Budaya Mangan Ora Mangan Kumpul Tularkan Corona tulisan opini oleh Nurbani Yusuf, pengasuh Komunitas Padhang Makhsyar Kota Batu.
PWMU.CO-Indonesia itu memang berbeda. Kita bukan Cina yang biasa hidup sendiri-sendiri. Indonesia itu karakternya ditakdirkan buat berkoloni. Bersosial, guyub rukun. Susah memang disuruh untuk tidak takziah, tidak kondangan, tidak pengajian, tidak tahlilan, tidak menolong, tidak bergerombol. Lah emang sifat dasar kita selalu bersama.
Bagi saya dan keluarga, bergerombol di masjid itu hobi. Shalat jamaah hanya alasan karena njagong usai shalat jauh lebih lama ketimbang durasi shalat dan dzikir.
Budayawan Umar Kayam dan Kuntowijoyo seperti bersepakat, tradisi ngumpul orang Jawa bukan sekadar kebiasaan. Bahkan bisa dikatakan sudah menjadi semacam ritual yang tidak mungkin dipisah.
Dalam pandangan ini seperti yang disampaikan Kanjeng Sunan Kalijaga kepada gurunya Kanjeng Sunan Ngampel bahwa orang Jawa tak mungkin dipisah dari tradisi sebagai pilar penyangga. Artinya, Jawa jangan dipisah dari budayanya. Sebab memisah berati melawan.
Maknanya, budaya awalnya adalah ngumpul, njagong, kenduri, kondangan baru kemudian diberi sentuhan ajaran Islam maka jadilah tahlilan, Yasinan, dan puluhan varian majelis lainnya. Di sinilah kecerdikan Kanjeng Sunan Kalijaga mendakwahkan Islam. Tidak mengambil sikap antitesis tapi menginfiltrasi.
Dengan budaya kumpul atau bergerombol maka amat sulit kemudian ketika ada upaya untuk merumahkan (stay home), social distancing, apalagi lockdown sebagai pilihan memutus sebaran virus Corona.
Mana bisa dilarang tidak kumpul yang punya kebiasaan sekak, karambol, atau jaga ronda. Dengan budaya mangan ora mangan kumpul seperti ini maka Jawa adalah masyarakat paling rentan terserang pageblug atau aratan.
Sikap Sumeleh
Fachri Ali salah seorang peneliti LIPI lantas menyebut, Islam yang masuk Indonesia adalah Islam yang sudah terkalahkan dalam konteks teologis telah terpapar paham Jabariyah, yang diwujudkan dalam bentuk sikap sumeleh. Dalam bahasa Jawa ringkas bisa disebut paribasan tumbu oleh tutup.
Nerimo ing pandum juga bagian dari tradisi yang mengakar, sebab itu sekeras apapun bekerja, orang Jawa sebenarnya tidak punya etos kompetitif dan enggan bersaing. Tidak punya target, karena hidup apa adanya jauh lebih menentramkan. Puncak spiritualitas Jawa adalah sumeleh, pasrah, menghamba dan itulah Islam dengan makna generik.
Meski kadang malah berperilaku paradoks. Misal saat terjadi krisis moneter malah mantu besar-besaran, urunan bikin karnaval, atau sedekah bumi. Jawa memang menarik dalam berbagai hal termasuk budaya mangan ora mangan kumpul atau penting rukun.
Jadi semoga pageblug Corona segera lenyap diangkat dari bumi pertiwi berganti keberkahan dan karunia. Semoga pula Allah Gusti Kang Akarya Jagat segera memberi pitulungan. Aamiin. (*)
Editor Sugeng Purwanto