Geng Motor, Kenapa Berulah oleh Arief Hanafi, Guru Sosiologi SMA Muhammadiyah 2 Sidoarjo.
PWMU.CO– Geng motor kembali mendapat sorotan masyarakat setelah melakukan aksi brutal di Surabaya. Tanpa sebab yang pasti mereka secara ugal-ugalan menyerang warga bahkan merusak pos keamanan Pakuwon City.
Dari peristiwa tersebut terdapat dua orang korban. Salah satunya petugas keamanan. Mereka mengalami luka bacok dan menjalani perawatan di rumah sakit.
Fenomena kekerasan yang dilakukan geng motor ini menimbulkan kekhawatiran masyarakat. Tawuran remaja dan mengganggu keamanan warga di malam hari. Kejadian ini ironis, sebab pelaku kekerasan dan pengeroyokan masih usia remaja.
Kejadian ini menampar kesadaran sosial kita. Kita patut prihatin dan bertanya, mengapa mereka berani melakukan tindakan anarkis? Apakah pranata keluarga sudah terdegradasi dari sistem sosial kita? Apakah dunia pendidikan kita sedang mengalami disfungsional akut, sehingga gagal dalam mendekati mereka secara humanis?
Munculnya geng motor menurut analisis Mazhab Chicago sebagai dekonstruksi kemapanan struktural yang selama ini berkembang dan melekat di kota-kota besar.
Geng motor sebagai kelompok the others (liyan) merespon kondisi kesenjangan sosial atau ideologi dominan di masyarakat. Mereka hadir dengan membuat ulah dan menciptakan keresahan masyarakat. Dengan cara itu mereka semakin menunjukkan identitas dan keberadaannya.
Howard Becker (1966) menjelaskan, munculnya perilaku menyimpang kelompok ini adalah representasi dari subkultur geng. Yaitu ketika di antara anggota geng mulai sadar untuk mengidentifikasi diri mereka berbeda dibandingkan masyarakat pada umumnya.
Biasanya semakin masyarakat mengucilkan, mengecam bahkan memberi cap atau stigma, justru di saat yang sama kelompok ini akan semakin kompak dan menarik diri dari masyarakat.
Bahkan, menurut sosiolog Amerika tersebut tidak jarang geng motor melakukan tindakan premanisme untuk menunjukkan eksistensi mereka.
Labeling Geng Motor
Menurut hemat penulis, penegak hukum sebenarnya tidak mengalami kesulitan dalam memberantas geng motor. Terlebih dengan perlengkapan keamanan yang serba canggih.
Aparat keamanan dalam waktu singkat mampu menetralisasi keadaan. Artinya, bukan karena militansi anggota geng tersebut kesulitannya, melainkan adanya labeling atau cap yang dikembangkan di masyarakat.
Dalam perspektif teori labeling, penulis meyakini proses penyimpangan para geng motor ini awal mulanya hanya pada tahap penyimpangan primer (primary deviance).
Jadi awal mulanya mereka unjuk gigi dengan cara minum-minuman keras atau balap liar. Penyimpangan primer ini relatif lebih ringan, karena tidak terus menerus dilakukan. Bahkan perilaku dalam kategori primer masih bisa dimaafkan (Hortont dan Hunt, 1984).
Namun karena ulah geng motor semakin mencemaskan, media memberitakan berulang-ulang tentang bagaimana masyarakat dan penegak hukum mengecam meraka. Maka hal tersebut berlanjut pada tahap penyimpangan sekunder (secondary deviance).
Umumnya penyimpangan ini dilakukan secara berulang-ulang dan terus menerus. Meski pelakunya sudah dikenakan sanksi. Bentuk penyimpangan ini mengarah pada tindak kriminal seperti pembunuhan, penganiayaan, dan perampokan.
Adanya stigma negatif yang dilekatkan pada geng motor membawa dampak berkelanjutan. Dengan pemberian cap menyimpang kepada anggota geng motor, mereka mengembangkan konsep diri sesuai dengan yang stigma masyarakat.
Jika anggota geng motor distigma pemabuk oleh masyarakat, mereka cenderung berperilaku menjadi pemabuk dengan level yang lebih berat.
Pengendalian Sosial
Untuk mengatasi dan mengurangi agar ulah geng motor tidak berkembang makin mencemaskan sebaiknya diperlukan pengendalian sosial yang bersifat represif dan preventif.
Pengendalian represif yang digunakan adalah dengan menjatuhkan sanksi dan hukuman. Anggota geng motor yang terlibat dalam tindakan kriminal, seperti pembunuhan dan perampokan harus ditindak secara tegas menurut hukum pidana.
Sementara pengendalian preventif lebih bersifat pencegahan. Pengendalian ini harus dilakukan secara terencana dan tersistematis. Pengendalian ini berorientasi pada upaya agar pelanggaran tidak terjadi. Bukan pada pelanggaran yang sudah terjadi. Pendekatannya bersifat persuasif dan transformatif.
Banyak hal bisa dilakukan dalam usaha preventif ini. Seperti revitalisasi pranata keluarga sebagai tempat sosialisasi nilai dan norma yang pertama dan utama.
Jangan sampai fungsi keluarga untuk memberikan rasa ketentraman dan keterlindungan tercerabut dari anak-anak. Sehingga anak-anak merasa tidak betah. Bahkan merasa tidak tenang tinggal di rumah. Padahal keluarga merupakan lembaga sosial dasar yang awal atau sebagai fondasi dari lembaga sosial lainnya.
Pranata keluarga juga berperan membina keluarga agar mampu beradaptasi dengan lingkungan fisik maupun budaya di mana ia berada.
Hal tersebut sebagai upaya agar anggota keluarga tidak melakukan penyimpangan sosial. Jika sebuah keluarga telah berhasil menanamkan nilai dan norma secara baik dan dijalankan secara maksimal, maka akan tercipta kehidupan yang lebih baik di lingkungan sosial yang lebih luas.
Sebagai kelompok marginal yang distigma negatif oleh masyarakat, anggota geng motor selalu menarik diri dari lingkungan sosialnya.
Mereka cenderung resisten kepada aparat penegak hukum. Maka dalam konteks ini perlu pendekatan kultural dan mengedepankan dialog. Misalnya saja memberikan ruang khusus bagi mereka untuk berekspresi di waktu yang telah disepakati bersama. Tentu tetap pada koridor nilai, etika, peraturan yang ada.
Pendekatan humanis semacam ini cukup vital. Pasalnya mereka relatif masih muda dan energi mereka cukup besar untuk berkreasi. Maka kita tidak bisa membunuh kreatifvitasnya. Perlu kita lakukan adalah memberikan perhatian khusus kepada mereka dan mengarahkan mereka kepada kegiatan kontruktif dan positif.
Editor Sugeng Purwanto