Corona antara Takdir dan Ikhtiar ditulis oleh Biyanto, Guru Besar Ilmu Filsafat UIN Sunan Ampel dan Wakil Sekretaris PWM Jawa Timur.
PWMU.CO – Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Rasulullah SAW bersabda, “Idza sami‘tum bi al-tha‘uni bi ardlin fala tadkhuluha wa idza waqa‘a bi ardlin wa antum biha fala takhruju minha.”
“Jika kamu mendengar bahwa telah terjadi wabah penyakit di suatu daerah, maka kamu jangan memasuki daerah tersebut. Sebaliknya jika kamu berada di daerah yang sedang terjangkit penyakit, maka janganlah kamu keluar dari daerah itu.”
Hadits ini disampaikan Abdurrahman bi ‘Auf untuk mengingatkan Amirul Mukminin ‘Umar bin Khattab. Pada saat itu, ‘Umar dan rombongan bersiap untuk melakukan perjalanan dinas ke Syam.
Abdurrahman bin ‘Auf yang ikut dalam rombongan mendengar kabar bahwa di Syam sedang mewabah penyakit menular yang sangat berbahaya. Kabar itupun disampaikan pada ‘Umar seraya membacakan hadits tersebut.
Dengan dasar hadits tersebut, ‘Umar dan rombongan membatalkan perjalanan dinas yang telah lama direncanakan. Sebagian rombongan menanyakan alasan ‘Umar membatalkan kunjungan seraya bertanya, “Apakah Anda takut dengan takdir Tuhan?”
Pertanyaan itu dijawab ‘Umar seraya berkata, “Saya ingin menghindari takdir Tuhan yang satu menuju takdir Tuhan yang lain.”
Jawaban ‘Umar mengisyaratkan bahwa membatalkan bepergian ke suatu daerah untuk kebaikan karena sedang menjalankan tugas negara disebabkan daerah tersebut sedang dalam bahaya bukanlah sifat yang buruk.
Apalagi dikatakan takut dengan takdir Tuhan. Justru menjauhi bahaya (mafsadat) jauh lebih penting dan sesuai dengan hakIkat beragama itu sendiri. Salah satu fungsi beragama adalah menjaga jiwa dari bahaya yang mengancam (hifdzu al-nafs).
Mencari Takdir Baik Corona
Riwayat hadits di atas sejatinya juga dapat dijadikan rujukan untuk menjaga diri dari bahaya penyebaran Virus Corona (Covid-19) yang sedang melanda negeri dan dunia.
Penyebaran virus Corona di seantero negeri juga terus meningkat. Korban meninggal dan sakit terus berjatuhan. Virus Corona tidak hanya menyerang kalangan awam alias masyarakat kelas menengah ke bawah.
Kelompok kelas menengah ke atas juga banyak yang menjadi korban. Bahkan sejumlah dokter dan petugas medis yang sangat familiar dengan virus, bakteri, dan ragam penyakit juga menjadi korban.
Para pekerja medis ini menjadi korban karena tertular dari pasien yang sebelumnya telah terinveksi virus Corona. Salah satu penyebabnya karena alat pelindung diri (APD) pekerja medis saat menangani pasien Corona belum benar-benar sesuai dengan standar WHO (World Health Organization).
Melalui sejumlah media, kita menyaksikan para petugas medis terpaksa memakai jas hujan sebagai APD saat menangani pasien Corona.
Mengingat penyebaran Covid-19 terus meningkat dan merata di senatero negeri, maka tidak ada pilihan lain, sebagai warga kita mesti mengikuti ketentuan yang sudah ditetapkan pihak berwenang.
Karena pemerintah pusat dan daerah telah menetapkan kebijakan social distancing (pembatasan sosial), misalnya, maka warga masyarakat harus mengikuti. Pembatasan sosial adalah serangkaian tindakan pengendalian infeksi nonfarmasi yang bertujuan untuk menghentikan atau memperlambat penyebaran penyakit menular.
Bahkan jika suatu saat pemerintah pusat menetapkan kebijakan lockdown (penutupan akses dari dalam atau luar) daerah tertentu, maka warga masyarakat juga harus mematuhi.
