PWMU.CO – Bagi Muhammadiyah, muktamar ke-90 di Aceh tahun 1995 bisa dikata sebagai salah satu ujian yang berat. Maklum saja, Ketua (Umum) Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof M. Amien Rais yang menggantikan almahum KH Azhar Basyir setahun sebelumnya, membuka front “perlawanan” pada Presiden Soeharto.
Dalam Tanwir Muhammadiyah di Surabaya, Desember 1993, Amien Rais menyuarakan pentingnya suksesi kepemimpinan nasional atau pergantian Presiden Soeharto. Sesuatu wacana yang “haram” dilontarkan di masa Orde Baru, karena kuatnya kekuasaan Presiden Soeharto. Tak ayal, kondisi ini membuat acara muktamar Muhammadiyah 1995 agak maju mundur.
Berbagai dinamika yang terjadi menjelang Muktamar 1995 itu kembali diceritakan oleh Amien Rais dalam Kajian Pelajar Kritis bertema “Pelajar Jogja Bergerak Berantas Kemunduran Moral” dalam peringatan Milad Sinar Kaum Muhammadiyah (SKM) ke-92, Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta, (14/2).
(Baca terkait: Amien Rais pada Kajian Pelajar Kritis: Bangsa Indonesia Bukan Lagi Tuan Rumah di Negeri Sendiri)
“Orang Islam itu hanya takut kepada Allah swt. Jangan takut dengan manusia,” pesan Amien kapada para pelajar itu sambil membacakan hadits qudsi tentang perlindungan Allah swt bagi hamba-Nya yang yakin akan pertolongan-Nya.
Ketika mau muktamar Muhammadiyah di Aceh tahun 1995, ada seorang sahabat yang mengingatkan bahwa Amien Rais telah membuat kartu mati. “Mas Amien, Anda ke Aceh membawa kartu mati karena Anda berani menggedik Pak Harto. Anda bicara suksesi, dan itu pak Harto nggak berkenan,” cerita Amien menirukan peringatan sahabatnya itu. ”Saya sedikit agak grogi juga, ah masak kartu mati,” sambung Amien.
“Bung, saya ini hanya takut pada Allah,” jawab Amien . “Ya, tapi kan dia juga presiden,” tukas sahabatnya itu. “Ya, tapi Allah itu adalah segala-galanya,” jawab Amien Rais lagi pasrah pada Allah swt.
(Baca juga: Berusia 107 Tahun tapi Masih Muda Belia, Amien Rais soal Perjalanan Muhammadiyah)
Untuk meredam berbagai gejolak yang ada, Amien pun mengusulkan kepada anggota PP lainnya bagaimana agar muktamar ini dibuat sebagai acara internal. Salah satu sosok yang diajak bicara adalah Prof Ahmad Syafii Maarif, Ketua (Umum) PP Muhammadiyah 1998-2005. “Pak Syafii, bagaimana kalau sekarang kita buat tradisi muktamar itu hajatan internal. Kita tidak usah mengundang presiden?’.
“Dia setuju,” jelas Amien Rais tentang musyawarah kecil itu. “Setuju, mas Amien. Kita mandiri,” begitu jawab Buya Syafii yang ditirukan oleh Amien rais
(Baca juga: 5 Tausiyah Kebangsaan Amien Rais untuk Pembentukan Karakter Bangsa)
Namun, upaya membuat muktamar sebagai hajatan internal tanpa mengundang presiden ini tidak berjalan mulus. Sebab, berbagai stakeholder pemerintah Aceh menolaknya mentah-mentah. “Tapi ketika kita ke gubernur Aceh, beliau bilang, Pak Amien, mana mungkin kita memberi izin kalau Pak Harto tidak memberikan sambutan,” begitu jawab Gubernur Aceh tentang izin tempat.
Jawaban kurang lebih sama juga didapat saat PP Muhammadiyah menemui Panglima Daerah Militer Iskandar Muda Aceh. “Kemudian waktu itu Pangdamnya juga teman saya, sekarang sudah almarhum, juga bilang: no way, mas amin. Silahkan cari tempat lain. Kalau Pak Harto nggak diundang, kita nggak kasih izin,” cerita Amien tentang jawaban Pangdam kala itu.
(Baca juga: Amien Rais: Karakter Bangsa Harus Dibangun dengan Landasan Wahyu Ilahi)
“Sehingga saya kemudian datang ke Pak Harto minta beliau mau memberikan sambutan itu,” jelas Amien. Akhirnya pak Harto memang datang ke arena muktamar. Meski memberi isyarat tidak senang jika Amien Rais dipilih sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah, tapi tetap saja Amien terpilih.
Bahkan Amien Rais dipilih oleh 98,5 % peserta Muktamar. Cerita dinamika di muktamar ini bisa dibaca: Kisah Amien Rais yang Gagal Disingkirkan Soeharto pada Muktamar Muhammadiyah Aceh. (ulin)