Corona Membuka Kedok Pemimpin artikel opini tulisan Nurbani Yusuf, pengasuh Komunitas Padhang Makhsyar.
PWMU.CO-Corona mewabah ternyata juga membuka mata banyak orang. Bagaimana kapasitas seorang pemimpin mengendalikan negara dan rakyatnya. Siapa yang cuma bicara meskipun katanya selalu kerja, kerja kerja. Di saat krisis wabah seperti ini wajah pemimpin tampak aslinya. Corona telah melepaskan kedoknya.
Banyak orang menyalahkan epidemi virus Corona pada globalisasi. Ada yang ekstrem mengatakan bahwa satu-satunya cara untuk mencegah lebih banyak wabah adalah dengan mendeglobalisasi dunia: Bangun tembok. Batasi perjalanan. Kurangi perdagangan.
Tapi sejarah wabah dunia mencatat di zaman sebelum globalisasi pun wabah selalu menyebar dengan cepat memusnahkan banyak rakyat dan merontokkan kepemimpinan.
Yuval Noah Harari menulis di harian Time, karantina jangka pendek sangat penting untuk menghentikan epidemi. Sebab isolasi jangka panjang akan menyebabkan keruntuhan ekonomi tanpa menawarkan perlindungan nyata terhadap penyakit menular.
Epidemi ternyata sudah membunuh jutaan orang jauh sebelum era globalisasi. Pada abad ke-14 tidak ada pesawat terbang dan kapal pesiar, namun wabah Black Death menyebar dari Asia Timur ke Eropa Barat hanya dalam satu dekade. Menewaskan antara 75 juta hingga 200 juta orang. Lebih dari seperempat populasi Eurasia. Saat itu di Inggris, empat dari sepuluh orang meninggal. Kota Florence kehilangan separo penduduknya.
Pada bulan Maret 1520, pembawa cacar tunggal, Francisco de Eguía, mendarat di Meksiko. Pada saat itu, Amerika Tengah tidak memiliki kereta, bus, atau bahkan keledai. Namun pada Desember, epidemi cacar menghancurkan seluruh Amerika Tengah. Menurut beberapa perkiraan, membunuh hingga sepertiga dari populasinya.
Pada tahun 1918, jenis flu yang sangat ganas berhasil menyebar cepat ke penjuru dunia. Menginfeksi setengah miliar orang atau lebih dari seperempat spesies manusia. Sebanyak 5 persen populasi India tewas. Di Tahiti 14 persen meninggal. Di Samoa 20 persen penduduknya mati. Pandemi menewaskan puluhan juta orang dan mungkin hingga 100 juta dalam waktu kurang dari setahun.
Jaga Kepercayaan
Dalam perang melawan virus, manusia perlu menjaga perbatasan. Bukan perbatasan antar negara. Tapi menjaga perbatasan antara dunia manusia dan lingkungan virus. Ini jihad besar. Jadi jangan anggap remeh bahwa ada spesies baru yang bisa membunuh manusia seluruhnya.
Saat ini manusia menghadapi krisis akut, tidak hanya karena Coronavirus, tetapi juga karena kurangnya kepercayaan di antara manusia. Untuk mengalahkan epidemi, orang perlu memercayai para ulama dan ilmuwan, warga negara perlu mempercayai otoritas publik, dan negara-negara harus saling percaya.
Sayangnya selama beberapa tahun terakhir, para politisi yang tidak bertanggung jawab dengan sengaja merusak kepercayaan pada fatwa ulama, sains, otoritas publik, dan kepada kerja sama internasional. Sebagai akibatnya, kita sekarang menghadapi krisis tanpa pemimpin global yang dapat menginspirasi, mengatur, dan membiayai respons global yang terkoordinasi.
Manusia mungkin saja akan segera punah atau tinggal separo. Para dokter, paramedis menjadi prajurit digarda depan telah ikut mati bersama ribuan pasien yang mati, ratusan ribu lainnya terinfeksi dan kita tak pernah mau percaya.
Persis pada saat China terpapar pertama kali hampir semua negara meledek. Saat China berhasil melawan virus keadaan justru berbalik. Amerika, Italia, Belanda, Perancis bahkan Indonesia dan Malaysia hanya melawan dengan imbauan cuci tangan dan tinggal di rumah.
Para pemimpin negara cuma bengong tanpa koordinasi. Sebab sejatinya tak tahu bagaimana cara melawan. Mau belajar pada China gengsi.
Padahal penangkal sesungguhnya dari epidemi bukanlah pemisahan, melainkan kerja sama. Saling percaya dan berterus terang. Apa salahnya bertabayun kepada China yang telah berhasil melawan Corona.
China bukan hanya menang melawan virus Corona tapi juga tetap kokoh mempertahankan pertumbuhan ekonominya di tengah wabah sementara negara lain masih takut lapar. Bukankah ada pepatah yang populer, carilah ilmu walau sampai ke negeri China. (*)