PWMU.CO – Matahari masih malu-malu menampakkan diri. Tampah gagah Gunung Lawu menjulang di sisi selatan. Jarum jam masih menunjukkan pukul 04.30 WIB. Hari ini, Sabtu (24/10/18), Sulatri (51), petani Dusun Mojorembun sudah tiba di sawah Kedoan Ombo, bagian sawah cukup luas yang letaknya di bagian tengah Desa Mojorembun.
Di sawah Kedoan Ombo ini dia bersama dengan sembilan orang teman-teman rombongan tandur (menanam padi) dengan sistem borongan.
“Kami sepuluh orang dalam rombongan tandur, ada warga Mojorembun, ada juga warga Banjarejo. Di rombongan tandur ini ada ibu-ibu Muslimat NU, ada pula Ibu-Ibu Aisyiyah, ada pula golongan lain. bahkan di desa sebelah, kadang-kadang ada pula masyarakat Samin,” ungkap Sulastri yang anggota jamaah Muslimat NU Kradenan.
Dia menegaskan, tak memilih-milih dalam bekerja. “Pokoknya siapa yang mau kerja dan mau menerima kesepakatan kami ajak. Di sawah ini kami bisa bertemu, ngobrol-ngobrol, makan bareng dan bersilaturahmi dengan semua golongan. Walau majelis pengajiannya berbeda, tapi di sawah semuanya guyub bersama,” ungkap Mu’atun (53), jamaah ranting Aisyiyah Mojorembun Selatan.
“Ning sawah ki nyenengke, Mboh NU, mboh MTA, mboh Muhammadiyah. Senadyan beda mesjide, seje pengajiane, pokoke kumpul. Masalah-masalah nang omah lali kabeh (pokoknya
sawah itu menyenangkan, tak peduli NU, MTA, Muhammadiyah. Walau beda masjid, beda pengajian, semuanya kumpul. Masalah-masalah di rumah kita lupakan),” ungkap Kaliyah (60), rombongan tandur yang juga warga Aisyiyah Mojorembun Selatan.
Guyubnya masyarakat di sawah bukan hanya pada ibu-ibu, bapak-bapak di sawah juga sangat guyub. Sawah telah menjelma menjadi “public sphere“, tempat bertemunya semua identitas golongan, ide-ide, dan informasi di desa.
“Kadang kami yang tak sempat bertegur sapa di rumah, tak tau info-info tentang tetangga, kami bisa melakukan semuanya di sawah”, ujar Latif (65), petani Desa Mojorembun.
Untuk upah pekerja di sawah, Wawan (25) menjelasakan, “Untuk menanam padi, biasanya dilakukan setiap 1 bahu, borongan tandurnya Rp 800 ribu, dan setengah bahu Rp.400 ribu. Kami menggaji secara profesional, tidak melihat golongan,” ungkap Wawan, pengusaha pertanian yang juga warga Muhammadiyah Mojorembun Selatan. (Rofiqaddians)
Discussion about this post