Kedaulatan Rakyat dan Kasus Brigadir J oleh Daniel Mohammad Rosyid, guru besar ITS.
PWMU.CO– Sejak amandemen atas UUD 45 dilakukan secara serampangan oleh MPR 1999-2002 menjadi UUD 2002, telah terjadi kudeta konstitusi. Kedaulatan rakyat secara terang-terangan dirampas oleh partai politik.
Tata negara dirusak oleh partai politik. Partai politik bukanlah lembaga negara yang diatur oleh UUD 45, namun oleh UUD 2002 diberi kewenangan yang melampaui warga negara sebagai satuan kenegaraan terkecil.
Pemilihan Umum telah dijadikan instrumen partai politik untuk merampas hak politik warga negara, termasuk dengan memonopoli pencalonan presiden dan wakil presiden.
Hak politik warga negara bermula dan segera berakhir di bilik-bilik suara TPS Pemilu. Demikianlah kedaulatan rakyat dibajak partai politik melalui Pemilu. Dan pembajakan itu dibiayai oleh uang rakyat dengan biaya yang makin besar!
Dalam UUD 2002 itu Mahkamah Konstitusi menggusur MPR sebagai the guardian of the constitution. Presiden yang semula sebagai mandataris MPR direposisi sebagai petugas partai atau sekelompok partai, namun pemakzulannya masih tergantung oleh MK.
Faktanya, hampir semua gugatan warga negara atas UU yang mengatur presidential threshold 20% selalu ditolak oleh Mahkamah Konstitusi atas alasan bahwa penggugat tidak memiliki legal standing.
Hanya gugatan oleh partai politik yang dikabulkan oleh MK untuk dilanjutkan pada substansi gugatan. Alasan MK bahwa warga negara tidak memiliki legal standing adalah alasan yang ethically and constitutionally illegal karena mengabaikan kedudukan dan hak dasar politik warga negara yang sama di depan hukum.
Kemudian, setiap ekspresi politik warga negara yang dijamin konstitusi ditafsirkan secara sepihak agar mudah ditumpas oleh aparat hukum yang memonopoli keamanan dan ketertiban.
Biaya Politik
Secara tidak langsung MK melakukan diskriminasi hukum dengan meletakkan partai politik lebih tinggi kedudukan hukumnya daripada warga negara. Di samping itu, warga negara juga dirugikan akibat aturan presidential threshold itu, tidak cuma partai politik gurem saja, justru karena partai politik seringkali membajak suara warga negara.
Bahkan harus dikatakan bahwa pengajuan pasangan capres dan cawapres hanya oleh partai politik atau gabungan partai politik adalah monopoli radikal partai politik dalam perpolitikan nasional.
Saat PKS mengajukan agar presidential threshold itu turun hanya 7-10% saja, bukan 0%, adalah bukti terbaru bahwa PKS ikut menikmati monopoli partai politik dalam perpolitikan nasional.
Seperti adagium bahwa setiap monopoli adalah buruk, maka monopoli radikal partai politik melalui Pemilu, baik Pileg ataupun Pilpres, selalu berakhir dengan kepiluan massal warga negara.
Pemberhalaan demokrasi liberal melalui pemilihan umum secara langsung telah menggusur kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
Biaya politik untuk rekrutmen pejabat publik makin mahal namun tidak efektif merekrut pemimpin yang amanah. Kini kepemimpinan itu mewujud dalam oligarki politik dan ekonomi yang membuka bagi malpraktik administrasi publik yang luas di mana regulasi dirancang, ditafsirkan, dan ditegakkan bukan untuk kepentingan publik sebagai warga negara, tapi untuk kepentingan segelintir elite partai politik dan taipan.
Police State
Maladministrasi publik yang paling mutakhir adalah penatakelolaan keamanan dan ketertiban yang dimonopoli secara radikal oleh Polri. Kapolri diposisikan setara menteri negara langsung di bawah presiden.
RUU KUHP ditangan Polri yang salah-posisi saat ini hampir pasti akan mengantarkan republik ini menjadi police state, bukan negara hukum.
Kematian Brigadir Josua di rumah dinas Kadiv Propam baru-baru ini adalah skandal kepolisian terbesar di republik ini. Skandal ini menunjukkan, kekeliruan posisi Polri telah mendorong pembusukan Polri secara sangat serius.
Agenda Reformasi untuk pemberantasan korupsi dibegal oleh omong kosong malpraktik democratic policing. Bukti pertama bahwa Republik ini adalah negara hukum dapat dilihat dari kinerja Polri sebagai penegak hukum yang setia pada janjinya sebagai Bayangkara negara.
Jika berkhianat, maka Polri adalah malapetaka negara di mana ada segelintir elite yang untouchables, sementara wong cilik gampang diciduk lalu dirampas kebebasannya.
Jalan menuju police state telah dibuka oleh perusakan tata negara menurut UUD 45 asli yang menjamin tata kelola barang publik seperti kedaulatan, keamanan, dan ketertiban secara berkeadilan karena dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan.
Sementara Polri harus segera direposisi agar tidak memonopoli keamanan dan ketertiban. Solusi atas kerusakan tata negara ini hanya satu: kembalikan kedaulatan rakyat sebagai warga negara dengan kembali ke UUD 45 asli.
Amandemen boleh dilakukan melalui mekanisme addendum atas UUD 45 asli tersebut. Partai politik tidak boleh lagi memonopoli secara radikal perpolitikan nasional, dan polisi tidak boleh lagi memonopoli keamanan dan ketertiban.
Surabaya, 10 Agustus 2022.
Editor Sugeng Purwanto