Oleh: Emha Ainun Nadjib
Kalau tangan kananmu memberi, selalu diusahakan jangan sampai ketahuan oleh tangan kiri. Akibatnya tangan kiri sering uring-uringan kepada tangan kanan: ”Kenapa kamu tidak pernah bersedekah?”
Pada koordinat dilema itulah Tuhan meletakkan manusia dalam kehidupan. Kalau manusia menunjukkan perannya, bisa terbentur tembok riya. Kalau manusia menyembunyikan perannya, manusia bisa disampahkan oleh sesamanya. Buku sejarah bukan hanya tidak mencatatnya, lebih dari itu malah bisa mengutuknya.
Kalau manusia berdoa memohon ini itu, Allah bisa berposisi defensif: fabi ayyi ala`i robbikuma tukadzdziban. Nikmat Tuhan mana yang kau dustakan wahai jin dan manusia.
Tapi kalau manusia pasrah bongkokan, terserah-serah Tuhan mau kasih apa atau tak kasih apa-apa, Allah melambaikan tangan: ud’uni astajib lakum. Memintalah kepadaKu, niscaya Kujawab dan Kukabulkan.
Bergaul dengan Tuhan Yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang saja memerlukan kecerdasan, kepekaan dan kejelian menghitung posisi dan momentum. Apalagi berinteraksi dengan sesama manusia yang penuh keterbatasan tetapi mudah menyimpulkan, penuh kelemahan tapi sombong, yang penuh kekurangan tapi cenderung mengagumi diri sendiri.
Kalau batang hidung Anda tidak tampak di antara tujuh juta manusia gelombang 212, Anda bisa disimpulkan sebagai munafik, tidak punya sikap, atau minimal dikategorikan sebagai jenis manusia ”yang hanya bicara-bicara saja, tetapi tidak berani berjuang di medan perang.”
Agar Anda tidak dicatat sebagai ”sampah yang tidak berguna”, Anda harus mengumumkan bahwa Anda yang mengolah perubahan tempat Jumatan dari Jl. Thamrin Sudirman ke Monas, demi simulasi yurisprudensi, supaya tidak membuka peluang di masa berikutnya bagi kemungkinan-kemungkinan kemudharatan politik.
Jika ada pertempuran, pasukan yang dicatat oleh sejarah hanya pasukan Infanteri. Plus sedikit Kavaleri dan Artileri. Tetapi pasukan Bayangan, pasukan Siluman, termasuk pasukan Pengintai dan divisi Gerilyawan – tidak diketahui oleh siapapun. Kalau Anda adalah bagian dari itu, Anda ditegur oleh teman-teman: ”Kok kamu tidak ikut berjuang?”
Ketika berlangsung keramaian di mana sebuah masjid baru yang besar dan megah diresmikan, yang dihadiri oleh para pejabat tinggi, para ulama dan tokoh-tokoh masyarakat – ada seorang tua yang tidak diizinkan masuk, hanya berdiri di balik pagar luar lingkungan masjid. Ia berdesakan dengan ratusan hadirin lain di luar pagar. Hanya Allah dan satu dua pihak lain yang tahu bahwa orang itulah pewakaf tanah yang didirikan masjid itu. Dan ia pulalah yang membiayai seluruh keperluan pembangunannya.
Dalam dunia sepakbola dikenal pemain tanpa bola. Pasukan jangan hanya memfokuskan diri kepada pergerakan bola dan para pemain yang di sekitarnya. Justru tidak kalah penting untuk diwaspadai adalah para pemain yang tanpa bola, atau yang melakukan pergerakan di luar lalu lintas bola. Setiap pembawa bola justru selalu berpikir tentang teman-temannya yang tanpa bola berlari ke suatu posisi untuk siap-siap mengakselerasi bergulirnya bola menuju gawang lawan.
Di luar itu ternyata permainan bola, lapangan bola serta apapun saja yang terkait dengan itu – adalah bagian dari kehidupan yang jauh lebih luas dan multidimensional dibanding batas-batas urusan teknis bola.
Ternyata tidak hanya ada pemain tanpa bola, tapi mengerikan juga ada bola tanpa pemain. Artinya, bola bisa bergerak ke luar wilayah yang dirancang dan dimaksudkan oleh pemain bola. Seakan-akan ada pemain lain yang tidak kelihatan, yang menggagalkan permainan pemain yang kelihatan.
Anak-anak kita U-19 berlatih sepakbola dipandu coach Indra Sjafri – tentu demikian juga kesebelasan-kesebelasan lainnya – tidak hanya sebagai pesepakbola, tapi juga dengan kesadaran sebagai bangsa Indonesia, sebagai manusia dan sebagai hamba Tuhan.
Mereka membiasakan diri bersujud syukur dalam posisi apapun, serta pada keadaan menang atau kalah. Kemudian sewajarnya, bahkan selayaknya – karena sudah melakukan segala yang terbaik – kepada Tuhan mereka memohon kemenangan.
