PWMU.CO-Wajah penegakan hukum dan moralitas aparatnya saat ini dalam himpitan kuasa bisnis. Akibatnya rakyat yang menjadi korban sukar mencari keadilan
Hal itu dikatakan Ketua Majelis Hukum dan Hak Asasi Manusia PP Muhammadiyah Muhammad Busyro Muqoddas dalam Seminar dan Deklarasi Pembentukan Lembaga Bantuan Hukum Muhammadiyah se- Jawa Timur, Sabtu (14/9/2019).
Narasumber lain dalam seminar ini aktivis HAM Haris Azhar, Ketua LBHMu Jatim Ahmad Riyadh, dan moderator mantan Ketua KPU (Komisi Pemilihan Umum) Jawa Timur Eko Sasmito.
Busyro mengatakan, negara mestinya hadir dalam penegakan hukum. Setidaknya berjalan seiring dengan demokrasi politik. Namun yang terjadi adanya kepentingan politik memainkan hukum.
Dia memaparkan, sejumlah kasus pertanahan, rakyat tak pernah bisa mendapatkan keadilan. Seperti para petani di Depok Jawa Barat digusur buldoser hingga porak poranda. Tanah produktif dijadikan jalan tol.
”Para petani ini lari ke Kantor PP Muhammadiyah untuk mendapatkan advokasi hukum. Akhirnya diketahui ternyata ada sekelompok pebisnis yang berkepentingan terhadap tanah ini. Inilah potret wajah penegakan hukum yang belum tegak,” tandas Busyro.
Dia mengatakan, sejumlah masyarakat yang mengadu ke Kantor Muhammadiyah untuk meminta advokasi hukum menandakan Persyarikatan ini dipercaya mampu menyelesaikan masalah.
Kemudian ada kasus Meikarta. ”Andaikan KPK waktu itu tidak menangkap tangan terhadap Bupati Bekasi Neneng, maka kita tidak tahu apa yang terjadi di balik mega proyek itu. Mungkin tba-tiba sudah muncul kota baru namanya Meikarta,” tuturnya.
Terbongkar kasus ini, sambung dia, mengungkap kebobrokan kebijakan tentang pertanahan yang melibatkan aparat birokrasi. Mestinya kasus Meikarta ini bisa diangkat lebih ke atas lagi. Pasti kena semuanya. Baik kelompok bisnis maupun kelompok birokrasi.
”Itu baru kasus Meikarta. Belum lagi Junikarta, Julikarta, Agustuskarta, hingga Desemberkarta. Sudah ada skandal korupsi,” seloroh Busyro yang disambut tawa hadirin.
Kasus lain yang menunjukkan kepincangan penegakan misalnya penyiraman air keras kepada Novel Baswedan, penyidik KPK. Hingga kini polisi belum menemukan pelakunya padahal sudah cukup lama peristiwa berlangsung.
Dari berbagai analisis, kata dia melanjutkan, sekarang terdapat dua istilah yaitu oligarki bisnis dan oligarki politik bergabung menjadi penguasa di Indonesia saat ini. ”Artinya di Indonesia sekarang sudah menggambarkan praktik autokrasi jadi birokrasi jahat,” katanya.
Simbol-simbol kekuatan bisnis yang zaman Orde Baru disebut konglomerat hitam, menurut dia, sekarang istilahnya berganti menjadi pengusaha sembilan naga. Lalu menjadi tujuh samurai. ”Itulah yang masuk kata oligarki bisnis,” ujarnya.
Sebaliknya kekuasaan juga menciptakan simbol-simbol yang dinilai sebagai kelompok berbahaya yang mengganggu kepentingan. Misalnya, terorisme yang dialamatkan kepada orang Islam yang disebut radikal. (*)
Penulis Dahlansae Editor Sugeng Purwanto