PWMU.CO – Sesuatu yang berbeda disajikan oleh Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim Dr HM Sulthon Amien MM saat menjadi pemateri pada Pengajian Ahad Pagi di Masjid Al-Jihad Kompleks Pusat Dakwah Muhammadiyah Situbondo, Ahad (6/10/19).
Beberapa hari sebelum ke Situbondo, Sulthon berpesan kepada panitia agar peserta pengajian membawa kertas dan alat tulis. Ternyata inilah tujuannya:
Mengawali materinya tentang Quantum Ikhlas, Sulthon tampil tanpa mimbar. Bak seorang motivator, dia turun dari panggung berbaur dengan peserta lengkap dengan media papan tulis dan infokus.
“Mari Bapak-Ibu ditulis biografi kehidupannya masing-masing. Caranya buat dulu garis dari bawah ke atas ke bawah lagi ke atas lagi dan seterusnya. Contohnya seperti ini,” ujarnya sambil menggambar di papan tulis.
Yang bagian atas tulislah kejadian-kejadian positif dan yang bawah kejadian-kejadian negatif.
Sejak kapan kita mengenal hidup ini nyaman, senang dan bahagia maka itu masuk positif. Sejak kapan kita merasa sedih, dibenci, disakiti dan dipinggirkan maka itu masuk negatif.
“Misalkan aku lulus TK dapat hadiah maka ditulis di bagian atas. Kemudian aku sedih ketika ayah dan ibu bertengkar hebat, maka ditulis di bawah,” terang CEO Parahita Diagnostic Center ini.
Selanjutnya, buatlah kotak empat buah. Bagian atas ditulis nyaman (positif) dan bagian bawah ditulis tidak nyaman (negatif). “Bagian kiri ditulis semangat rendah dan bagian kanan ditulis semangat tinggi,” pintanya.
Jadi sekarang ada empat kuadran di kotak yang kita buat. “Kuadran 1 nyaman tapi semangat rendah. Contohnya apa ibu-ibu? Iya betul. Tersenyum, ramah. Kuadran 2 nyaman dan semangat tinggi. Contohnya beramal, berbagi, tolong-menolong,” jelasnya.
Kuadran tiga tidak nyaman dan semangat rendah. Seperti sedih, galau, dan malas. “Kuadran empat tidak nyaman tapi semangat tinggi. Misalkan marah, dengki, dan dendam,” sambungnya.
Maka yang perlu digarap yang mana? Kalau yang atas itu tidak ada masalah. Jika ada yang kurang tinggal ditingkatkan dan dikembangkan. Boleh dengan skala 1 sampai 10.
“Skala 10 itu misalkan ibu-ibu tadi sangunya mekgor 50 ribu kemudian diinfakkan kabeh. Kalau sangunya ada lembaran Rp 50 ribu dan Rp 5 ribu ternyata yang masuk kotak infak Rp 5 ribu berarti skalanya masih 2 atau 3. Itu bisa ditingkatkan,” tuturnya.
Sulthon melanjutkan, yang negatif harus diturunkan atau diminimalkan. Kalau orang dalam hidupnya bernegatif saja, misalkan tersenyum saja susah, wajahnya mencureng. “Hidup begini apa bisa bahagia? Kalau di dunia saja tidak bahagia, bagaimana dengan di akhirat?” tanyanya.
Maka, sambungnya, yang negatif ayo digarap. Coba diklasifikasi. Marah itu ada turunannya, yaitu menjadi pembenci, pendendam, hasut, fitnah, dengki, sensitif, bahkan bisa menjadi pembunuh.
“Takut itu turunannya khawatir, cemas berkeringat dingin, gampang gemetar, sedih, galau, post power sindrom seperti merasa takut kalau pensiun,” urainya.
Anda boleh mengatakan saya tidak apa-apa, tidak pernah khawatir, cemas atau marah dan sehat-sehat saja. “Tetapi adakah tanda-tanda Bapak-Ibu itu sering kepala pusing, perut gampang mual, gampang kembung, gampang diare, tidak bisa BAB (buang air besar), makan tidak enak meski menunya enak, sulit tidur, mudah marah. Maka itulah tanda-tanda kita sedang menderita stress,” imbuhnya.