Dan Allah memberkati kesehatan dan stamina mereka, meridlai skill dan permainan canggih mereka, sehingga pada pertandingan menentukan melawan Thailand itu mereka sungguh-sungguh menguasai permainan, mengurung lawan. Tetapi Allah juga merahmati kiper Thailand sehingga bermain seakan-akan dibantu oleh beberapa malaikat yang turut menjaga gawang kewajibannya.
Dua kali pernah saya alami kebuntuan seperti yang dialami anak-anak saya Kesebelasan U-19 di Myanmar tempo hari. Bedanya tingkat dan skala mereka ASEAN, sedangkan yang saya alami adalah sepakbola Tarkam, Antar-kampung.
Kami kuasai sepertiga lapangan di depan gawang lawan sepanjang permainan hingga Maghrib hampir menjelang. Kami menang skill, strategi, kematangan kerjasama maupun ketangguhan tubuh. Puluhan kali shooting kami lakukan tetapi selalu digagalkan oleh kiper pulut lawan, dimelencengkan oleh desakan udara mendadak, atau posisi kaki kami ketika menendang bola sudutnya digeser 1-2 derajat sehingga arah bola melenceng 1-2 meter.
Seperti ada invisible ball keeper, atau ada jala rahasia, jaring nir-kasyaf di depan gawang lawang. Atau ”dukun” mereka kuat. Kami tidak pernah bawa dukun. Hanya selalu berusaha menang undian awal untuk menentukan posisi bagian kiri atau kanan di lapangan, melalui koin yang dilempar dan kami harus memilih Angka atau Beri (Garuda).
Itu memuluskan rancangan strategi kami. Tetapi kali ini rasanya lawan kami tidak hanya 11 pemain. Seperti ada bon-bonan gaib, entah jin entah demit, atau Aji Lembu Sekilan yang membuat bola mental balik sebelum mencapai sasaran.
Atau malah mungkin ini adalah Qadar: Allah tidak memperkenankan kami menang kali ini demi pertimbangan jangka agak panjang, yang menyangkut psikologi kami serta posisi kesebelasan desa kami dalam konstelasi Tarkam. Padahal secara qadla kami sudah ditulis lebih unggul di lembar kesekian Kitab Lauhul Mahfudh.
Allah sedang demo. Minimal dengan tiga orasi. Pertama, Apa yang kamu hindari dan tak kau sukai, mungkin malah itu yang baik bagimu. Dan sesuatu yang kau inginkan karena kau sukai, bisa jadi itu buruk bagimu.
Kedua, Allah memberi rezeki melalui cara dan jalan yang kau tak bisa perhitungkan. Mungkin kesulitan memasukkan gol sampai senja meremang ini adalah rezeki, yang besok atau lusa baru kami ketahui maknanya.
Dan ketiga, Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu. Barang siapa menolak ketetapan-Ku, silakan mencari bumi atau tempat lain yang bukan Milik-Ku. Nah Lu. Mampus kami.
Akhirnya kapten kesebelasan kami mengambil keputusan yang aneh, radikal dan anarkis. Mohon menjadi referensi dulu bahwa di tahun 1960-an bola sepak ada bagian luar dan bagian dalamnya yang harus dipompa dulu. Kemudian belalai tempat masuknya udara dilipat, dimasukkan ke dalam semacam mulut di bulatan luar. Sesudah masuk, harus ditali seperti mengikat tali sepatu. Jadi ada bagian dari bulatan bola yang menonjol, sakit kalau ditendang, dan mulut itu bagian terlemah dari tekanan.
Kapten menyuruh saya mengoper bola tlèsèr atau datar merambat di tanah, tapi diarahkan ke salah satu pemain lawan. Kapten mengambil posisi mengejar bola itu berlawanan arah dengan pemain lawan. Mereka berdua berlari kencang menuju bola, kemudian kapten menendang bola itu sangat keras ke arah kaki lawan.
Benturan frontal terjadi, sedemikian rupa sehingga muncul bunyi letusan keras, seperti petasan ukuran besar atau bom ukuran kecil. Bersamaan dengan itu karet bagian dalam melesat keluar mulut kulit luar, menjadi lembungan besar seperti balon raksasa. Sesaat kemudian balon itu meletus dan karetnya menjadi sobekan-sobekan.
Tidak seperti lagu Meletus balon hijau dor!. Yang meletus dari bola itu, sebagaimana lazimnya balon: ia berwarna merah.
Permainan berhenti. Skor 0-0. Semua tegang. Kapten kami senyum-senyum. Mohon jangan bayangkan ini pertandingan antar klub profesional di stadion, di mana bola-bola tersedia dalam jumlah banyak. Sepakbola Tarkam 1960-an punya satu bola saja sudah sebuah sukses. Begitu bola meletus, selesailah permainan.
Indonesia Raya ini punya berapa ”bola”? Siapa saja yang berkuasa atas Indonesia, baik para pemain dengan bola maupun mereka para pemain tanpa bola – sudah mantapkah kalian bahwa tidak ada bola tanpa pemain di sekitar kalian? Benarkah tidak ada qadla dan qadar di balik salah satu sila dari Pancasila? Coba kita lihat bersama. (*)
Naskah ini ditulis Cak Nun di Perth, 27 September 2017