Oleh Suryawan Ekananta – Sarjana pertanian dan alumni aktivis IMM UMM Angkatan 1988, berdomisili di Jakarta
PWMU.CO – Negeri Bangsa Indonesia ini telah merdeka hampir 80 tahun. Namun kemerdekaan yang 20 tahun ke depan — berarti sekitar 2045, dan masuk proyeksi Indonesia Emas — genap 1 abad, hingga kini masih menjadi obyek ‘jajahan’ makanan yang bernama beras. Pendek kata, jika kita belum mengkonsumsi bahan makanan yang berbahan dasar beras — entah itu nasi atau lontong —, serasa kita belum makan.
Padahal pola konsumsi makanan yang semata-mata bertumpu pada hasil olahan dari beras telah menjadi persoalan serius bagi bangsa ini. Hal ini seiring dengan produksi beras dari hasil panen petani jauh lebih kecil dari pertumbuhan jumlah populasi penduduk.
Fenomena produksi beras yang tidak sebanding dengan jumlah populasi penduduk, bila teori Robert Maltus ini tidak kunjung terpecahkan, maka dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama lagi masyarakat Indonesia akan memanen problem atas pangan.
Jika kita coba tarik sejarah masa lalu, saat terjadi pergantian kekuasaan politik dari Presiden Soekarno (Bung Karno) ke Presiden Soeharto (Pak Harto), negara bangsa ini menghadapi krisis pangan yang akut. Harga kebutuhan pokok yang melambung tinggi dan bahkan terjadi hyper inflasi hingga mencapai 650 persen. Dengan kata lain, negara bangsa kita ini sebenarnya sudah pada taraf bangkrut.
Krisis ekonomi yang terjadi saat itu menggiring pada jurang kemiskinan, meningkatnya aksi kejahatan, kebodohan dan kelaparan hampir menyergap Bangsa Indonesia. Beruntung, saat itu Pak Harto mengambil keputusan cepat dan tepat untuk menyelamatkan bangsa dari ancaman kelaparan dan penyakit menular.
Imbas gejolak politik
Krisis ekonomi warisan Orde Lama yang kianparah akibat gejolak perseteruan politik dengan meletuslah pemberontakan berdarah oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 1965, beban pemerintahan Orde Baru awal kian berat.
Entah sebuah keberuntungan atau justru kesengajaan yang sudah terencanakan dengan baik oleh Bung Karno, sebelum Bapak Proklamator itu mengeluarkan Surat Perintah Sebelas Maret (Super Semar) kepada Letjen Soeharto, Bung Karno tealah menandatangani Surat Keputusan Presiden (Kepres) tentang “menasionalilasi investasi asing”. Meski, saat sebelum menjalankan Kepresnya, Bung Karno keburu dilengserkan dan digantikan oleh Soeharto.
Kepres yang ditandatangani Bung Karno itu kemudian dijadikan dasar hukum Pak Harto untuk mengundang para investor asing yang sudah berinvestasi di Indonesia. Harapan Pak Harto saat itu, dengan membuka kran investasi asing ini, uang PT Freeport — yang merupakan Perusahaan asing asal Amerika Serikat — dapat masuk ke Indonesia dan bermanfaat untuk memperbaiki kondisi ekonomi Indonesia melalui konsep “Trilogi Pembangunan” melalui program Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita)nya.
Saat terjadi krisis pangan kala itu, Indonesia pernah mendapat bantuan bulgur — yaitu biji-bijian yang terbuat dari gandum utuh — dari Amerika Serikat untuk memenuhi kebutuhan pangan rakyat. Padahal di Amerika, bulgur merupakan pakan untuk kuda. Tapi bagi Indonesia, bulgur bisa menjadi makanan manusia.
Swasembada pangan
Karena itu, pada Repelita I (1969-1974) pemerintahan Pak Harto bertekad untuk swasembada pangan. Tekad tersebut benar-benar terwujud, meskipun pada 1973-1976 dunia pertanian kita sedang menghadapi hama dan penyakit pada tanaman padi. Hingga kemudian muncullah bibit padi varietas IR yang lebih tahan terhadap hama dan penyakit, serta usia produksinya yang lebih pendek.
Pada era 80-an Indonesia sukses swasembada pangan, karena pemerintah memberi kemudahan pada berbagai fasilitas untuk bidang pertanian. Petani mendapatkan kemudahan untuk memperoleh pupuk dan juga faktor-faktor untuk produksi lainnya. Melalui koperasi pertanian, pemerintah membeli beras petani dengan harga yang lebih tinggi dari pasar. Juga dikeluarkannya kebijakan Floor Price dan Celling Price guna melindungi petani saat panen dan atau paceklik.
Perguruan Tinggi (PT) di dorong membuka “fakultas pertanian” dengan berbagai jurusan, seperti: jurusan tanah, jurusan agronomi (budidaya) dan jurusan sosial-ekonomi pertanian. Pemerintah juga membuka jalan, mulai dari lembah gunung hingga ke pasar. Pada sektor perikanan, pemerintah juga membuka jalan dari pelelangan ikan di pantai hingga pasar. Harapannya, rakyat bisa menjual hasil pertanian, perikanan, dan perkebunannya ke pasar-pasar tradisional dengan mudah.
Pada era Pak Harto ini, tersedia infrastruktur yang berupa jalan untuk memudahkan sarana transportasi dalam mengangkut hasil panen ke pasar-pasar rakyat atau pasar tradisional yang merupakan pusat ekonomi rakyat.
Pemerintah juga menggerakkan para penyuluh untuk memberikan penyuluhan kepada masyarakat petani. Meski dalam perjalannya, program yang sudah terancang dan terlaksana dengan sangat baik itu sempat mengalami masalah serius. Sebagian penyuluh dan koperasi justru berperilaku tidak Amanah. Mereka justru melakukan kecurangan, korupsi dan sebagainya sehingga capaian target menjadi tidak maksimal.
Lepas dari itu, melalui program kelompok tani itu Pak Harto tampak semakin dekat dengan rakyat. Beliau tidak lelah untuk terjun ke sawah bersama petani untuk meningkatkan produksi padi agar berlimpah. Indonesia pun terkenal sebagai negara yang sukses melakukan swasembada pangan, utamanya beras.
Pemerintahan Pak Harto juga berusaha untuk mengendalikan populasi penduduk melalui program keluarga berencana. Kini, kenangan Indonesia sebagai negeri yang sukses melakukan swasembada pangan pun tinggal cerita. Indonesia sebagai negara pertanian hanya tinggal kenangan. Dengan sebagian masyarakat masih berprofesi sebagai petani, Kementerian Pertanian (Kementan) juga masih dipertahankan, namun hingga kini Indonesia masih tidak berhasil melakukan diversifikasi pangan. Hingga kini Indonesia masih bergantung hanya pada beras.
Editor Notonegoro