PWMU.CO – Saat atribut profesor Pak Amien Rais mulai dipersoalkan Rektor UGM dan Menristekdikti, orang enggan mempersoalkan atribut kiai pada cawapres. Formalisme ini berasal dari Snouck Hurgronje yang memberi atribut Haji pada Muslim yang pulang dari Mekah menunaikan rukun Islam ke-5.
Saat beredar daftar camen (calon menteri), ada yang bingung dengan atribut pres atau capres, tergantung pagi atau malam. Atribut itu harganya triliunan. Prosesnya disebut Pilpres. Semua dosen bisa disebut caprof. Prosesnya disebut serdos.
Saat ini banyak orang gagal membedakan antara sekolah dan belajar, gelar dan kompetensi, bungkus dan isi, lalu mulai berharap kantor polisi adalah tempat keamanan, dan mahkamah adalah tempat keadilan.
Saya khawatir banyak yang kecewa karena kita memang punya banyak kampus tapi sedikit sekali pendidikan tinggi.
Di ruang sidang atau di jalan?
Refly Harun bersyukur saat sengketa Pilpres akan diselesaikan di MK. Ini benar tapi dengan catatan tebal.
Perlu diingat bahwa yang dimaksud dengan reformasi adalah reformasi institusi karena semua praktik institusi di tahap akhir Orde Baru adalah penyelewengan dari amanah konstitusi.
Namun Sri Edi Swasono mensinyalir yang terjadi kemudian adalah deformasi, bukan reformasi seperti yang dicita-citakan Amien Rais dkk.
KPK dan MK sebagai bayi kandung reformasi boleh dikatakan mengalami stunting, kurang gizi. Jadi pada saat banyak institusi hanya menjadi stempel legitimasi kekuatan-kekuatan anti-demokrasi, rakyat melihat jalanan sebagai kanal kedaulatan yang tersisa.
Lihatlah Car Free Days: kegembiraan publik yang menyeruak saat jalan sebagai public space dibebaskan dari penguasaan mobil-mobil pribadi yang tidak saja melumpuhkan kota tapi juga menyemburkan polusi (*)
Kolom oleh Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS Surabaya.