Dalam keseharian, ada fenomena yang cukup menggelitik logika kita. Misalnya, saat kami mengundang teman untuk rapat, ia beralasan sibuk.
Namun, kemudian kami sadar bahwa “kesibukannya” adalah menghabiskan waktu di warung kopi, tempat ia biasa nongkrong pagi, sore, dan malam. Bukan kesibukan yang berkaitan dengan pekerjaan atau aktivitas yang menjadi tanggung jawabnya.
Kasus seperti ini bukan satu-satunya sehingga pantas disebut kasuistik. Namun sudah berubah menjadi fenomena yang masif.
Kini, warung kopi mudah kita temui di mana-mana, ramai seperti cendawan di musim hujan. Setiap warung selalu penuh pengunjung dengan suara tawa, obrolan, dan fokus pada ponsel masing-masing.
Ironi bulan Oktober
Ada ironi yang terasa pada bulan Oktober, bulan yang seharusnya menjadi momen refleksi semangat Sumpah Pemuda.
Semangat perubahan yang dikobarkan para pemuda hampir seabad lalu seolah meredup.
Warung kopi, yang bisa menjadi tempat diskusi produktif, justru seringkali berubah fungsi yang secara simbolis mencitrakan kesibukan semu dan menjadi tempat berlindung atau melarikan diri dari rasa tanggung jawab.
Berbeda dengan pemuda sekarang, para pemuda di tahun 1928 telah melalui proses panjang.
Tanggal 28 Oktober 1928 adalah tonggak penyatuan tekad para pemuda untuk menuju kemerdekaan.
Sejak awal 1920-an, mereka telah intensif berdiskusi, berunding, berdebat, menulis di surat kabar, dan berjuang secara fisik di bawah tekanan kolonial Belanda.
Pertanyaannya, “apakah semangat itu masih ada, ataukah telah hilang bersama aroma kopi?”
Mengenang lahirnya Sumpah Pemuda
Lahirnya Sumpah Pemuda 1928 didahului oleh dua rangkaian peristiwa penting.
Pada masa kebangkitan pemuda antara tahun 1920 hingga 1926, semangat nasionalisme mulai tumbuh di kalangan pelajar dan pemuda.
Namun, setelah berdirinya Budi Utomo (1908) dan organisasi lain seperti Jong Java, Jong Sumatra, Jong Ambon, dan Jong Celebes, gerakan ini masih terkotak-kotak dalam semangat kedaerahan.
Untuk mempererat hubungan, para pemuda kemudian mengadakan Kongres Pemuda I di Jakarta pada 30 April–2 Mei 1926, yang diprakarsai oleh Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI).
Kongres tersebut menghasilkan kesepakatan mengenai pentingnya persatuan pemuda Indonesia, meski belum ada keputusan yang konkret.
Puncak dari semua proses ini adalah Kongres Pemuda II yang berlangsung pada 27–28 Oktober 1928 di Jakarta.
Kongres ini dihadiri oleh berbagai organisasi pemuda dari seluruh Indonesia dan menghasilkan Sumpah Pemuda.
Ikrar ini menegaskan semangat persatuan untuk satu tanah air, satu bangsa, dan menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Kenyamanan digital dan tantangannya
Proses panjang penuh ancaman terhadap jiwa dan raga telah dilalui untuk mencapai tekad persatuan.
Peristiwa yang terjadi hampir seabad lalu kini hanya tinggal kenangan.
Ironisnya, para pemuda masa kini justru terjebak dalam kenyamanan dunia digital dan budaya nongkrong, yang sering kali mengikis makna perjuangan.
Warung kopi, yang seharusnya menjadi ruang diskusi produktif, kini cenderung menjadi tempat pelarian dari tanggung jawab dan sekadar melepas penat.
Fenomena ini bisa jadi sebabnya adalah pesatnya kemajuan teknologi yang tidak diimbangi dengan pemahaman nilai-nilai spiritual.
Padahal, modernitas dan spiritualitas seharusnya berjalan seimbang. Tanpa keseimbangan itu, pemuda mudah terjebak dalam kehidupan yang dangkal dan terputus dari nilai-nilai luhur.
Selain itu, perlu dipahami bahwa tantangan pemuda saat ini berbeda dengan era 1928.
Mereka kini menghadapi penjajahan dalam bentuk baru: penjajahan budaya dan mental.
Salah satu bentuknya adalah fenomena “generasi khusyuk” (Ketika HP Udah Sibuk, Urusan Kiri-Kanan Tiada), di mana pemuda terlena oleh gawai yang sengaja dijual murah dengan fitur-fitur menarik.
Akibatnya, mereka menjadi acuh tak acuh dengan lingkungan sekitar. Pemuda harus segera sadar dan kembali mengambil peran sebagai agen perubahan (agent of change).
Harapan, solusi dan refleksi
Warung kopi bisa menjadi ruang diskusi yang produktif, tempat para pemuda bertukar gagasan dan pemikiran, atau mengasah daya kritis membangun.
Warkop bukan lagi menjadi pusat pelarian dari realitas sehari-hari, atau sekedar tempat pelipur penat dan kongkow.
Berkumpul di warung kopi seharusnya bukan sekadar ajang basa-basi atau berbagi cerita tanpa arah.
Setiap pertemuan seharusnya menjadi momentum untuk menumbuhkan ide dan membangun kesadaran kolektif.
Paling tidak, obrolan bisa bermula dari hal-hal konkret seperti kondisi lingkungan sekitar atau arah pembangunan di tempat mereka tinggal.
Semangat Sumpah Pemuda bukanlah warisan yang mati dan hanya menjadi kenangan dalam sejarah.
Nilai-nilai tersebut harus hidup kembali melalui aksi nyata, baik dalam bentuk karya kreatif, inovasi, maupun keberanian untuk menyuarakan perubahan.
Dengan demikian, pemuda dapat menjadi agen transformasi sosial yang relevan dengan tantangan zaman.
Andai lorong waktu bisa diputar ulang, dan pemuda era 1928 bisa hadir untuk menyaksikan kondisi pemuda era sekarang, mungkin mereka akan bertanya-tanya: “Mengapa semangat kami kini hanya tinggal slogan yang menempel di dinding-dinding sekolah dan menjadi teriakan retorika saat upacara?”
Sudah saatnya pemuda Indonesia kembali menyalakan bara kepahlawanan.
Bukan di tengah hiruk-pikuk warung kopi untuk sekadar menikmati sesaat, melainkan untuk merancang masa depan bangsa.
Pemuda harus berpikir tidak hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk kemajuan bangsanya.***


0 Tanggapan
Empty Comments