PWMU.CO – Pada hari Sabtu tanggal 29 Juni 2024, telah dilaksanakan acara Pra-Musywil Majelis Tarjih Jawa Timur yang membahas tema “Tamkin Manhaj Tarjih Muhammadiyah: Penguatan Manhaj Tarjih Muhammadiyah dengan Pendekatan Epistemologi Bayani, Burhani, dan Irfani”. Acara ini dihadiri oleh para Masyayikh dan asatidz dari Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Daerah Muhammadiyah se-Jawa Timur.
Acara ini bertempat di di Pesantren Modern Muhammadiyah Paciran, Lamongan, dimulai pukul 09.00 WIB dan berlangsung hingga pukul 16.00 WIB. Acara Pra-Musywil MTT JATIM dibuka oleh sambutan dari Ketua PDM Lamongan (Shohibul Bait) dan Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah, Dr Achmad Zuhdi DH M Fil, yang menjelaskan latar belakang dan tujuan dari diskusi ini.
Diskusi ini menghadirkan empat pemateri utama, yaitu:
1. Dr Syamsudin MAg sebagai Keynote Speech, Wakil Ketua PWM JATIM
2. Prof Dr Abdul Hadi MAg, dengan tema “Penguatan Manhaj Tarjih Muhammadiyah dengan Pendekatan Epistemologi Bayani”.
3. Prof Dr Syamsul Arifin MA dan Aunurrafiq Lc MA PhD dengan tema “Epistemologi Burhani dalam Muhammadiyah: Pondasi Rasional untuk Pemahaman Keagamaan”.
4. Dr Isa Ansori MA, yang membahas dengan tema “Pendekatan ‘Irfani dalam Manhaj Tarjih Muhammadiyah”.
Setiap pemateri menyampaikan pemikiran dan analisis mendalam mengenai pendekatan epistemologi yang mereka teliti, serta aplikasinya dalam konteks keagamaan dan sosial masyarakat. Acara Pra-Musywil ini juga melibatkan partisipasi aktif dari peserta yang berasal dari berbagai latar belakang akademik dan keagamaan.
Setelah pemaparan materi dari keempat pemateri, dilanjutkan dengan sesi tanya jawab yang diikuti dengan antusias oleh para peserta. Diskusi berlangsung dengan lancar dan mendalam, menghasilkan berbagai pandangan dan solusi terkait dengan penerapan trilogi pendekatan epistemologi dalam kehidupan beragama.
Pnguatan Manhaj Tarjih Muhammadiyah dengan Pendekatan Epistemologi Bayani
Oleh: Prof Dr Abdul Hadi MAg
Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid mengusung agenda purifikasi dan dinamisasi melalui pendekatan epistemologi bayani. Pendekatan ini menempatkan teks (wahyu) sebagai kebenaran mutlak dan mengutamakan analisis bahasa. Muhammadiyah, yang dikenal dengan Islam berkemajuan atau Islam progresif, berupaya menghidupkan kembali dimensi progresifitas Islam yang telah lama tenggelam akibat dominasi pembacaan teks secara literal tanpa konteks. Sejak didirikan oleh Ahmad Dahlan pada tahun 1912, Muhammadiyah telah menunjukkan karakter reformis-inklusif, fokus pada pelayanan sosial dan kemanusiaan dengan otoritas keulamaan yang berbasis praktis.
Seiring waktu, pemikiran Muhammadiyah mengalami interpretasi dan reinterpretasi oleh generasi ulama-intelektual penerus. Masa kepemimpinan K.H. Mas Mansur menandai penyempitan arti purifikasi dari rasional-spiritual ke orientasi syariah/fiqhiyah dan dogmatis. Pada masa pertengahan antara 1940 hingga 1980-an, terjadi penguatan pemurnian Islam dari aspek akidah dan ibadah ke mu’amalah. Era post-puritanisme dimulai sejak 1980-an dengan munculnya ulama-intelektual modern seperti Amin Rais dan Amin Abdullah. Pada periode ini, Majlis Tarjih mulai mengintegrasikan nalar bayani, burhani, dan irfani dalam pembacaan teks-teks agama secara kontekstual.
