PWMU.CO – Din Syamsuddin menganjurkan kembali ke UUD 1945 Asli daripada amandemen seperti diusulkan Ketua MPR Bambang Susetyo.
Menurut Din, amandemen UUD 1945 pada 2002 sehingga menjadi pantas disebut UUD 2002 telah menghilangkan ruh konstitusi negara yang telah disepakati oleh para pendiri negara pada 18 Agustus 1945.
”Walaupun Pembukaan tidak diubah tapi pasal-pasal jantung berubah. Inilah pangkal penyebab kehidupan berbangsa dan bernegara mengalami deviasi, distorsi, dan disorientasi dari jiwa, semangat, dan nilai Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, dan dari Pancasila yang ditetapkan pada 18 Agustus 1945,” kata Din Syamsuddin, Jumat (18/8/2023).
Sebagai akibatnya, sambung dia, kehidupan bangsa dan negara dalam bidang politik dan ekonomi menyimpang jauh dari amanat kemanusiaan, persatuan, dan keadilan yang terkandung dalam Pancasila.
”Jalan tengah yang paling aman untuk itu adalah kembali ke UUD 1945 yang asli. Jangan tunda lagi, apalagi setelah Pemilu, karena Pemilu itu hanya akan memunculkan kepemimpinan nasional yang membawa bangsa dan negara dalam lingkaran setan kerusakan,” kata Ketua Umum PP Muhammadiyah periode 2005-2015.
Tak Adil
Din Syamsuddin menjelaskan, sistem yang ada sekarang hanya menguntungkan segelintir orang, memunculkan kesenjangan dan ketakadilan, yang pada gilirannya akan menggoyahkan sendi-sendi persatuan dan kesatuan bangsa.
”Kaum oligarki yang minoritas tapi menguasai mayoritas aset nasional, dapat mendiktekan kehidupan politik melahirkan pemimpin-pemimpin yang berhamba pada kaum oligark dan tidak mengabdi bagi kepentingan rakyat kecuali segelintir orang yang menikmati kekuasaan itu,” tuturnya.
Dikatakan, terjadi lingkaran setan kekuasaan yang hanya berkuasa untuk kekuasaan dan cenderung melanggengkan kekuasaan dengan menghalalkan segala cara.
Sistem ekonomi dan politik produk UUD tahun 2002, kata dia, melahirkan elite politik nasional yang kleptokratis. Yakni para pejabat yang cenderung menggunakan jabatan untuk memperkaya diri. Mereka sejatinya adalah penguasa-pengusaha.
Perwujudan cita-cita nasional seperti termaktub pada Pembukaan UUD 1945, menurut Din, menjadi bagaikan jauh panggang dari api.
Wacana maju berhenti pada titik semu. Apalagi jika dibalut oleh kepalsuan dalam bentuk ucap dan laku yang berjarak. Lebih-lebih lagi jika kepalsuan itu berisikan dusta. Narasi-narasi yang muncul bersifat mengelabui rakyat.
Dalam keadaan demikian kepemimpinan nasional secara sengaja atau tidak bersengaja, secara nyata atau tersembunyi telah meruntuhkan kedaulatan negara dalam berbagai bidang.
”Trisakti Bung Karno berisi Berdaulat dalam politik, Berdikari dalam dalam ekonomi, Berkepribadian dalam budaya hanya sering diperkatakan tapi gagal diperbuatkan,” tandasnya.
Misal, ujar Din, pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) mengundang investasi asing dengan memberikan mereka konsesi HGU 190 tahun sungguh potensial meruntuhkan kedaulatan negara dan membuka peluang bagi penguasaan negara oleh bangsa lain.
Begitu pula undang-undang seperti UU Cipta Kerja yang dirasakan merugikan kaum buruh tapi penyelenggara negara diam membisu, bahkan alat negara menghalangi rakyat yang berunjuk rasa.
”Dan ini yang patut dicermati, tidak ada tempat dan waktu bagi presiden untuk mempertanggungjawabkan kepemimpinannya karena tidak ada lagi MPR sebagai lembaga tertinggi negara,” tegasnya.
Din menjelaskan, inilah sebagian akibat dari perubahan UUD 1945 menjadi UUD yang ada sekarang. Oleh karena itu, mendesak untuk dilakukan penyelamatan negara dengan menghentikan perangai kepemimpinan yang cenderung melanggengkan kekuasaan demi kekuasaan itu.
”Jalan tengah yang paling aman untuk itu adalah kembali ke UUD 1945 yang asli,” tegas Din Syamsuddin lagi.
Editor Sugeng Purwanto