humanisme, religius, profetik, maka seorang muslim-muslimah pun juga harus memiliki karakter itu.
“Indonesia ini laboratorium ilmu terlengkap di dunia. Kalau mau belajar kejujuran, (belajarlah) kepada orang Indonesia. Sebaliknya kalau lomba perampokan uang negara atau korupsi itu belajar juga di Indonesia. Tidak ada laboratorium terlengkap dan terutuh kecuali di negeri berdasarkan Pancasila ini,” katanya.
Ilmuwan Tukang dan Ilmuwan Transaksional
Mengapa demikian? Menurut Busyro karena di Indonesia ini terdapat ilmuwan-ilmuwan tukang, ilmuwan transaksional, ilmuwan yang tidak berwatak sebagaimana watak islam.
“Apa buktinya? Undang-undang (UU) partai politik, UU pemilu, UU pilkada, UU minerba, UU omnibus law cipta kerja, UU KPK yang revisi, UU MK yang direvisi. Dan yang paling konyol adalah UU tentang IKN yang mau pindah dari Jakarta ke Kaltim,” terangnya.
Busyro menyatakan, perpindahan ibukota dari Jakarta ke Kalimantan itu tanpa studi kelayakan, tanpa visibilty studies yang akuntabel, tanpa metodologis ilmiah, tanpa terbuka, tanpa kejujujuran dan tanpa melibatkan masyarakat.
“Itu artinya apa? Produk-produk tersebut mengandung koruptif secara sosial kemanusiaan. Maka nanti lahirlah pemilu atau pilkada yang transaksional, melahirkan birokrasi-birokrasi daerah yang sebagian terlilit atau terjebak pada bandar-bandar judi politik,” tandasnya.
Busyro menjelaskan, di Indonesia ini dalam hal kasus korupsi, sudah merata dari Sabang sampai Merauke. Bahkan masing-masing jumlah koruptor itu berada di daerah tingkat II, tingkat I yang kebanyakan pejabat pemerintah pusat maupun daerah.
“Yang itu semua adalah NKKRI. Apa itu NKKRI? Yaitu Negara Kesatuan Koruptor Radikal Indonesia. Mengapa? Karena sistem politik Indonesia juga radikal,” tegasnya.
Terkait UU yang dia sebutkan, Busyro mengaku, telah banyak tokoh dan ilmuwan yang jujur, yang sudah melakukan kajian akademis lintas kampus, lintas pakar dan lain-lain, kemudian disajikan dengan hormat, dengan sopan, dan dengan santun kepada Presiden Jokowi namun tidak mendapatkan respon positif.
“Nampaknya presiden Jokowi ini punya ilmu yang jarang dimiliki oleh orang lain. Masukan-masukan itu, termasuk dari PP Muhammadiyah resmi menyampaikan kepada presiden Jokowi tentang UU Omnibus law, tetapi tidak digubris sama sekali,” ucapnya.
Doakan Pemerintah Mendapatkan Hidayah
Dia pun menyatakan, adanya UU yang dia sebutkan tadi, merupakan contoh kebijakan negara jika berada pada sejumlah orang yang gagal memahami kitab suci al-Quran dan as-Sunnah, serta gagal memahami tentang pentingnya ilmu dan peradaban.
“Nabi sudah sejak awal mengingatkan, Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu,” katanya.
Menurut Busyro, masih ada waktu untuk menyelamatkan negeri ini. Dan dalam situasi yang sulit ini, dia mengajak para jamaah untuk memohon apa saja kepada Allah untuk keluarga, masyarakat, anak cucu, serta negara kita agar para pejabat menerima hidayah.
“Mari kita doakan di bulan suci ini agar mereka menerima hidayah Allah, agar mampu mengubah apa yang mengotori hati nurani dan akal sehat, sehingga kembali kepada kemanusiaan yang otentik. Ketika Al-Maun tidak diaktualisasikan dan begitulah kalau Al-Quran hanya menjadi hiasan, tetapi tidak diamalkan,” pungkasnya. (*)
Penulis Nely Izzatul Editor Mohammad Nurfatoni