PWMU.CO – Politik adiluhung yang digaungkan Muhammadiyah bukan sekadar jargon. Tanwir Muhammadiyah tahun 2019 yang sedang berlangsung di Bengkulu saat ini membuktikan hal itu. Imbauan Dr Haedar Nashir agar peserta tanwir tidak berpose kode-kode jari yang berkorelasi dengan capres-cawapres tertentu dipatuhi dengan baik.
Alhasil Presiden Joko Widodo yang juga berposisi sebagai capres sukses membuka Tanwir Muhammadiyah 2019 di Bengkulu dengan aman terkendali tanpa sindiran kode-kode jari. Ini sebuah penghormatan nan elegan warga persyarikatan kepada tamu dan kepala negara.
Tapi kemudian penting dicatat, menjadikan arena tanwir sebagai ajang pendidikan politik bukan hal tabu atau terlarang. Beberapa kegiatan muktamar dan tanwir senantiasa disisipi pesan politik adiluhung sebagai ciri khas Muhammadiyah.
Salah satu tanwir yang melegenda dan berkesan bagi warga Muhammadiyah, khususnya Surabaya dan Jawa Timur, adalah Tanwir Surabaya tahun 1993. Salah seorang unsur Pimpian Pusat Muhammadiyah yakni Dr M Amien Rais yang mengetuai Majelis Tabligh menggulirkan wacana wind of change (angin perubahan). Wacana suksesi kepemimpinan nasional yang mengarah pada ide ganti presiden secara aman, sadar, dan terkendali.
Sebuah wacana bak mimpi di siang bolong mendekati Sidang Umum MPR tahun 1993 sebagai hasil Pemilu 1992. Wacana suksesi kepemimpinan atau ‘ganti presiden’ secara perlahan tapi pasti tenggelam dengan terpilihnya kembali Presiden Soeharto dan Wakil Presiden Try Sutrisno sebagai Mandataris MPR periode 1993-1998.
Wacana ganti presiden lambat laun secara tidak sadar “mengerek” nama Amin Rais di internal persyarikatan dan pentas politik nasional. Dalam Muktamar Banda Aceh tahun 1995 muktamirin mendaulat Amien Rais sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah menggantikan KH Ahmad Azhar Basyir yang baru mengemban amanah satu periode.
Dalam kapasitasnya sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah sekaligus dosen senior Fisipol UGM, Amien Rais semakin lugas mewacanakan suksesi kepemimpinan nasional. Momentum pemilu 1997 dan Sidang Umum MPR 1998 yang diusulkan oleh banyak khalayak termasuk Amien Rais sebagai forum suksesi kepemimpinan yang demokratis, aman, dan terkendali kembali mendaulat Presiden Soeharto sebagai mandataris MPR 1998-2003.
Krisis ekonomi 1997-1998 belum mampu menyadarkan para elite politik untuk bersedia mendengar suara khalayak yang diwakili para cendekiawan. Dengan sangat terpaksa suksesi kepemimpinan terjadi pada Mei 1998 setelah melalui serangkaian aksi kerusuhan dan keterpurukan krisis moneter yang dalam.
Suksesi kepemimpinan atau ganti presiden hakekatnya sebagai keniscayaan dan hal yang wajar. Persyarikatan Muhammadiyah telah memberi contoh yang indah di mana pemimpin yang diganti bukan berarti dibenci atau dihinakan. Yang enggan diganti atau terkesan mempertahankan jabatan sangat mungkin justru bisa melahirkan kebencian.
Muktamar Yogyakarta tahun 1990 memilih KH Ahmad Azhar Basyir menggantikan KH AR Fakhrudin yang menjadi Ketua (Umum) PP Muhammadiyah selama 22 tahun sejak 1968-1990. KH Ahmad Azhar Basyir mengemban amanah satu periode saja selama tahun 1990-1995. Berikutnya Amien Rais tidak tuntas dalam satu periode 1995-2000, pada tahun 1998-2000 digantikan Prof Ahmad Syafi’i Ma’arif berlanjut hingga periode 2000-2005. Selanjutnya ganti ‘presiden’ di Muhammadiyah berlangsung aman terkendali kepada Prof Din Syamsuddin hingga sekarang Dr Haedar Nasir tanpa konflik yang berarti.
Tanwir Bengkulu 2019 semoga membuka mata seluruh elemen bangsa bahwa aspirasi politik warga berkemajuan tidak bisa dimobilisasi secara emosional. Kondisi yang rasional dalam setiap suksesi kepemimpinan nasional semoga menjadi budaya dalam masyarakat dalam rangka mewujudkan Indonesia Berkemajuan.
Salam sukses Tanwir Muhamnadiyah Bengkulu 2019, semoga membawa kesejukan dan rasionalitas menuju pesta demokrasi 2019. Wallahualambishshawab. (*)
Kolom oleh Prima Mari Kristanto, warga Muhammadiyah, tinggal di Lamongan.