PWMU.CO – Semakin mendekati pemilu 17 April 2019, pusaran angin politik semakin keras. Pusaran angin itu sering membawa musibah mulai dari mahbuto (lemah mlebu moto) debu masuk mata, sarung tersingkap sampai rumah roboh.
Ibarat sebuah pohon, Muhammadiyah tidak luput dari terpaan pusaran angin politik tersebut. Di antara yang sangat keras adalah mulai menyeruak di antara kader Muhammadiyah saling menghujat hanya karena beda pilihan di pilpres. Mereka ibarat tangan kanan yang mematahkan jari tangan kiri atau menjewer kuping sendiri. Pada akhirnya seluruh tubuh pula yang merasakan sakit.
Contoh lain, ketika ada segelintir orang membawa nama Muhammadiyah mendeklarasikan dukungan untuk calon presiden/wapres tertentu. Kejadian demikian sangat langka. Bahkan menjadi anomali di Muhammadiyah.
Identitas pendeklarasi ini tidak jelas. Setidak-tidaknya tidak diungkap oleh media. Bisa saja mereka orang lain yang mau menyeret-nyeret Muhammadiyah untuk kepentingan politiknya. Bisa jadi memang orang yang pernah ada di Muhammadiyah tapi keberadaannya tidak lebih dari serumpun benalu di sebuah pohon mangga.
Kemungkinan adanya benalu yang menempel di sela-sela cabang atau ranting bukan hal mustahil. Motifnya bisa macam-macam. Yang pasti tidak ada benalu yang tidak merusak pohon yang ditempelinya. Benalu itu bisa saja sekuler radikal, neo khawarij.
Bisa juga memang aktivis Muhammadiyah. Bahkan pernah menjadi pengurus. Namun hampir bisa dipastikan bahwa mereka tidak mafhum Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah. Kalau pun sudah pernah membaca, tetapi karena gelegak syahwat politik yang kelewat berkobar-kobar sehingga tidak bisa mengendalikan kemartabatan Muhammadiyahnya.
Tidak menggubris lagi wejangan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Dr Haedar Nashir, yang mempersilakan warga Muhammadiyah berpolitik praktis tetapi jangan membawa-bawa Muhammadiyah.
Residu politik
Kerasnya menjaga Muhammadiyah dari tarikan politik praktis memang bisa menyelamatkan Muhammadiyah dari fitnah, residu politik. Karena, seperti biasa, setelah bertiup pusaran badai biasanya yang meninggalkan sampah, kerusakan, daun-daun berserakan bahkan kotoran.
Tetapi, pada sisi lain, kerasnya melakukan penjagaan itu juga membuat warga Muhammadiyah takut melangkah atau terjun di politik praktis. Ibarat orang diet yang kelewatan karena takut gemuk. Terkadang memunculkan sikap sinisme terhadap politik. Muncul pula persepsi politik itu kotor, banyak mengandung residu.
Padahal Muhammadiyah tidak bisa lepas sama sekali dari politik praktis. Ibaratnya, Muhammadiyah itu sebuah pohon besar. Akarnya menghujam ke bumi secara kuat, batangnya menjulang tinggi ke langit. Cabangnya banyak. Ada cabang dakwah, cabang pendidikan, kesehatan, sosial, politik, ekonomi, dan lain-lain.
Cabang politik Muhammadiyah ini yang disebut high politic (politik adiluhung). Menjaga, menyuarakan nilai-nilai luhur politik. Politik kebangsaan, politik kemanusiaan.
Cabang ini memiliki ranting-ranting. Nah, ranting-ranting inilah konteksnya politik praktis. Berarti politik praktis Muhammadiyah itu adalah furu’in min furu’i syar’i (cabang dari cabangnya syariah). Di ranting-ranting ini akan bercokol buah-buah baik yang bermanfaat bagi penghuni semesta alam atas izin Tuhannya.
Maka, yang perlu dilakukan Muhammadiyah adalah mengkodisikan suatu sistem, membangun mekanisme agar tumbuh kembang kader-kader Muhammadiyah yang terjun di politik praktis. Mereka memiliki jiwa Muhammadiyah, menghayati pedoman hidup warga Muhammadiyah. Kader-kader inilah yang membawa risalah amar makruf nahi munkar di ranah politik kekuasaan.
Begitu mereka siap jadi kader politik, maka disedekahkan atau dilepas. Kader terbaik Muhammadiyah itu ngluruk tanpa bala. Artinya, berani tampil sebagai dirinya sendiri selaku kader Muhammadiyah tanpa membawa bendera atau institusi Muhammadiyah. Kader itu seperti sebuah gir yang dipasang di sebuah mesin besar, yang akan bergesek dengan gir lain. Maka agar tidak aus atau retak harus menggunakan bahan yang kuat, pembuatan yang presisi. Gusti Allah nyuwun ngapura.
Semoga praskriptum (catatan sebelum) Tanwir Muhammadiyah di Bengkulu 15-17 Februari 2019 ini menjadi bahan pemikiran dan perenungan. Selamat bertanwir! (*)
Kolom oleh Anwar Hudijono, wartawan senior tinggal di Sidoarjo.