PWMU.CO – Nelayan kita miskin karena dimiskinkan oleh beberapa faktor. Pertama, paradigma perencanaan yang terobsesi pertumbuhan (tinggi). Kedua, sistem perdagangan ribawi yang tidak adil bagi nelayan.
Ketidakadilan ini sudah berlangsung lama sehingga nelayan hampir tidak memiliki kesanggupan untuk mengorganisasikan diri untuk meningkatkan bargaining position-nya dalam memperdagangkan hasil-hasil perikanan buah kerja keras dan beresiko mereka sendiri.
Akibat obsesi pertumbuhan tinggi, kawasan pesisir selalu memperoleh prioritas dan alokasi perhatian dan anggaran serta energi yang jauh lebih rendah dari yang dibutuhkan masyarakat nelayan untuk hidup sehat dan produktif. Kawasan2 pesisir bukan daerah tertinggal, tapi “daerah yang ditinggalkan” oleh perencanaan pembangunan.
Perdagangan tidak adil yang dihadapi nelayan disebabkan oleh sistem keuangan ribawi yang hingga kini diadopsi oleh Pemerintah berdasarkan perjanjian-perjanjian internasional yang melawan konstitusi. Untuk sektor primer yang berorientasi ekspor sistem keuangan berbasis uang kertas, terutama Dollar AS, itu sangat tidak adil dan memiskinkan (nelayan dan petani) Indonesia.
Akibatnya, nelayan dipaksa melakukan praktek perikanan yang melanggar hukum untuk bertahan hidup. Pada saat yang sama pengusaha yang memiliki akses pada perbankan ribawi justru mengambil banyak nilai tambah secara tidak adil dibanding nelayan.
Nelayan tidak mampu melakukan investasi untuk meningkatkan bankability nya karena nilai tambah perikanan hasil keringat merrka justru disedot oleh sektor keuangan yang tidak bersahabat pada mereka.
Melalui sistem keuangan ribawi ini telah terjadi migrasi nilai secara sistemik dari sektor primer (riil) -pertanian dan perikanan dll- ke sektor keuangan. Nilai Tukar Nelayan dan Petani boleh dikatakan selalu menurun jika tidak stagnan. Anak-anak muda semakin menjauhi pertanian dan perikanan, meninggalkan kawasan pedesaan untuk pergi ke kawasan perkotaan yang lebih menjanjikan bagi masa depan mereka. Telah terjadi brain draining yang serius dari pedesaan ke perkotaan.
Usulan Kebijakan Solutif
Pertama, kita perlu mengadopsi perencanaan pembangunan yang mengutamakan pemerataan, bukan pertumbuhan tinggi. Target pertumbuhan sebaiknya diturunkan, sedang target pemerataan dinaikkan.
Kedua, kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil lebih memperoleh alokasi perhatian, anggaran pembangunan dan energi yang lebih adil. Infrastruktur air bersih, energi (gas atau listrik), serta akses pada informasi dan pembiayaan perlu diperbesar bagi masyarakat nelayan.
Ketiga, tata niaga perikanan (dan pertanian) didorong agar dibebaskan dari riba. Perlu dirumuskan kebijakan agar transaksi (terutama ekspor) barter ditingkatkan dan pembayaran dilakukan tidak dengan USD tapi dengan valuta yang disepakati secara bilateral atau dengan dinar.
Surabaya, 19 Maret 2018
Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar Teknik Kelautan ITS Surabaya.