Pemimpin Negarawan Vs Pemimpin Politikus oleh Arief Hanafi, Koordinator Bidang Maritim Pimpinan Daerah Pemuda Muhammadiyah Sidoarjo, Alumni Magister Sosiologi UMM
PWMU.CO – Pemberitaan kasus korupsi yang dilakukan pejabat daerah dan nasional seolah tidak ada habisnya.
Terbaru ulah keluarga mantan Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo (SYL) yang menguras duit Kementerian Pertanian saat menjabat.
Keperluan sunatan, makan sehari-hari, hingga ulang tahun pakai anggaran negara. Itu terungkap dalam sidang pemeriksaan saksi di Pengadilan Tipikor Jakarta (Detik, 29/4/2024).
Korupsi di daerah juga tidak kalah dahsyatnya. Ahmad Muhdlor Ali (Gus Muhdlor) ditetapkan sebagai tersangka setelah sempat ”menghilang” saat Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK pada 25 dan 26 Januari 2024.
Bupati Sidoarjo ke-12 tersebut terlibat korupsi di lingkungan Badan Pelayanan Pajak Daerah (BPPD). Mantan politikus PKB ini diduga menerima bagian potongan insentif ASN Pemkab Sidoarjo senilai Rp 2,7 miliar.
Melihat rekam jejak para bupati Sidoarjo yang selalu bermasalah dengan hukum, tampaknya masyarakat harus lebih jeli melihat calon pemimpinnya kelak.
Masyarakat perlu melakukan evaluasi dan refleksi dalam menentukan pilihannya. Perilaku nir-etika yang dilakukan para pejabat merupakan bentuk pengkhianatan kepada masyarakat.
Begitu besar kepercayaan yang diberikan masyarakat kepada pemimpinnya, namun diselewengkan tanpa memiliki rasa malu.
Sudah seharusnya peristiwa ini menjadi pengalaman sekaligus pembelajaran bagi pemimpin selanjutnya agar tidak bermain-main dengan kekuasaan.
Dampak Korupsi
Samuel Huntington dalam Political Order in Changing Societies (1968) menjelaskan, korupsi terjadi ketika institusi-institusi politik tidak mempunyai daya untuk menjaga integritasnya dan tidak memiliki mekanisme yang efektif dalam memerangi perilaku yang koruptif.
Ilmuwan politik asal Amerika Serikat ini menggambarkan korupsi sebagai fenomena di mana pejabat pemerintah menggunakan kekuasaan dan akses mereka untuk keuntungan pribadi atau kelompok, bukan untuk kepentingan umum.
Hal ini akan berdampak pada legitimasi politik, korupsi yang merajalela menurut Huntington akan mengancam stabilitas politik dan memperburuk ketidaksetaraan dalam distribusi kekuasaan.
Pandangan Huntington tentang dampak korupsi perlu mendapat perhatian serius. Kita tidak bisa membayangkan jika dalam sebuah negara atau daerah, pejabatnya melakukan korupsi, terlebih terjadi di setiap periode kepemimpinan, seperti di Kota Delta tersebut.
Lalu bagaimana masa depan demokrasi kita? Krisis kepemimpinan ini perlu segara diatasi. Kita butuh sosok pemimpin yang memperjuangkan kesejahteraan masyarakat.
Sudah waktunya Indonesia memiliki pemimpin negarawan, bukan pemimpin politikus. Secara prinsip, dua hal ini berbeda.
Pemimpin dengan sifat negarawan mempunyai karakter yang mengayomi dan berpikir untuk masa depan bangsa hingga seribu tahun mendatang.
Sosok pemimpin negarawan mempunya idealisme yang kuat, harga diri yang terjaga dan mampu memberikan pengaruh kuat karena sifat kebijaksanaannya.
Mereka mampu menimbang segala konsekuensi dari setiap keputusan yang diambil serta mengutamakan kepentingan nasional dan kesejahteraan rakyat di atas kepentingan pribadi atau golongan.
Pemimpin Politikus
Berbeda dengan pemimpin negarawan, tipikal pemimpin politikus cenderung memikirkan kepentingan sesaat demi tercapainya tujuan pribadi atau golongan. Bahkan mereka muncul saat menjelang suksesi kepemimpinan saja.
Pemimpin politikus pandai bermain peran. Program-programnya hanya sebagai kamuflase kehidupan sosial. Mereka mampu memainkan dramaturgi politik dengan baik.
Meminjam pemikiran Erving Goffman dalam The Presentation of Self in Everyday Life (1959), realitas politik dapat dilihat sebagai panggung yang menampilkan drama atau teater.
Panggung depan (front stage) ketika para pemimpin politikus ini menjalankan kerja-kerja pemerintahan, panggung belakang (back stage) ketika para pemimpin politikus ini mengamankan kepentingan pribadinya untuk melanggengkan status quo.
Pengawasan Kolektif
Meski sosok pemimpin negarawan tidak bisa muncul secara instan, bukan berarti kita kehilangan harapan. Pemimpin negarawan akan hadir di waktu yang tepat dengan situasi sosial yang mendukung.
Sosok pemimpin negarawan sulit hadir di tengah sistem demokrasi yang masih transaksional. Maka perlu pengawasan secara kolektif. Pengawasan ini bersifat struktural dan kultural.
Secara struktural, negara harus mampu memberikan kepastian sistem demokrasi yang terbuka untuk semua pihak.
Demokrasi dari rakyat untuk kepentingan rakyat, bukan rakyat untuk kepentingan penguasa. Selama ongkos politik masih sangat tinggi, potensi korupsi masih sangat besar.
Belum lagi kinerja partai yang cenderung pragmatis. Maka dalam konteks kepastian sistem demokrasi, pemerintah harus menjamin bahwa sistem suksesi kepemimpinan bebas dari kepentingan individu atau golongan.
Selanjutnya adalah pengawasan kultural. Pengawasan ini berasal dari masyarakat. Sudah saatnya masyarakat mampu memandang masalah kebangsaan secara komprehensif.
Misalnya, masyarakat kritis terhadap persoalan korupsi dan krisis kepemimpinan. Kesadaran atas berbagai persoalan sosial-politik harus dipahami sebagai masalah bersama yang harus segera diperbaiki.
Masyarakat harus memiliki pemahaman yang kuat tentang hak sebagai warga negara, termasuk hak untuk menyuarakan pendapat, memberi masukan dan memantau tindakan pemimpinnya dalam menjalankan pemerintahan.
Kesadaran masyarakat seperti ini memungkinkan berjalannya sistem yang sehat, ada kontrol terhadap penguasa dan memberikan umpan balik ketika pemimpin yang terindikasi bertindak tidak etis (check and balances).
Melalui gerakan pengawasan kolektif, maka akuntabilitas dan transparansi dalam menjalankan roda pemerintahan akan terwujud.
Dengan atmosfer demokrasi yang sehat, akan lahir sosok negarawan sejati untuk memimpin bangsa ini. Semoga.
Editor Sugeng Purwanto