Kalau mau mengakui ada tanda-tanda itu masih bagus artinya pertanda kita waras. Tetapi kalau tidak mau mengakui, saya biasa-biasa saja kok, paling hanya masuk angin. Orang seperti itu angel waras-e.
“Orang dengan gangguan psikologis kalau menyadari maka akan mudah penyembuhannya dan begitu juga sebaliknya,” tegasnya.
Hati-hati, kalau tidak merasa dan tidak sadar sesadar-sadarnya. Penyakit psikologis itu ada didalam alam bawah sadar. Jika dibiarkan maka akibatnya fatal. “Ada kan orang yang merasa tidak apa-apa tau-tau ambrok dan ternyata penyakitnya sudah parah,” ungkapnya.
Pendiri Sekola Alam Insan Mulia ini lalu mengajak mencoba mengecek kembali grafik kehidupan naik turun di awal tadi. “Yang bawah negatif-negatif diingat-ingat lagi apakah masih berhubungan hingga sekarang. Misalkan apakah marah saya saat itu menjadi penyebab benci dan dendam kepada seseorang,” ungkapnya.
“Kalau skalanya masih kecil tidak terlalu masalah, lebih mudah penyembuhannya. Tetapi kalau skalanya sudah tinggi maka perlu proses penyembuhan yang lebih serius,” ujarnya.
Marah itu efeknya banyak sekali. Bisa menjadi benci, dendam, dan penghasut. Orang sakit itu 80 persen karena faktor gangguan psikologis.
“Faktor makanan tidak banyak mempengaruhi orang jadi sakit. Tetapi tetap perlu diperhatikan ketika sudah ada tanda-tanda gangguan psikologis dan faktor keturunan,” terangnya.
Bagaimana agama Islam memberikan solusi? Agama mengajarkan, jika marah kalau sedang berdiri maka duduklah. Jika masih marah maka berbaringlah. Jika masih belum reda maka berwudhulah dan sholatlah.
Ajaran agama kita juga memerintahkan untuk memaafkan alias forgiveness. Tidak bisa tidak. “Biasanya ibu-ibu akan menjawab kok enak Pak, saya yang dibuli, ditipu, dipersonagratakan, kok disuruh memaafkan. Tetapi itulah perintah agama. Selalu ada kebaikan didalamnya,” kupasnya.
Dia menegaskan, memaafkan itu penting sekali. Maafkan dia orang yang mendzalimi kita. Doakan agar mendapatkan rahmat Allah supaya kehidupannya lebih baik dan bermanfaat. Dan harus ikhlas. Maka dinamakan Quantum Ikhlas.
“Berbuat baik itu harus ikhlas, melepas yang jelek itu juga harus ikhlas. Ikhlas itu kholas. Ibu-ibu kalau habis BAB apa dilihat lagi itu ada apelnya atau anggurnya yang semalam. Tidak kan. Ikhlas itu mensucikan, pamrihnya hanya kepada Allah,” tuturnya.
Maka terapi sekarang ajaklah hati bicara. Hal-hal yang jelek maka lepaslah dengan ikhlas. Konsepnya adalah AIR. “A-nya akui kalau kita sedang bermasalah misalkan khawatir. Rasakan sedang menderita apa, takutnya dari mana asalnya. I-nya ikhlaskan kepergian rasa takut itu. Ya Allah saya relakan melepas ketakutan saya ini,” urainya.
R-nya relaks. Ambil waktu bangun tidur dan buat rileks berbicara dengan hati. Saya menderita ini maka mohon pertolongan-Mu ya Allah. Relakan dan ikhlaskan untuk masalah itu pergi. Jangan hanya mencoba sekali, dua kali atau tiga kali. Lakukan berulang-ulang,” pesannya. (*)
Kontributor Sugiran. Editor Mohammad Nurfatoni.