PWMU.CO – Hukum imunisasi menjadi pro dan kontra di kalangan masyarakat. Bagaimana sebenarnya? Berikut ulasan Direktur RS Aisyiyah Siti Fatimah Tulangan Sidoarjo, dr Tjatur Prijambodo MARS.
Hingga kini, imunisasi mendapatkan reaksi yang berbeda dari masyarakat. Ada yang kontra, ada pula yang pro. Yang kontra menyatakan bahwa vaksin haram karena menggunakan media (katalisator) babi, efek samping yang membahayakan. Lebih banyak bahayanya daripada manfaatnya.
Kekebalan tubuh sebenarnya sudah ada pada setiap orang. Maka mereka menganggap, imunisasi hanya konspirasi dan akal-akalan negara Barat karena merupakan bisnis besar di balik program ini. Imunisasi menyingkirkan metode pengobatan dan pencegahan Muslim: madu, minyak zaitun, kurma, dan habbatussauda.
Hal ini didukung dengan adanya ilmuwan yang menentang teori imunisasi dan vaksinasi, serta adanya beberapa laporan bahwa anak mereka yang tidak diimunisasi tetap sehat.
Sedangkan yang pro, beranggapan bahwa mencegah lebih baik daripada mengobati. Vaksinasi penting dilakukan untuk mencegah penyakit infeksi berkembang menjadi wabah, sesuai al Baqarah 195: “Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan”. Walaupun kekebalan tubuh sudah ada, akan tetapi kita hidup di negara berkembang yang notabene standar kesehatan lingkungan masih rendah.
Efek samping yang membahayakan bisa diminimalisasikan. Negara Barat memang ada yang sudah tidak lagi menggunakan vaksinasi tertentu, karena standar kesehatan mereka sudah tinggi. Dan ada beberapa fatwa halal dan bolehnya imunisasi.
Hukum Imunisasi, Tinjauan Fikih
Vaksin polio atau meningitis produksinya menggunakan enzim tripsin dari serum babi. Diibaratkan Air PDAM dibuat dari air sungai yang mengandung berbagai macam kotoran dan najis, namun menjadi bersih dan halal setelah diproses.
Dalam proses pembuatan vaksin, enzim tripsin babi hanya dipakai sebagai enzim proteolitik (enzim yang digunakan sebagai katalisator pemisah sel/protein).
Pada hasil akhirnya (vaksin), enzim tripsin yang merupakan unsur turunan dari pankreas babi ini tidak terdeteksi lagi. Enzim ini akan mengalami proses pencucian, pemurnian, dan penyaringan.
Fiqih klasik mengenal apa yang disebut dengan istihalah, yaitu perubahan hukum suatu hal ke hal lain. Dalam kitab Radd Al-Mukhtâr ‘alâ Al-Durr Al-Mukhtâr, disebutkan contoh ekstrem dari aplikasi istihalah: menurut Ibn Abidin, kalau babi tenggelam di laut dan setelah itu tubuhnya hancur, kemudian berubah menjadi garam maka garamnya halal.
Jika najis sudah menjadi abu, tidak dikatakan najis lagi. Garam tidak dikatakan najis lagi, walaupun sebelumnya berasal dari keledai, babi, atau selainnya yang najis. Begitu pula dianggap suci jika najis jatuh ke sumur dan berubah jadi tanah.
Contoh ekstrem, kotoran sapi yang sudah berubah menjadi tanah liat dan dipakai sebagai bahan batako dinding masjid. Pada vaksin, enzim babi telah berubah nama dan sifatnya atau bahkan hanya sebagai katalisator pemisah. Maka yang menjadi patokan adalah sifat benda tersebut sekarang.
Hukum Imunisasi dan Teori Istihlak
Fikih juga mengenal teori istihlak, yakni bercampurnya benda haram atau najis dengan benda lain yang suci dan halal yang jumlahnya lebih banyak. Sehingga menghilangkan sifat najis dan keharaman benda yang sebelumnya najis, baik rasa, warna, maupun baunya.
Ada dua hadis yang menjadi dasar, yaitu: “Air itu suci, tidak ada yang menajiskannya sesuatu pun.” (HR Tirmidzi, Abu Daud, An-Nasa’i, dan Ahmad). Dan hadist: “Jika air mencapai dua qullah tidak mengandung najis,” di riwayat lain, “Tidak najis” (HR Daruqutni dan Al-Darimi).
Berdasarkan kedua hadis di atas, para ulama menjelaskan bahwa suatu benda najis atau haram yang bercampur dengan air suci yang banyak, sehingga najis tersebut lebur tak menyisakan warna atau baunya, maka ia menjadi suci. Jadi, dalam kondisi tertentu air yang najis bisa berubah menjadi suci apabila bercampur dengan air suci yang banyak.
Dari hadis inilah berlaku aplikasi istihlak: ketika khamr atau alkohol dimasukkan dalam suatu materi, lalu dimasukkan ke dalamnya berbagai materi yang lain sehingga sifat khamar yang memabukkan itu hilang dan tidak bersisa sama sekali, maka materi tersebut dianggap berstatus halal.
