Search
Menu
Mode Gelap

Belajarlah dari Kritik, Tumbuhlah dari Celaan

Belajarlah dari Kritik, Tumbuhlah dari Celaan
Ilustrasi: Cove
Oleh : Ferry Is Mirza Jurnalis Senior dan Aktivis Muhammadiyah
pwmu.co -

Ada dua macam kritik dalam kehidupan ini: kritik positif dan kritik negatif. Kritik positif lahir dari hati yang jernih, berorientasi untuk memperingatkan kesalahan agar seseorang bisa belajar, mengevaluasi, dan memperbaiki diri. Kritik seperti ini bagaikan cermin: kadang menampilkan hal yang tidak ingin kita lihat, tetapi justru membantu kita menjadi lebih baik.

Sementara itu, kritik negatif adalah kritik jahat. Kitis yang berorientasi untuk merusak, menjatuhkan, dan bahkan membunuh karakter serta bakat seseorang. Kritik semacam ini lahir dari kedengkian dan kebencian, bukan dari niat untuk memperbaiki.

Dalam kehidupan nyata, siapa pun yang berusaha membangun, berkarya, memengaruhi, atau bersinar, pasti akan berhadapan dengan berbagai bentuk kritik. Seorang guru yang tulus mendidik, seorang pemimpin yang jujur, seorang pengusaha yang sedang tumbuh, atau bahkan seorang mahasiswa yang berprestasi—semuanya tak lepas dari komentar miring.

Mungkin kamu pernah merasakannya: ketika niatmu baik, tapi ada saja yang salah menafsirkan. Ketika kamu bekerja keras, tapi justru dituduh mencari pamor. Ketika kamu membantu orang lain, tapi malah dianggap mencari muka.

Di era digital seperti sekarang, kritik bisa datang dari mana saja. Lewat media sosial, grup percakapan, kolom komentar, bahkan melalui berita yang dipelintir. Dalam sekejap, kata-kata bisa menyebar dan membentuk opini publik.

Saat itu, dada terasa sesak. Malam menjadi panjang. Pikiran kalut. Doa terasa berat untuk naik. Fitnah, gosip, dan tuduhan kadang jauh lebih menyakitkan dari sekadar cacian. Itulah ujian dari sebuah perjalanan menuju kebaikan.

Namun, ingatlah — setiap tokoh besar pernah melewati jalan ini. Para nabi, ulama, pemimpin, dan pejuang bangsa tak luput dari kritik, bahkan dari orang-orang yang seharusnya mendukung mereka. Nabi Muhammad saw sendiri difitnah sebagai penyihir, pemecah belah, bahkan pendusta. Tapi beliau tetap sabar, tegar, dan tidak pernah kehilangan akhlak.

Maka, bagaimana sebaiknya kita menyikapi kritik?

Jangan takut menerima kritik. Ketahuilah, kritik—meski pahit—bisa mengangkat nilai dirimu. Bersabarlah sebagaimana Allah memerintahkan:

“Dan bersabarlah (Muhammad) terhadap apa yang mereka katakan dan tinggalkanlah mereka dengan cara yang baik.” (QS. Al-Muzzammil: 10)

Kadang, kesabaranmu terhadap kritik justru menunjukkan kematangan jiwamu. Orang yang kuat bukan yang mampu membalas kata-kata, tapi yang mampu menahan diri dan tetap tersenyum di tengah badai.

Perbanyaklah bertasbih dan beristighfar. Saat dada terasa sempit karena ucapan orang, Allah berfirman: “Dan sungguh, Kami mengetahui bahwa dadamu menjadi sempit disebabkan apa yang mereka ucapkan. Maka bertasbihlah dengan memuji Rabbmu dan jadilah kamu di antara orang yang bersujud.” (QS. Al-Hijr: 97–98)

Iklan Landscape UM SURABAYA

Zikir menenangkan hati. Ia mengembalikan fokus kita kepada Zat yang Maha Tahu isi hati manusia. Ketika lidah orang lain melukai, biarlah hati kita disembuhkan oleh zikir.

Dekatkan dirimu kepada Rabbmu dengan salat yang khusyuk. Karena hanya dalam sujud, jiwa yang terluka menemukan obatnya.

“Dan sujudlah serta dekatkanlah dirimu kepada Allah.” (QS. Al-‘Alaq: 19)

Dalam kesunyian malam, biarkan air mata mengalir. Katakan kepada Allah semua yang tak bisa kamu jelaskan kepada manusia. Kadang, satu sujud lebih menenangkan daripada seribu klarifikasi.

Jangan membalas kritik dengan kebencian. Jika kamu meladeni semua perkataan orang yang mengkritikmu, berarti kamu telah memenuhi harapan mereka untuk melihatmu jatuh. Maka, maafkanlah mereka dan berpalinglah dengan cara yang baik.

“Dan janganlah kamu bersempit dada terhadap tipu daya yang mereka rencanakan.” (QS. An-Nahl: 127)

Biarkan kebenaran bekerja dengan sendirinya. Waktu akan menguji siapa yang tulus dan siapa yang hanya pandai bersuara.

Pada akhirnya, mengubah permusuhan menjadi persahabatan dengan hikmah dan kasih sayang merupakan seni kehidupan yang telah dicontohkan oleh tokoh-tokoh besar.

Nabi Yusuf memaafkan saudara-saudaranya yang pernah melemparkannya ke sumur. Rasulullah memaafkan penduduk Thaif yang melemparinya batu. Itulah puncak keindahan akhlak—menjawab kebencian dengan cinta, dan membalas luka dengan doa. (*)

Iklan pmb sbda 2025 26

0 Tanggapan

Empty Comments