Belajar dari Lockdown Nabi Yunus ditulis oleh M. Anwar Djaelani, aktivis dakwah—di antaranya Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) dan Hidayatullah.
PWMU.CO – Wabah penyakit menular, terjadi di masa lalu dan juga sekarang. Saat kita dikurung situasi tak nyaman karena wabah penyakit menular.
Sebagai kaum beriman, bacalah hal itu sebagai sebuah musibah. Kita harus menghadapinya dengan sabar. Bacalah musibah itu sambil berusaha mengambil ibrah.
Di antara cara mencegah meluasnya penularan penyakit adalah dengan lockdown. Jika dikaitkan dengan penyebaran Virus Corona atau Covid-19, lockdown adalah mengunci seluruh akses masuk maupun keluar dari suatu daerah maupun negara.
Lockdown adalah protokol darurat yang digunakan untuk mencegah orang-orang meninggalkan atau masuk area tertentu. Kebijakan ini, dibuat oleh pejabat yang berwenang dan merupakan perintah resmi karena adanya situasi berbahaya.
Wabah Covid-19 telah dinyatakan sebagai pandemi. Maka, banyak pihak telah melakukan lockdown seperti Arab Saudi. “Makkah, Madinah, dan Riyadh Ditutup Mulai Pukul 3 Sore”. Itu, dinyatakan pejabat berwenang. Implementasi ketat jam malam ditujukan untuk membatasi penyebaran Virus Corona.
Pemantauan pelanggaran akan dilakukan oleh petugas keamanan di jalan. Siapapun yang menentang larangan ini akan ditindak dengan hukuman yang sesuai.
Tentu, sebagai kebijakan, lockdown punya sisi positif dan negarif. Lihatlah, lockdown yang bermakna sebagai karantina wilayah agar tidak ada perpindahan orang—baik masuk maupun keluar—di sebuah wilayah tentu punya banyak implikasi.
Dalam catatan Rendy Saputra, pergerakan manusia akan melambat, entah sampai kapan. Manusia akan mengurangi mobilisasi dan itu berarti secara langsung akan mengurangi transaksi. Akibatnya, putaran ekonomi melambat bahkan berhenti.
Gelap, ilustrasi di tulisan Rendy Saputra bertanggal 23 maret 2020 itu. Gelap? Adakah pelajaran dari “gelap”? “Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai wawasan” (al-Hasyr: 2).
Hikmah ‘Lockdown’ Nabi Yunus
Gelap? Subhanallah! Kita lalu ingat Nabi Yunus AS. Beliau pernah merasakan tiga lapis kegelapan yang teramat pekat: Gelap di dalam perut ikan, di kedalaman laut, dan di malam hari. Tapi, lebih detil, apa gerangan yang menimpa Yunus As?
Mari renungkan: “Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap: ‘Bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang dzalim’.” (al-Anbiya: 87).
Yunus AA seorang Nabi. Setelah lama berdakwah, tak ada tanda-tanda berhasil. Umatnya kokoh dalam kekafiran. Dia kecewa dan tanpa memohon petunjuk Allah, lalu mengambil keputusan ekstrim: Pergi ke wilayah lain.
Sampailah Yunus As ke sebuah pelabuhan. Kepada sebuah kapal yang siap berangkat, Yunus menumpang.
Siapa sangka, laut “tak ramah”. Ombak bergulung-gulung dan kapal akan karam. Nakhoda kapal memerintahkan membuang barang-barang yang berat. Langkah itu tak cukup berhasil. Berikutnya, penumpang harus dikurangi dengan cara diundi. Hasilnya, Yunus AS.
Di momentum ini, sadarlah Yunus AS bahwa Allah sedang menegur dia atas keputusan yang salah yaitu meninggalkan kaumnya. Sadar akan hal itu, dengan penuh tanggung-jawab, dia langsung melompat ke laut.
Lockdown di Perut Ikan
Selesai-kah urusan? Di laut, dia langsung dimangsa seekor ikan yang besar. Ikan itu tak menggigitnya. Dia “aman” di dalam perut ikan, sebuah situasi yang memungkinnya sebagai orang beriman untuk makin menyadari bahwa inilah cara Allah menegur dia.
Inilah cara Allah memberikan pelajaran kepadanya, lewat sebuah ujian yang tak ringan: “lockdown”, terkunci di kegelapan.
Tiga hari tiga malam dalam kegelapan, Yunus merenung secara mendalam. Dia mengaku salah, pergi meninggalkan tugas dan tanggung jawab. Sebagai orang beriman, Yunus As bertobat. Dia memohon ampun. Atas hal itu, tobat Yunus diterima.
Sang ikan lalu menepi dan memuntahkan Yunus. Setelah sehat, Yunus kembali berdakwah dan kali ini disambut positif oleh kaumnya.
Perhatikanlah ayat ini: “Maka Kami telah memperkenankan doanya dan menyelamatkannya dari kedukaan. Dan demikianlah Kami selamatkan orang-orang yang beriman.” (al-Anbiya [: 88).
Kembali ke situasi terakhir kita, saat mulai banyak orang merasakan “gelap”. Benar, “gelap”, sebab pergerakan fisik menjadi terbatas, perputaran ekonomi terganggu, dan hal-hal lain yang serupa dengan itu.
Selanjutnya, mari merenung: bagi kaum beriman, seperti Yunus-kah kita yang diuji Allah dengan “gelap” karena meninggalkan-Nya?
“Yunus”-kah kita? Lihat, berkali-kali kita berumrah, sementara anak yatim yang tinggal tak jauh dari rumah tak kita perhatikan dengan semestinya.
“Yunus”-kah kita? Perhatikan, bahwa untuk membantu dana pengembangan dakwah kita harus menunda jawaban sekian hari kepada panitia yang datang ke rumah membawa map proposal?
Sementara, saat membeli baju berkelas, makan dengan menu istimewa, atau berbelanja barang lainnya, tak kita batasi jumlah pengeluannya.
“Yunus”-kah kita? Lihatlah! Di tengah situasi sulit, jangankan membantu saudara yang sedang kesulitan, bahkan tanpa perasaan kita menumpuk barang. Tumpukan barang itu untuk kita konsumsi sendiri dan atau dijual dengan harga tinggi jika nanti waktunya tiba.
Sila teruskan pertanyaan-pertanyaan reflektif di atas. Tak usah dijawab secara lantang. Jawaban cukup disimpan di dalam hati dan menjadi rahasia antara kita dan Allah.
Jalan Taubat Itu
Mari, seringlah menunduk, terutama di saat sulit seperti sekarang ini. Menunduk di suasana menjalarnya wabah penyakit. Lalu, di tengah gelap “lockdown”. Jadilah Yunus yang dengan sepenuh hati bersaksi:
“La ilaha illa anta subhanaka inni kuntu minadz dzhalimin. Tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang dzalim.
Semoga dengan cara itu, bersama ikhtiar lainnya, Allah segera memberikan jalan keluar.
Mari mengambil hikmah, belajar dari lockdown Nabi Yunus. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.