Selain contoh air dua kullah (dimana kotoran kecil menjadi tidak najis karena sudah bercampur dengan air yang jumlahnya lebih banyak), begitupun soal penggunaan enzim babi dalam vaksin.
Kalau ternyata jumlahnya sedikit dan dalam hasil akhir tidak lagi terdeteksi, maka bisa jadi vaksin itu dinyatakan halal melalui teori istihlak ini.
Hukum Imunisasi Darurat?
Kalau kedua teori di atas (istihalah dan istihlak) tidak mau kita terima, maka ada satu teori tersisa yaitu teori darurat. Dasarnya adalah Surat Albaqarah Ayat 173.
“Sesungguhnya Allah mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) padahal ia tidak menginginkannya dan tidak melampaui batas maka ia tidak berdosa.”
Ushul fiqh mendefinisikan darurat sebagai suatu keadaan yang memaksa untuk mengomsumsi sesuatu yang telah dilarang namun dilakukan juga dalam rangka mempertahankan nyawa. Atau khawatir akan kehilangan harta atau karena kebutuhan pokok seseorang terancam jika dia tidak mempertahankannya kecuali dengan melakukan sesuatu yang dilarang tanpa mengganggu hak orang lain.
Imam Suyuthi menyebutkan kaidah fiqh ini dalam kitabnya al-Asybah wan Nazhair: ”Kondisi darurat itu membolehkan hal-hal yang terlarang”. Harus digarisbawahi bahwa dalam menggunakan teori darurat ini hukum asalnya adalah haram. Namun hukum haram tersebut bisa berubah menjadi halal atau mubah dalam kondisi darurat. Dalam konteks imunisasi, salah satu ukuran darurat itu bisa melalui pertimbangan medis atau opini dari pakarnya.
Darurat yang Temporer
Di samping itu, yang namanya darurat haruslah bersifat temporer atau sementara. Bila kondisi kembali ke normal, maka berlaku kembali hukum asal, yaitu haram. Hal lain yang harus diperhatikan, melakukan tindakan dalam kondisi darurat itu hanya sekadarnya, tidak berlebihan. Karena kalau sudah berlebih, maka tidak lagi dianggap sekadar memenuhi kondisi keterpaksaan.
Jika seseorang tidak menggunakan vaksin yang berasal dari babi maka bukan saja membahayakan hidupnya, tapi juga hidup orang lain yang berinteraksi dengannya. Maka selama belum tersedia jenis vaksin lain, penggunaan vaksin dari enzim babi dibenarkan dalam kondisi darurat, sesuai dengan penjelasan di atas.
Hadis lain menyatakan, “Sesungguhnya Allah menciptakan penyakit dan obatnya. Maka berobatlah, dan jangan berobat dengan sesuatu yang haram.” (HR. Thabrani). Maka, pendapat terkuat bahwa pada pada asalnya tidak boleh berobat dengan benda haram kecuali dalam kondisi darurat, dengan syarat:
Penyakit tersebut adalah penyakit yang harus diobati. Benar-benar yakin bahwa obat ini sangat bermanfaat pada penyakit tersebut. Tidak ada pengganti lainnya yang mubah. Berlandaskan pada kaidah fiqhiyah: ”Jika ada dua mudharat (bahaya) saling berhadapan maka diambil yang paling ringan.“
Anak yang Tidak Imunisasi Lebih Sehat?
Ada pengakuan bahwa anaknya yang tidak diimunisasi lebih sehat dan pintar dari yang diimunisasi. Bisa jadi itu karena faktor lain yang tidak terkait dengan imunisasi, dan perlu dibuktikan.
Banyak orang miskin dan kumuh anaknya lebih sehat dan lebih pintar dibandingkan mereka yang kaya dan pola hidupnya sehat. Apakah bisa dikatakan, jadi orang miskin saja supaya lebih sehat?
Kita tahu sebagian besar anak Indonesia diimunisasi dan lihatlah mereka semuanya banyak yang pintar-pintar dan menjuarai berbagai olimpiade tingkat internasional. Apakah kemudian bisa dikatakan, ikut imunisasi saja supaya bisa menjuarai olimpiade tingkat internasional? Sehingga, jangan karena satu dua kasus, kemudian kita menyamakannya pada semua kasus.
Bagaimana sikap kita? Wajib imunisasi yang dicanangkan pemerintah, bukan wajib secara mutlak. Belum ada peraturan pemerintah atau undang-undang khusus yang mengatur secara jelas, tegas, tentang kewajiban imunisasi, hukuman, serta kejelasan penerapan hukuman.
Imunisasi dan vaksin mubah. Silakan melakukan imunisasi jika sesuai dengan keyakinan. Silakan jika menolak imunisasi sesuai dengan keyakinan dan hal ini tidak berdosa secara syari’at.
Silakan sesuai keyakinan masing-masing. Yang terpenting jangan salah menyalahkan dan jangan berpecah-belah hanya karena permasalahan ini. (*)
Artkel ini kali pertama diterbitkan Majalah Matan.