PWMU.CO – Hari-hari ini, film yang menceritakan perjalanan hidup Nyai Ahmad Dahlan, sedang memasuki sesi-sesi terakhir untuk tayang. Sebagai sebuah film yang berdurasi 100-an menit untuk merangkum 73 perjalanan hidup, sudah tentu ada banyak catatan. Begitu juga dengan film Nyai Ahmad Dahlan. Berikut adalah catatan Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah 2006-2010, M. Izzul Muslimin.
***
Kemarin malam (25/5), saya diminta Mbak Dyah Kalsit selaku produser Film Nyai Ahmad Dahlan (NAD) untuk melihat hasil editan terakhir film NAD. Sudah 80% proses editing selesai, tinggal memasukkan musik supaya menjadi lebih hidup yang rencananya akan digarap Tya Subiyakto.
Film biopic memang punya problem tersendiri. Perjalanan hidup Nyai yang panjang (73 tahun) harus disajikan hanya dalam durasi 100-an menit menyebabkan kesulitan memilih moment yang paling menarik untuk ditampilkan. Belum lagi tuntutan agar film ini harus tetap memiliki nilai menghibur.
(Baca juga: Siti Walidah, Lebih dari Seorang Kartini dan Ini Salah Satu Perbandingan Kartini dan Siti Walidah)
Menyaksikan tokoh Nyai dalam film ini saya merasakan satu sosok yang memainkan banyak peran. Sebagai istri Kiyai Ahmad Dahlan, Nyai banyak berperan sebagai penyokong perjuangan Kiyai. Seperti peran Khadijah ra dalam kehidupan Rasulullah, Nyai yang seorang saudagar batik banyak mensupport perjuangan Kiyai dalam mendirikan dan mengembangkan Muhammadiyah.
Nyai juga berperan besar dalam menghidupkan dan mengembangkan sayap perempuan Muhammadiyah, melalui pengajian pengajian dan sekolah khusus perempuan. Yang menarik, Nyai juga turut belajar membaca huruf latin bersama sama mereka. (Sebelumnya Nyai lebih menguasai baca tulis arab dan arab melayu atau pegon).
Dan setelah Kiyai Ahmad Dahlan wafat, peran Nyai lebih banyak sebagai ibu, guru, dan penasehat bagi tokoh tokoh Muhammadiyah yang lebih muda. Keberadaan Nyai mampu menjadi paku bumi bagi Muhammadiyah yang terus berkembang meluas pasca wafatnya Kiyai.
(Baca juga: Cara Nyai Ahmad Dahlan Mendidik Anak)
Gejolak dan dinamika yang dihadapi Muhammadiyah baik yang bersifat internal maupun eksternal dapat dilalui dengan baik juga tidak bisa dilepaskan dari peran Nyai. Banyak kader kader Muhammadiyah yang akhirnya menjadi tokoh Bangsa seperti Mas Mansur, Ki Bagus Hadikusumo, Soedirman, dan Soekarno yang sering meminta nasehat Nyai. Sayangnya dalam film ini tidak semua tokoh tersebut bisa dimunculkan.
Film NAD banyak menampilkan sisi kehidupan Nyai yang selama ini kurang banyak diketahui. Sebagai sosok di samping Kiyai Ahmad Dahlan, nama Nyai mungkin tertutupi oleh nama besar suaminya. Padahal sepak terjang Nyai tidak kalah besar jika dibandingkan tokoh tokoh perempuan lainnya seperti Kartini, Dewi Sartika, atau Rasuna Said. Karena perannya itulah Nyai Ahmad Dahlan ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 1961.
Nyai Ahmad Dahlan memang bukan tipikal perempuan yang dengan frontal mendobrak tradisi dan budaya yang pada saat itu masih menempatkan perempuan pada posisi inferior. Namun melalui dakwah dan pendidikan yang diprakarsainya bersama suami, Nyai berhasil mengubah peran perempuan lebih bermakna baik dalam peran domestik maupun publik.
(Baca juga: Mengapa KH Ahmad Dahlan Berpoligami? Inilah Penjelasan yang Diungkap oleh Keluarga Besarnya)
Pemikiran dan pandangan Nyai memang tidak seperti para feminis yang cenderung mempersoalkan sikap patuh dan taat istri kepada suami, tapi lebih menempatkan perempuan sebagai partner suami yang saling mendukung dan menghargai.
Dalam film ini, saya lebih melihat Nyai yang tampil sebagai sosok teladan, baik sebagai istri, ibu, teman, maupun guru. Nyai telah mendarmabaktikan seluruh kehidupannya untuk keluarga, umat, masyarakat, dan bangsa. Di akhir hidupnya, Nyai tidak dalam kehidupan yang mewah dan bergelimang harta, bahkan cenderung sederhana.
(Baca juga: Bagaimana Anak Cucu KHA Dahlan sampai Tinggal di Thailand dan Dituduh Ahmadiyah? Ini Kisah Cicitnya, Diah Purnamasari)
Ada peristiwa yang sayangnya tidak terekam dalam film NAD. Pada saat terjadi pemindahan Ibukota dari Jakarta ke Yogyakarta, Presiden Seokarno berkesempatan menengok Nyai Ahmad Dahlan. Saat itu di rumah Nyai tidak ada kursi yang pantas untuk tempat duduk, sehingga Nyai meminjam tikar tetangga untuk menyambut kedatangan Presiden Seokarno.
Tanpa memperdulikan protokoler kepresidenan, Soekarno langsung masuk ke rumah Nyai dengan melepas sepatu dan duduk lesehan di tikar yang disediakan. Begitu hormatnya Soekarno kepada Nyai, karena memang Nyai adalah seorang Guru Bangsa. (abqaraya)