PWMU.CO – Hingga kini tidak sedikit umat Islam yang menganggap periode Mekkah sebelum kedatangan Nabi Muhammad SAW sebagai terjelek. Apalagi disertai imbuhan jahiliyyah di belakang nama zaman, membuat masyarakatnya seakan-akan tidak lebih dari kumpulan manusia yang nirkeadaban. Hampir semua kejahatan, baik konvensional maupun extraordinary, selalu disematkan kepada masyarakat yang berabad-abad terus menjaga Ka’bah itu.
Keyakinan itu hampir tidak pernah mengalami peninjauan ulang, sehingga pandangan negatif itu terus terlestarikan hampir tanpa kritik sama sekali. Penilaian ini secara tendensius membuat nilai-nilai kebajikan yang mereka praktikkan menjadi sirna hampir tidak berbekas. Pada titik yang ekstrem, penilaian negatif itu membuat catatan sejarah zaman jahiliyyah benar-benar tidak ada gunanya, selain sebagai bahan olok-olok.
Padahal masyarakat mana pun tentu tidak seragam, baik karakter maupun peradaban yang dibangunnya. Dari sudut sosiologis, masyarakat Mekkah sudah terbagi dua kelompok: penduduk kota dan Badui. Penduduk kota tinggal menetap dan rata-rata berprofesi sebagai pedagang.
Sementara Badui adalah nomaden yang mengembara dari satu tempat ke tempat lain dan tidak punya perkampungan tetap. “Mereka biasanya mencari oase untuk bercocok tanam di sekitarnya, serta memelihara ternak domba dan unta,” tulis Ali Mufrodi dalam Islam di Kawasan Kebudayaan Arab.
Lazimnya manusia, sejelek torehan sejarah yang dicatatkan dalam kehidupan pasti terselip nilai kebajikan. Bahkan tidak tertutup kemungkinan nilai-nilai (values) itu masih relevan dijadikan pelajaran bagi kaum terkini, bahkan diiimplementasikan. Tidak terkecuali nilai-nilai kebajikan yang tumbuh dalam keseharian masyarakat Mekkah sebelum kerasulan Muhammad, terutama sejak tahun 440 M. “Pada tahun inilah Qushay ibn Kilab memimpin Mekkah setelah mengalahkan suku Khuza’ah,” tulis sejarahwan A. Syalabi dalam Sejarah dan Kebudayaan Islam I.
Definisi jahiliyyah seringkali berpijak pada makna kebahasaan, ja-ha-la. “Ja-ha-la berarti tidak tahu atau tidak punya pengetahuan,” begitu tulis Muhammad ibn Mukarram ibn Mandzir dalam Lisaan al-‘Arab juz 12 halaman 129.
“Dari definisi bahasa ini tidak sedikit komentator yang berpendapat bahwa masyarakat jahiliyyah adalah mereka yang terkungkung dalam kebodohan, menolak petunjuk Allah SWT, tidak punya moral, tidak bisa baca-tulis, serta tidak taat pada perintah-Nya,” begitu simpul Mohd Shukri Hanapi lewat “From Jahiliyyah To Islamic Worldview: In A Search Of An Islamic Educational Philosophy”, International Journal of Humanities and Social Science Vol. 3 No. 2 Januari 2013.
Penilaian jelek terhadap masyarakat Mekkah pra-Islam semakin kuat, ketika kitab suci ikut menyebut kata jahiliyyah. Alquran menyebutnya menyebut dalam empat tempat, yaitu QS Ali Imran [3]: 154, QS al-Maidah [5]: 50, QS al-Ahzab [33]: 33, dan QS al-Fath [48]: 26).
Definisi kebahasaan dan penyebutannya dalam kitab suci menjadikan masyarakat Mekkah pra-Islam sebagai terdakwa kaum jahiliyyah secara keseluruhan. Kesuraman mereka ini secara suram dipotret oleh –salah satunya– pendiri Gulen Movement, Muhammed Fethullah Gulen. “Manusia zaman itu tidak mampu memberi makna berarti terhadap hidup mereka. Pondasi keberagamaan telah goyah dan semua agama samawi mulai disimpangkan,” tulis Gulen dalam Cahaya Abadi Muhammad SAW: Kebanggaan Umat Manusia, Vol. 1.
Zaman jahiliyyah, tulis Gulen, ditandai dengan tenggelamnya manusia dalam liang kezaliman yang akut dengan rusaknya sendi-sendi kemanusiaan. “Semuanya terbalik 180 derajat, karena kebaikan dianggap sebagai aib, dan begitu juga sebaliknya,” lanjut Gulen.
Padahal fakta masyarakat Arab pra-Islam tidak sepenuhnya jelek. Bahkan, kebajikan mereka itu juga terekam dalam al-Quran…. Selanjutnya halaman 2