PWMU.CO – Pakar Hukum dari Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya), Satria Unggul Wicaksana, memberikan pandangan terkait perguruan tinggi yang diusulkan untuk memperoleh wilayah izin usaha pertambangan dalam revisi Undang-Undang Mineral dan Batubara (UU Minerba). Menurut Satria, perubahan UU Minerba ini berpotensi memunculkan persoalan serius, terutama saat berhadapan dengan konflik kepentingan.
“Konflik kepentingan yang dimaksud adalah ketika tujuan dari pengelolaan tambang atau minerba ini di dalam RUU yang dalam perubahannya sebenarnya ada kepentingan profit di situ. Tapi, di sisi lain, kampus memiliki peran untuk melakukan riset atau pengembangan keilmuan,” jelas Satria Rabu (22/01/2025) dilansir dari web um-surabaya.ac.id.
Kata Satria, hal tersebut akhirnya menjadi anomali dan pimpinan perguruan tinggi akan menghadapi tantangan berat ketika berhadapan dengan konflik kepentingan.
Konflik kepentingan yang dimaksud pimpinan kampus nantinya tidak bisa membedakan inti dari perguruan tinggi, apakah untuk mencari keuntungan atau untuk melakukan riset. Bentuk lainnya adalah konflik internal di antara civitas kampus yang terhubung dengan kekuasaan.
Pengelolaan Tambang
Persoalan lain yang disorot Satria adalah potensi fraud dan korupsi dari pengelolaan tambang. Hal itu, menurutnya, tak bisa dipandang sebelah mata.
“Ini juga sebenarnya menjadi problem ketika ormas atau lembaga-lembaga nonprofit itu kemudian diberikan izin pengelolaan tambang yang itu secara economic cost atau environmental cost itu tentu juga menjadi masalah ketika berhadapan dengan bisnis utama dari organisasi itu sendiri,” ujar Satria.
Jadi, menurut Satria, bahaya-bahaya atas potensi konflik kepentingan dan masalah yang menyertai itu harus dipikir matang-matang.
“Dan ini bukan hanya sekadar memberikan program yang populis bagi kelompok-kelompok seperti kampus atau kelompok-kelompok nonprofit lain, tapi jauh lebih daripada itu adalah tata kelola dari pengelola pertambangan itu betul-betul harus dipertimbangkan dengan baik,” jelasnya.
Akar masalah konflik kepentingan itu disebut Satria lantaran tidak adanya suatu regulasi yang sinkron. Dalam konteks kampus, misalnya, sejauh mana korelasi antara good university governance dan WIUPK.
“Sebelum implementasinya dululah, bagaimana harmonisasi regulasi, perizinan, dan sebagainya. Khawatirnya, bendera kampus, dalam tanda petik, ini hanya digunakan oleh broker, di dalam izin pengelolaan pertambangan,” tutur Satria.
Satria menegaskan, bahwa perguruan tinggi sejak awal memang tidak didesain untuk mengelola tambang. (*)
Penulis Amanat Solikah Editor Azrohal Hasan