Natsir yang Tekun Memasyarakatkan Bahasa Indonesia; Oleh M. Anwar Djaelani, penulis buku-buku termasuk Jejak Kisah Pengukir Sejarah
PWMU.CO – Di keseharian, bahasa adalah perkara penting. Dengan bahasa, komunikasi antarsesama menjadi lancar. Bahkan, dengan bahasa, rasa persatuan sebagai sesama bangsa bisa mudah dirajut.
Di titik ini, Mohammad Natsir (1908-1993) termasuk di antara yang serius dan sabar dalam memasyarakatkan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Dia turut memperjuangkan bahasa Indonesia sebagai pemersatu bangsa.
Lewat sikap dan tindakannya, Natsir berusaha keras menyosialisasikan bahasa Indonesia agar dipakai di keseharian. Terkait hal ini, Natsir sang pejuang bangsa asal Alahan Panjang – Solok Sumatera Barat itu, konsisten.
Bersama JIB
Natsir benar-benar mulai aktif di dalam pergerakan kemerdekaan, menghadapi penjajah, di atas tahun 1925. Waktu itu Natsir dan kawan-kawannya sudah mulai mengadakan gerakan di kalangan pemuda.
Saat Natsir mulai aktif, di kancah pergerakan ada Jong Java, Jong Sumatera, Jong Ambon, dan sebagainya. Sementara, Natsir dan kawan-kawannya aktif di Jong Islamieten Bond (JIB).
Berbagai “Jong” (yang disebut pertama di paragraf di atas itu) sifatnya kedaerahan. Hal itu berbeda dengan Jong Islamieten Bond yang sifatnya menasional. Salah satu buktinya, di mana-mana ada cabang Jong Islamieten Bond. Organisasi yang disebut terakhir ini, di manapun tidak terpisah-pisah melainkan menjadi satu.
Keadaan di atas mirip dengan yang terjadi di Budi Utomo dan Syarikat Islam. Jika Budi Utomo banyak pengikutnya di Jawa, maka berbeda dengan Syarikat Islam. Bahkan, HOS Tjokroaminoto-pendiri Syarikat Islam-adalah “Peletak Dasar Perubahan Sosial-Politik di Indonesia”, kata sejarawan Prof. Ahmad Mansur Suryanegara di buku “Menemukan Sejarah” karyanya.
Unik, Unik!
Ada satu pengalaman Natsir yang, rasanya, tak mungkin dilupakan oleh Sang Pahlawan Nasional itu. Pengalaman itu ada hubungannya dengan usaha dia dalam memperjuangkan tegaknya bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional.
Mari rasakan, betapa sulit terutama di awal-awal, perjuangan nasional di aspek menjunjung tinggi bahasa Indonesia. Suatu kali Natsir diminta untuk memberikan ceramah pada kongres Jong Islamieten Bond di Semarang.
Kala itu, Natsir diminta untuk menerangkan hak-hak wanita dalam Islam. Belum lima menit Natsir berceramah, tiba-tiba terdengar interupsi dari tengah-tengah hadirin.
Apa isi interupsi? Mereka meminta agar Natsir melanjutkan ceramahmya dalam bahasa Belanda. Rupanya, pihak yang mengajukan interupsi belum mengerti bahasa Indonesia. Padahal, sebelum itu yaitu lewat Sumpah Pemuda di tahun 1928 sudah dinyatakan secara tegas tentang kita sebagai “Satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa: Indonesia”.
Artinya, lewat kejadian bahwa ada pihak yang menginterupsi ceramah Natsir, itu memperlihatkan bahwa praktik berbahasa Indonesia belum terlaksana dengan baik waktu itu. Sebagian, masih menggunakan bahasa Belanda. Dengan demikian, bagaimana “menasionalkan” bahasa Indonesia-di saat itu-merupakan suatu perjuangan tersendiri.
Kenanglah, Teruskanlah!
Natsir dan Jong Islamieten Bond terus melangkah, berupaya agar masyarakat selalu berbahasa Indonesia. Alhamdulillah, lambat-laun usaha itu membuahkan hasil.
Adapun di antara ukuran keberhasilan perjuangan mereka itu, misalnya, ada pada majalah Jong Islamieten Bond sendiri. Jika semula menggunakan bahasa Belanda, kemudian bertahap yaitu dari setengah-setengah bagian sampai pada akhirnya total menggunakan bahasa Indonesia.
Demikianlah, gambaran perjuangan Natsir dan Jong Islamieten Bond dalam menyadarkan rakyat. Itu, dimulai dari anggota-anggota organisasinya terlebih dahulu lalu meluas ke rakyat kebanyakan.
Memang, saat itu dirasakan, bahwa meningkatkan dan menguatkan kesadaran tentang “Satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa: Indonesia” adalah tugas yang tidak mudah. Atas situasi ini, Natsir dan kawan-kawannya di Jong Islamieten Bond makin menyadari bahwa memasyarakatkan bahasa Indonesia merupakan tugas mulia bahkan bagian dari kewajiban sebagai seorang Muslim. Maka, dengan penuh ketekunan, Natsir dan Jong Islamieten Bond terus-menerus memperjuangkannya.
Alhasil, jika hari-hari ini kita nyaman berkomunikasi dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional maka sesungguhnya antara lain ada jasa Natsir dan Jong Islamieten Bond di dalamnya. Alhamdulillah! (*)
Editor Mohammad Nurfatoni