Pendekatan epistemologi bayani, burhani, dan irfani diterima oleh ulama Tarjih Muhammadiyah, yang mengintegrasikan ilmu pengetahuan dengan pembacaan teks yang kontekstual. Abid al-Jabiri mengkritik nalar Islam yang parsial dan mendorong integrasi tiga epistemologi tersebut untuk mengejar ketertinggalan peradaban Islam dibandingkan Barat. Muhammadiyah kini menerapkan ijtihad bayani, qiyasi, dan istishlahi dalam menentukan hukum, serta mengadopsi metode integratif dalam kajian ilmu kebahasaan, teologi, dan fiqh. Meski menghadapi tantangan internal terkait pemahaman hukum seperti bunga bank, pendekatan ini terus dikembangkan untuk mewujudkan Islam yang relevan dan progresif.
Pendekatan epistemologi bayani dalam Muhammadiyah menempatkan teks wahyu, yaitu Al-Qur’an dan hadits, sebagai sumber kebenaran mutlak. Fokus utamanya adalah pada analisis bahasa untuk memahami makna teks secara mendalam. Muhammadiyah meyakini bahwa pemahaman teks harus dilakukan secara kontekstual untuk menghindari interpretasi yang sempit dan harfiah tanpa memperhatikan konteks sosial dan historis yang relevan.
Sejak awal pendiriannya, Muhammadiyah telah menunjukkan karakter reformis-inklusif dengan mengedepankan pelayanan sosial dan kemanusiaan, yang didasari oleh otoritas keulamaan yang praktis. Pemikiran Muhammadiyah terus mengalami reinterpretasi dari generasi ke generasi, yang mengarah pada integrasi nalar bayani sebagai landasan interpretasi teks agama yang kontekstual.
Epistemologi Burhani dalam Muhammadiyah: Pondasi Rasional Untuk Pemahaman Keagamaan
Oleh: Prof Dr Syamsul Arifin MA & Aunurrafiq Lc MA PhD
Muhammadiyah, sebagai salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, terkenal dengan pendekatan progresif dan rasional dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam. Pendekatan ini dikenal sebagai epistemologi burhani, yang menggabungkan akal (al-‘aql) dan empirisme (al-tajribah) sebagai dasar pengetahuan. Penerapan epistemologi burhani ini berperan signifikan dalam membentuk karakter intelektual dan keagamaan Muhammadiyah. Dalam konteks pemikiran tarjih, khususnya dalam ibadah ghair mahdlah (muamalah), epistemologi burhani berfungsi sebagai penggerak ijtihad yang dinamis, menjawab berbagai permasalahan sosial dan kemanusiaan dengan memadukan nas syariah dan ilmu pengetahuan yang relevan.
Prinsip-prinsip epistemologi burhani dalam Muhammadiyah mencakup beberapa aspek kunci. Pertama, rasionalitas dan akal, di mana Muhammadiyah mendorong penggunaan akal dalam memahami ajaran Islam secara kritis dan analitis, memastikan interpretasi yang relevan dan kontekstual. Kedua, pentingnya kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah melalui pendekatan rasional dan ilmiah. Ketiga, penolakan terhadap takhayul, bid’ah, dan khurafat (TBC), yang dianggap tidak memiliki dasar kuat dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Terakhir, penekanan pada pendidikan dan ilmu pengetahuan, yang mendukung pengembangan pendidikan berbasis rasional dan ilmiah dalam ilmu agama dan ilmu umum.
Implementasi epistemologi burhani dalam Muhammadiyah tercermin dalam berbagai bidang. Dalam pendidikan, Muhammadiyah mendirikan ribuan sekolah dan perguruan tinggi, mengintegrasikan ilmu agama dan ilmu umum, mendorong siswa untuk berpikir kritis dan rasional. Dalam hukum Islam, Majelis Tarjih dan Tajdid melakukan ijtihad dan mengeluarkan fatwa berdasarkan interpretasi rasional terhadap Al-Qur’an dan Sunnah, memastikan relevansi dengan zaman dan situasi masyarakat. Dalam bidang kesehatan dan sosial, layanan Muhammadiyah berbasis pada penelitian dan praktik ilmiah terbaik. Meskipun menghadapi tantangan dari kelompok konservatif dan tuntutan globalisasi, komitmen Muhammadiyah terhadap pendidikan dan inovasi memastikan bahwa pendekatan burhani tetap menjadi fondasi penting dalam mengembangkan Islam yang relevan dan progresif di Indonesia.
