Guru dalam tradisi Islam bukan sekadar pengajar, tetapi teladan akhlak. Sejak masa klasik, ulama dihormati bukan hanya karena keluasan pengetahuannya, melainkan juga kepribadian yang mencerminkan nilai-nilai luhur. Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin (1988) menegaskan bahwa ilmu tanpa akhlak ibarat cahaya yang tidak memberi manfaat. Pandangan ini menempatkan guru bukan hanya sebagai penyampai ilmu, melainkan juga pembimbing moral.
Di Indonesia, peran guru dalam pendidikan Islam sangat strategis. Pesantren, madrasah, dan sekolah Islam tumbuh dengan basis kepercayaan kepada figur kiai, ustaz, dan guru. Namun, modernisasi pendidikan seringkali mereduksi peran guru menjadi sekadar instruktur mata pelajaran. Padahal, Al-Qur’an menegaskan pentingnya keteladanan akhlak melalui sosok Nabi Muhammad SAW:
وَاِنَّكَ لَعَلٰى خُلُقٍ عَظِيۡمٍ
“Sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar memiliki akhlak yang agung” (QS. Al-Qalam: 4).
Tujuan pendidikan Islam sejak awal bukan hanya mencetak orang pintar, melainkan membentuk manusia berakhlak. Nurcholish Madjid dalam Islam, Doktrin, dan Peradaban (1992) menekankan bahwa pendidikan Islam harus mengintegrasikan iman, ilmu, dan akhlak. Hal ini sejalan dengan pandangan Abdurrahman Wahid (2009) yang menegaskan bahwa Islam harus diwujudkan sebagai agama yang ramah, bukan marah. Guru menjadi aktor utama dalam menanamkan spirit ramah, toleran, dan penuh kasih itu dalam dunia pendidikan.

Konteks global saat ini menambah urgensi peran guru. Di era digital, anak-anak belajar tidak hanya dari ruang kelas, tetapi juga dari media sosial dan internet. Arus informasi yang deras seringkali tanpa filter nilai. Guru dituntut hadir sebagai pembimbing moral, bukan hanya penyampai materi. Fazlur Rahman dalam Islam and Modernity (1982) menekankan bahwa pendidikan Islam sejati adalah proses internalisasi nilai yang memadukan iman, ilmu, dan amal. Maka, guru perlu mengembangkan peran baru sebagai penuntun nilai di tengah disrupsi moral zaman.
Untuk menghidupkan kembali spirit akhlak dalam pendidikan Islam, beberapa langkah dapat dilakukan. Pertama, memperkuat posisi guru sebagai teladan karakter, bukan hanya pengajar akademik. Kedua, meningkatkan kapasitas guru tidak hanya dalam pedagogi, tetapi juga spiritualitas. Ketiga, membangun ekosistem pendidikan yang menekankan pendidikan karakter sebagai inti, bukan tambahan. Sebab, sebagaimana diingatkan Al-Ghazali, amal tanpa ilmu adalah kesiasiaan, dan ilmu tanpa akhlak adalah kegilaan.
Krisis moral di ruang publik menunjukkan betapa pentingnya pendidikan berbasis akhlak. Korupsi, intoleransi, hingga ujaran kebencian menjadi gejala sosial yang tidak cukup dijawab dengan kecerdasan intelektual semata. Dibutuhkan generasi yang cerdas sekaligus berakhlak, dan pendidikan Islam memiliki posisi unik untuk mewujudkan hal itu.
Guru, dengan keteladanan hidupnya, menjadi pilar utama. Jika spirit akhlak kembali menjadi inti pendidikan Islam, maka lembaga-lembaga pendidikan kita tidak hanya akan melahirkan lulusan berprestasi, tetapi juga generasi yang berkarakter, siap membawa bangsa menuju peradaban mulia.

0 Tanggapan
Empty Comments