Pada intinya, dalam suasana penyebaran Virus Corona yang tidak terkendali ini, kita mesti sami’na wa atha’na dengan ketetapan pihak yang berwenang, yakni pemerintah.
Tetapi penting dipesankan agar pemerintah transparan dengan data penyebaran Covid-19. Pemerintah tidak boleh menutup-nutupi data Covid-19 dengan alasan apapun.
Taat Social Distancing
Masyarakat harus benar-benar mematuhi peraturan social distancing dengan mengurangi kegiatan di luar rumah. Kebijakan ini tentu tidak mudah, terutama bagi para pekerja harian. Sebab, hanya dengan bekerja itulah asap dapurnya terus mengepul.
Untuk kelompok masyarakat ini pemerintah harus mencarikan jalan keluar supaya mereka terjaga dari bahaya Corona dan tetap bertahan hidup secara layak.
Larangan berkegiatan di luar rumah juga berlaku untuk umat beragama. Sementara waktu, umat beragama harus menahan diri untuk tidak beribadah di masjid, gereja, dan rumah ibadah lainnya.
Pengajian agama atau acara seremonial lain yang potensial melibatkan pengumpulan massa harus dihentikan. Pada konteks inilah imbauan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Muhammadiyah, NU, dan ormas keagamaan lain harus dipatuhi.
Dengan meminjam kaidah: menghindari bahaya harus lebih diutamakan daripada mewujudkan kebaikan (dar’ul mafasid muqaddam ‘ala jalbil mashalih)”, untuk sementara kita harus bekerja di rumah, belajar di rumah, dan beribadah di rumah.
Dalam situasi yang sangat sulit dipastikan siapa yang sedang terkena Virus Corona dan siapa yang bebas dari Virus Corona inilah sikap kehati-hatian penting dikedepankan.
Semua Sakit kecuali Terbukti Sehat
Dengan meminjam istilah Dr M Saad Ibrahim, Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur, bahwa dalam situasi yang tidak menentu ini berlaku kaidah: “Semua orang pada dasarnya sakit, kecuali yang telah terbukti sehat.”
Pola pikir ini penting juga untuk menjaga diri supaya terhindar dari tertular Virus Corona. Menjaga diri agar terhindar dari wabah Corona merupakan ikhtiar yang rasional untuk memperoleh takdir terbaik dari Allah SWT.
Dalam situasi wabah penyakit yang demikian pandemik, jangan ada pikiran fatalistik. Mereka yang fatalistik ini selalu menyatakan bahwa hidup, mati, sehat, dan sakit merupakan takdir Tuhan.
Pernyataan tersebut sepintas benar, meski sejatinya mengandung banyak kesalahan. Hal itu karena yang dinamakan takdir sesungguhnya adalah ketetapan Tuhan sesuai dengan hukum-hukum-Nya (sunnatullah).
Hukum Allah menentukan bahwa seseorang akan sakit jika tidak membiasakan diri hidup dengan sehat. Sebaliknya, kondisi sehat yang dialami seseorang tidak berarti tanpa ikhtiar. Mereka yang sehat pastilah orang yang menjaga dirinya dari bahaya terserang penyakit.
Penting juga dipahami, bahwa yang sering kita namakan sebagai takdir biasanya terkait dengan persoalan sudah benar-benar terjadi. Padahal semua tahu bahwa takdir seseorang masih misterius. Hanya Alah yang Maha Tahu, apa takdir kita.
Karena itulah senyampang masih ada kesempatan untuk memilih takdir: terkena Virus Corona karena perilaku sembrono kita atau terbebas dari wabah Corona karena kemampuan menjaga diri kita.
Maka sebagai pilihan rasional tentu kita akan memilih takdir yang terbaik. Harus diingat, bahwa di ujung pilihan (ikhtiar) kita itulah ada takdir Allah SWT.
Jadi, tidak lagi dipertentangkan, Corona antara takdir dan ikhtiar. (*)
Penulis Biyanto. Editor Mohammad Nurfatoni.