PWMU.CO – Jum’at pagi, 17 Agustus 1945 yang bertepatan dengan 9 Ramadhan 1364 H, proklamasi kemerdekaan RI dibacakan oleh Soekarno-Hatta. Dalam hitungan jam, proklamasi yang dikumandangkan di Jakarta tersiar cepat ke hampir seluruh nusantara. Selain peran radio yang saat itu masih sangat-sangat terbatas dan bergerak di bawah tanah, percepatan kabar itu tidak lepas dari koalisi laskar (semi) militer dengan ulama.
Oleh para ulama, kabar kemerdekaan itu kemudian diumumkan dari masjid ke masjid. Kabar itu membuat seluruh anak bangsa bersiap menyambut kondisi yang paling ekstrem sekalipun, mempertahankan kemerdekaan.
(Berita terkait: Inilah Alasan Bung Karno Memilih Angka 17 untuk Bacakan Proklamasi Kemerdekaan di Bulan Suci dan Ahmad Dahlan, Cucu KH Ahmad Dahlan yang Gugur dalam Pertempuran Pertahankan Kemerdekaan RI)
“Salah satunya adalah berita tentang proklamasi kemerdekaan dikhutbahkan di banyak masjid pada hari yang sama yaitu Jumat Legi, 17 Agustus 1945,” begitu pengkaji di Jakarta Islamic Centre (JIC), Rakhmad Zailani Kiki. Peran masjid dalam penyebaran ini sekaligus kewajiban jihad membela kemerdekaan RI juga ditulis oleh sejarahwan, Prof Ahmad Mansur Suryanegara.
Karena itu, simpul Ahmad Mansyur, sangat wajar jika pada masa pemerintahan Soekarno mendirikan sejumlah masjid, sebagai tanda bahwa kemerdekaan tidak akan mungkin terjadi tanpa ada pengorbanan dari para syuhada dan pejuang. Menurutnya, ada tiga masjid di Indonesia yang mengiringi langkah perjuangan bangsa menuju kemerdekaan.
(Berita terkait: Religiusnya Soekarno yang Selalu Ingatkan Kemerdekaan Itu Berkat Rahmat Allah di Setiap Peringatan HUT RI dan 3 Fase Keagamaan Bung Karno: dari Muslim KTP Jadi Muslim yang Yakin)
Pertama, masjid di lingkungan Istana Negara yang dinamakan Baiturrahim. Nama ini untuk selalu mengingatkan pada pengakuan bahwa “Indonesia adalah tanah airku, tanah tumpah darahku, di sanalah aku berdiri menjadi pandu ibuku,” tegas penulis buku “Pemberontakan Tentara PETA di Cileunca, Pangalengan, Bandung Selatan” itu.
Kedua, Masjid Syuhada sebagai monumen Yogyakarta sebagai ibu kota perjuangan. Tujuhbelas anak tangga di bagian depan, delapan segi tiang gapuranya, serta empat kupel bawah dan lima kupel atas. Di areal masjid inilah anggota laskar Hizbullah, Ahmad Dahlan bin Hilal bin Ahmad Dahlan, dimakamkan. Satu cucu pendiri Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan ini gugur dalam pertempuran di Srondol melawan NICA, pada 4 Juli 1946.
(Baca juga: Ketua PBNU: Tak Bisa Dibayangkan jika Indonesia tanpa Muhammadiyah dan Setelah Kongres Boedi Oetomo di Rumah Kyai Dahlan, Inilah Dampak Positifnya untuk Muhammadiyah)
Di Masjid ini juga bisa ditemukan semacam jejak sejarah yang terkait dengan peristiwa kemerdekaan bangsa Indonesia. Sebab, masjid ini punya tujuh belas anak tangga untuk mengantarkan jamaah memasuki masjid. Juga saat jika diamati secara seksama sekeliling masjid, maka akan terlihat depalan buah segi tiang gapura.
Selain itu, juga terdapat empat kupel bawah dan lima kupel atas (berbentuk besar) yang merupakan lambang tanggal, bulan dan tahun peristiwa penting dari detik-detik proklamasi kemerdekaan Indonesia. Yaitu 17-8-’45, atau tanggal 17 bulan Agustus tahun 1945.
(Baca juga: Siti Walidah, Lebih dari Seorang Kartini dan Kiai Dahlan Dirikan Sekolah Nasionalis 11 Tahun Sebelum Ki Hajar Dewantara)
Ketiga, Masjid Istiqlal yang berarti kemerdekaan. Terdapat cerita menarik tentang rencana pembangunan masjid yang konon terbesar se-Asia Tenggara tersebut. Awalnya, ide pembungunan masjid ini diprotes oleh I.J. Kasimo dari Partai Katholik karena berada tepat di depan Gereja Katedral.
Namun, Bung Karno bergeming dengan alasan bahwa dulu di tempat itu telah berdiri masjid yang dibangun oleh Sunan Gunung Jati dan dihancurkan oleh VOC. “Jadi, menurut Bung Karno, umat Islam membangun kembali masjid yang lebih dulu ada jauh sebelum ada gereja.”
(Baca juga: Soal Lahirnya Pancasila 1 Juni, Piagam Jakarta, dan Peran Politik Umat Islam dan Ternyata Tata Negara Bangsa-Bangsa Barat Meniru Konsep Rasulullah)
Satu hal unik lain dari pembangunan masjid ini adalah waktunya bersamaan dengan pembangunan Monumen Nasional (Monas). Presiden Soekarno waktu itu mendahulukan penyelesaian Monas. Menurut dia, kalau dia wafat sebelum Monas jadi, tidak akan ada yang mau menyelesaikan pembangunannya. Akan tetapi, jika ia wafat sebelum Istiqlal jadi, umat Islam pasti tidak akan membiarkan pembangunan masjid itu telantar.
“Monumen perjuangan kita ditandai dengan masjid-masjid. Perjuangan kemerdekaan kita pun ditegakkan oleh orang-orang yang memakmurkan masjid. Itu patut kita syukuri,” tutur Mansur.
(Baca juga: Masjid Kiai Dahlan saat Bertetirah di Pasuruan yang Sudah Berubah dan Masjid Harus Sediakan Wifi, Buku, dan Kopi agar Lebih Menarik dari Warkop)
Di luar ketiganya, tidak terhitung berapa masjid yang menjadi saksi perjalanan sejarah bangsa ini dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Dalam penelitian Abdul Bagir Zein misalnya, tidak kurang 119 masjid di seluruh nusantara yang ikut andil dalam merawat kecambah kemerdekaan yang baru seumur jagung. Dari timur ke barat, selatan ke utara ujung Indonesia, perlawanan masjid terhadap kolonialisme tidak kunjung padam.
Melihat fakta sejarah Indonesia, masjid memiliki peran strategis ketika bangsa Indonesia berjuang untuk Kemerdekaan RI, dan itu merupakan bukti nyata bagaimana peranan umat Islam ikut berjuang melawan penjajah. (arya, abidin, kholid)