Pendekatan ‘Irfani dalam Manhaj Tarjih Muhammadiyah
Oleh: Dr Isa Ansori MA
Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah, sejak didirikan pada tahun 1928 melalui Keputusan Kongres Muhammadiyah ke-16 di Pekalongan, telah mengalami transformasi signifikan dalam berbagai dimensi. Awalnya bertujuan untuk menyelesaikan perselisihan praktik keagamaan di masyarakat, Majelis Tarjih dan Tajdid kini memperluas ruang lingkupnya untuk menangani isu-isu kontemporer yang kompleks, seperti keuangan modern, hukum keluarga, bencana, dan fikih-fikih inovatif lainnya. Muktamar Muhammadiyah tahun 2000 menandai langkah penting dalam perkembangan ini dengan memperluas metodologi ijtihad menjadi tiga pendekatan: bayani, burhani, dan ‘irfani.
Pendekatan ‘irfani dalam konteks manhaj tarjih Muhammadiyah menekankan pemahaman yang melampaui aspek tekstual dengan fokus pada aspek kasyf, yaitu pengungkapan rahasia realitas oleh Tuhan. Dalam epistemologi Islam, pengetahuan ‘irfani tidak hanya diperoleh melalui analisis teks, tetapi juga melalui pengalaman spiritual dan kesucian hati. Proses ini melibatkan latihan-latihan rohani untuk mencapai tingkat kesucian batin yang memungkinkan individu menerima pengetahuan langsung dari Tuhan.
Implementasi pendekatan ‘irfani melibatkan tiga tahapan utama. Tahap pertama adalah persiapan, di mana individu menjalani kehidupan spiritual yang melibatkan tahap-tahap seperti tobat, wara’ (menjauhkan diri dari yang syubhat), zuhud (tidak tamak akan dunia), faqir (mengosongkan pikiran dari harapan duniawi), sabar, tawakal, dan ridha. Setelah mencapai tahap persiapan yang cukup, individu kemudian siap untuk menerima pengetahuan langsung dari Tuhan, yang merupakan tahap kedua. Tahap ketiga adalah pengungkapan, di mana pengetahuan yang diterima tersebut dikonseptualisasikan dan disampaikan secara logis dan koheren kepada masyarakat.
Meskipun pengetahuan ‘irfani bersifat subjektif dalam pengalaman awalnya, validitas kebenarannya dapat dirasakan secara intersubjektif oleh individu yang memperolehnya. Dalam konteks pemikiran keislaman, pendekatan ini memberikan pendekatan yang lebih mendalam dan holistik terhadap ajaran agama, memungkinkan integrasi yang seimbang antara aspek rasional dan spiritual dalam pengembangan pemikiran keagamaan.
Integrasi ketiga pendekatan dalam manhaj tarjih Muhammadiyah menghasilkan pendekatan yang holistik dan seimbang. Pendekatan bayani memberikan fondasi yang kuat dalam meneguhkan kebenaran tekstual Al-Qur’an dan hadits, sementara pendekatan burhani memberikan alat rasional untuk menghadapi tantangan zaman dengan kritis dan analitis. Di sisi lain, pendekatan irfani menambah dimensi spiritual yang mendalam dalam pemahaman dan praktik ajaran Islam. Majelis Tarjih Muhammadiyah, sebagai otoritas fatwa, mengaplikasikan integrasi ini untuk memastikan keberlakuan pemahaman Islam yang relevan, progresif, dan berwawasan masa depan, sesuai dengan dinamika zaman. Penerapan pendekatan ini menunjukkan komitmen Muhammadiyah dalam menjaga nilai-nilai Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam, dengan menggabungkan analisis tekstual yang mendalam, rasionalitas akal, dan pengalaman spiritual yang mendalam. Upaya ini tidak hanya memperkuat landasan keilmuan Muhammadiyah, tetapi juga memperluas peran Islam dalam membangun masyarakat yang adil dan harmonis di tengah kompleksitas tantangan zaman.
Editor Azrohal Hasan