PWMU.CO – Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur Nadjib Hamid mengatakan, melihat realitas saat ini, maka dilihat dari aspek organisasi, terlihat jika Muhammadiyah tidak diperuntukkan bagi kepentingan politik elektoral.
Hal itu disampaikan Nadjib dalam Diskusi Publik Pilkada 2020 Penonton atau Pemain yang digelar Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PWM Jatim di Hall Mas Mansur Jalan Kertomenanggal IV/1 Surabaya, Sabtu (24/8/19).
Nadjib mengatakan, kita sering mengatakan tidak masalah Muhammadiyah minoritas, yang penting kreatif. “Orangnya sedikit tapi membangun masjid bisa jadi, perkara setelah selesai masjidnya orang lain yang menguasai itu perkara lain,” ujarnya disambut tawa hadirin.
Tetapi untuk kepentingan politik elektoral yang membutuhkan massa besar itu memang mengalami problem. “Organisasinya memang tidak memberi ruang baik struktural maupun kultural. Secara kultural kita tidak punya banyak panggung akbar seperti organisasi sebelah,” ungkapnya.
Panggung kita ke mana-mana itu tabligh akbar. Walaupun yang datang 40 tetap dinamakan akbar. “Saya pernah menghadiri tabligh akbar di Surabaya, yang datang ada profesor juga, ternyata yang datang tidak lebih dari 40,” tuturnya kembali disambut tawa hadirin.
Coba di organisasi sebelah, ada yang ratusan bahkan ribuan. Itu ternyata konsolidasi massa organisasi yang luar biasa. “Dengan yasinan, tahlilan, dhibaan, dan lainnya itu panggung-panggung konsolidasi yang luar biasa,” terangnya.
Sementara aktivisnya dalam cara berpikir dan bersikap semuanya normatif, sementara di Muhammadiyah yang ditanyakan aturannya, ada gak aturannya atau kaidahnya.
Jadi dalam berpolitik tidak rileks sama sekali dan tegang terus. Kalau konflik masuk ke relung-relung hati terdalam. “Kalau ada aktivis Muhammadiyah masuk partai lain, di cap masuk neraka. Coba Pak Mirdasy (Muhammad Mirdasy, Ketua DPW Perindo Jatim) ini sudah dimasukkan neraka berkali-kali,” kembali tawa hadirin pecah dibuatnya.
Kalau kita pingin menang maka ke depan harus ada perubahan desain. Apakah yang kita ubah sistem politiknya kembali ke tempo dulu. “Saya masih yakin kita punya harapan di masa mendatang tapi dengan kesediaan untuk melakukan perubahan. Apakah desain organisasi kita yang diubah, ataukah sistem politik kita,” terangnya.
Kalau sistem politik kita yang one man one vote, maka memang tidak mudah dengan prinsip isi tas tadi, tetapi yang saya tidak terima sampai sekarang adalah bagaimana mungkin Muhammadiyah, termasuk NU, juga organisasi-organisasi lain yang berjasa besar kepada kemerdekaan republik ini, jika untuk duduk di parlemen harus ikut pemilu. Itu tidak adil.
Dulu lembaga besar yang berkontribusi terhadap negeri ini diberi kesempatan untuk diangkat. “Sekarang bagaimana Muhammadiyah disuruh bersaing dengan Perindo dan partai lain dalam kancah yang terbuka. Itu sama sekali tidak memberi penghargaan,” tegasnya.
Maka kita ini jangan semangat mengubah tetapi tidak menyiapkan isi perubahan itu. “Jangan mengulang peristiwa yang sudah terjadi. Semangat mengubah tapi tidak ikut merancang isinya,” pesannya.
Untuk konteks perubahan strateginya bagaimana, sambungnya, saya kira LHKP yang bertugas menyelesaikan. “Tetapi saya punya pengalaman, kawan-kawan kiri ketika hendak mengusung perubahan undang-undang, itu intensitasnya luar biasa,” kata dia.
Nadjib mengungkapkan, satu undang-undang mereka intens puluhan bahkan mungkin ratusan kali dengan biaya yang cukup untuk memperbincangkan dan mendiskusikan. “Misalnya ketika kawan-kawan kiri hendak menghapus satu saja kolom KTP tentang agama, saya pernah diundang empat kali, artinya yang tidak mengundang saya pasti lebih banyak,” terangnya.
Itulah, ujar Nadjib, mereka. Kita bagaimana? Setelah diskusi ini pulang ya selesai. Kelemahan kita terletak diskusi hanya sebatas retorika. Oleh karena itu, kalau hasilnya masih sekarang bisa dimengerti, jika kita tidak sinergi, setiap perbedaan disikapi dengan konflik berkepanjangan.
“Saya tidak tahu apakah konfliknya aktivis Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) ini sudah akur kembali. Saya menyaksikan di forum ini ada Pak Mirdasy, Pak Koeswiyanto dan Pak Suli Daim. Hanya satu yang belum saya lihat, Mas Ali Mu’thi. Mereka bisa akur dalam pertemuan itu sungguh kondisi sukses luar biasa,” ujarnya yang kembali disambut tawa dan tepuk tangan hadirin. (*)
Kontributor Sugiran. Editor Mohammad Nurfatoni.