
Oleh: Prof Suntoyo ST MEng PhD (Guru Besar Departemen Teknik Kelautan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya)
PWMU.CO – Di tengah gemuruh dzikir dan lantunan ayat suci yang menggema di Masjidil Haram, ketika saya tengah beriktikaf selepas Ashar menanti Magrib, Alhamdulillah, saya dipertemukan dengan sosok yang tidak hanya berilmu, namun juga memancarkan kelembutan yang menyejukkan hati, seorang alim ulama dari Iran.
Dengan wajah bersinar penuh keteduhan dan sapaan yang hangat, beliau menghampiri, menyapa tanpa sekat budaya maupun bahasa, seolah kami telah lama saling mengenal dalam lingkaran ukhuwah Islamiyah.
Dialog pun mengalir begitu alami, dalam suasana sakral yang hanya Allah Swt dapat mengatur waktunya. Kurang lebih 90 menit kami terlibat dalam perbincangan yang dalam bukan perdebatan, melainkan pertukaran pemahaman, wawasan, dan pengalaman tentang Islam yang rahmatan lil ‘alamin.
Ia berbicara dengan tutur kata yang lembut, penuh hormat, dan sarat makna. Tidak ada arogansi ilmu, hanya kerendahan hati seorang alim yang menjadikan ilmunya sebagai jalan kasih sayang.
Kami berbincang tentang tauhid, kasih sayang Rasulullah, perjuangan umat, hingga tantangan yang dihadapi umat Islam hari ini. Namun, lebih dari itu, kami berbagi pandangan bahwa Islam sejatinya adalah agama yang mempersatukan, bukan memecah; agama yang memeluk semua umat manusia dengan cinta dan keadilan.
Sang ustadz menekankan bahwa perbedaan mazhab, tradisi, dan cara pandang bukanlah untuk dipertentangkan, melainkan untuk dirangkul dalam semangat saling memahami.
Menjelang akhir pertemuan, dengan senyum tulus dan gerakan penuh ketenangan, beliau mengeluarkan sebuah batu akik kabut dari sakunya.
“Ini adalah hadiah kecil dari Iran,” ucapnya. “Bukan karena nilainya, tapi karena maknanya.
Ini simbol keberkahan, ketenangan, dan pengingat akan kehadiran Allah dalam segala kabut kehidupan, yang pada akhirnya akan selalu terang dengan cahaya-Nya, bi idznillah.”
Batu akik itu, dengan warna samar dan guratan alaminya, terasa seperti cermin dari pertemuan kami: sederhana namun mendalam, penuh keheningan yang berbicara, dan menyisakan jejak spiritual yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Kini, ia bukan lagi sekadar benda, tetapi simbol dari perjumpaan dua saudara seiman dari dua tanah air yang berbeda, namun disatukan dalam cinta Ilahi.
Masjidil Haram hari itu tidak hanya menjadi tempat ibadah, tapi juga saksi bisu dari sebuah dialog yang penuh kelembutan, kemanusiaan, dan keberkahan. Sebuah pertemuan yang mungkin singkat secara waktu, namun panjang dalam hikmah dan kesan. Sebuah pelajaran bahwa di balik perbedaan, selalu ada jalan menuju titik temu, dengan hati yang terbuka, ilmu yang tawadhu, dan izin Allah Swt.
Editor M Tanwirul Huda


0 Tanggapan
Empty Comments