PWMU.CO – Sebenarnya banyak yang mengharapkan datangnya Ramadhan. Lihatlah, saat bulan mulia itu datang, banyak yang menyambut dengan suka-cita. Mereka puasa, salat Tarawih, ngaji Alquran, sedekah dan amalan yang lain.
Tapi saat Ramadhan akan pergi, banyak yang mulai melupakannya. Baris salat Tarawih mulai maju, pertanda berkurangnya jamaah. Ngajinya mulai tidak semangat, begitu juga amalan yang lain.
Harap maklum. Saat menjelang akhir Ramadhan, godaan untuk beribadah semakin kencang.
Undangan buka bersama datang dari berbagai kalangan. Buka puasanya bagus, tapi sayang justru banyak menghilangkan kebaikan yang lain. Asyik buka bersama, shalat Maghribnya telat, bahkan tidak sama sekali. Ngobrol terus sampai lupa datang waktu Isya dan salat Tarawih.
Buka bersama memang asyik, apalagi dengan teman atau saudara yang sudah lama tidak ketemu. Menjelang Idul Fitri biasanya banyak yang sudah pulang kampung. Begitu asyiknya buka puasa sambil ngobrol itu, tak terasa sampai larut. Alhasil, bubarnya bareng dengan jamaah salat Tarawih.
Itulah yang terjadi pada kebanyak shaimin dan shaimat. Puasanya masih sebatas puasa perut, tidak makan, minum dan perbuatan pembatal yang lain. Seperti tengara Imam Al Ghazali yang membagi puasa menjadi tiga, puasa awam, puasa khusus, dan puasa khususnya khusus.
Kebanyakan mereka masih sebatas puasa untuk membatalkan kewajiban. Anggota tubuh yang lain belum diajak puasa. Hati dan pikirannya juga masih belum puasa. Maka pelaku puasa awam ini lebih mementingkan makan memenuhi lambung ketimbang ibadah.
Akibatnya, acara makan lebih diutamakan ketimbang ibadah yang lain. Buka puasa memang bernilai ibadah, tapi kalau dilakukan berlebihan tentu jadi sebaliknya. Minum seteguk minuman manis, makan tiga biji kurma, buah atau makanan ringan, sebenarnya sudah cukup untuk mengembalikan kekuatan. Shalat Maghrib, baru dilanjut makan besar.
Ketika puasa perut mendominasi, keinginan untuk menyantap semua makanan sangat besar. Apa saja yang ada di meja makan dilahapnya. Puasa model itu juga menjadikan semangat untuk memenuhi kebutuhan materi jelang Idul Fitri semakin meningkat.
Belanja kebutuhan pakaian, makanan, dan pernak-pernik lain sangat dipentingkan. Rumah harus ditata dengan desain baru, perabot harus make over. Baju harus baru, suguhan kepada tamu harus camilan eksklusif.
Hiruk-pikuk menyambut Idul Fitri itu membuat hal yang lebih penting terabaikan. Harusnya saat menjalang Ramadhan pergi itu justru lebih khusuk ibadah. Bukan sebaliknya, lebih banyak mengurusi masalah dunia.
Bukankah saat menjelang Ramadhan pergi itu Allah menurunkan Lailatul Qadar? Tampaknya banyak yang kurang berminat pada malam yang punya keutamaan seribu bulan tersebut.
Harusnya menjelang akhir Ramadhan ini kita lebih konsentrasi memperbanyak ibadah. Menyandarkan harapan yang besar kepada Allah agar amalan selama Ramadhan diterima. Agar setelah Ramadhan tetap istiqamah menjalankan ibadah-ibadah seperti yang dilakukan selama bulan suci itu.
Itulah saat yang genting, ketika setan akan dilepas dari belenggunya. Kalau saat itu manusia tetap berdzikir mendekatkan diri pada Allah, setan tidak akan mampu menggodanya.
Setan benar-benar akan kesetanan, karena selama sebulan dia dilarang menjalankan tugas utamanya menggoda anak keturunan Adam menjadi penghuni neraka. Saat dibebaskan pada 1 Syawal itu, tentu dia akan balas dendam.
Contohnya bisa dilihat. Saat Idul Fitri banyak yang ikut shalat, di lapangan atau di masjid. Itu shalat sunah. Coba lihat lima jam berikutnya saat datang waktu shalat Dhuhur, apakah orang yang berbondong-bondong shalat Idul Fitri juga beramai-ramai jamaah Dhuhur di masjid? Tidak.
Jamaah Dhuhur kembali seperti sediakala, sedikit. Itu menunjukkan betapa suksesnya misi setan. Betapa tidak suksesnya manusia dalam berpuasa. Bukankah puasa itu melatih ikhlas. Bukankah puasa menjadikan orang bertakwa. Itulah kalau yang puasa hanya sebatas perut di bawahnya.
Meskipun demikian jangan khawatir, Allah memberi resep untuk menangkal setan yang sedang kesetanan itu. Setelah menyelesaikan puasa, Allah memerintahkan untuk banyak berdzikir mengingatnya seperti yang tercantum dalam surat Albaqarah 185. Dzikir adalah tameng bagi serangan setan. Orang yang berdzikir dengan ikhlas tidak mempan digoda setan.
Tolok ukur keberhasilan puasa adalah nanti pada 11 bulan setelah Ramadhan. Bila kita tetap menjalankan ibadah yang dilaksanakan selama Ramadhan. Tetap puasa, shalat malam, ngaji Alquran, sedekah. Jangan lupa shalat lima waktu. Itulah tanda orang bertakwa, predikat yang dicari orang berpuasa. Semoga Allah menerima amal kita. Taqabbalallahu minna waminkum, maaf lahir batin. (*)
Kolom oleh Husnun N Djuraid, wartawan senior, tinggal di Malang,