Bersatunya Keledai, Tikus, dan Harimau ditulis oleh: Pradana Boy ZTF, Dosen Prodi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Malang.
PWMU.CO – Seorang bapak dan anak tengah melakukan perjalanan dengan menuntun seekor keledai. Mereka tiba di sebuah desa dan singgah.
“Kalian berdua ini bodoh sekali. Buat apa membawa keledai, tetapi hanya dituntun?” kata seorang penduduk desa.
Bapak dan anak itu terpengaruh. Mereka berembug. Sebagai keputusan, naiklah si anak ke atas punggung keledai. Perjalanan berlanjut, dan mereka tiba di sebuah perkampungan lain.
Penduduk desa mendapati si anak berada di atas punggung keledai, sementara sang bapak menuntun. “Anak tak tahu akhlak. Dia enak-enakan naik keledai. Sementara bapaknya berjalan.” Bapak dan anak itu mendengar. Mereka kembali terpengaruh.
Kini, sang bapak menaiki keledai, dan si anak menuntunnya. Mereka terus berjalan, dan bertemu banyak orang.
Lalu mereka mendengar komentar: “Bapak yang egois. Anaknya disuruh menuntun keledai dan dia naik. Enak sekali.”
Mendengar komentar itu, mereka kembali berembug. Sebuah keputusan baru diambil. Kini, keduanya menaiki keledai.
Hingga saat melintasi perkampungan berikutnya, terdengar seseorang berteriak. “Hai kalian berdua, tidakkah memiliki rasa kasihan? Keledai sekecil ini dinaiki berdua!”
Bapak dan anak ini kembali terpengaruh. Mereka berembug lagi, dan memutuskan untuk menggotong keledai itu. Mereka pun melintasi perkampungan yang lain, dan mendengar orang berbisik-bisik: “Bapak dan anak sama-sama bodoh. Kenapa keledai hidup digotong. Bukankah lebih enak dan ringan jika dituntun atau dinaiki?”
Kisah Harimau dan Tikus
Seekor harimau raja hutan tengah tertidur. Lelap sekali. Tiba-tiba seekor tikus kecil melintasi kepalanya. Kaget oleh lompatan tikus, harimau terbangun dan dengan sigap menangkap tikus mungil itu.
Harimau marah besar. Ia mengancam tikus, dan hendak memakannya. Tikus meronta. Tetapi apalah arti kekuatan tikus dibanding harimau yang ukuran badannya ribuan kali lipat. Dengan memelas, tikus meminta: “Bebaskan aku, wahai Harimau!”
Mendengar rintihan tikus, harimau semakin menguatkan cakarnya dengan angkuh. “Kau telah mengganggu tidurku. Bagaimana mungkin aku akan melepaskanmu?” Harimau itu berteriak kencang.
Tikus kembali memohon: “Lepaskan aku, wahai Harimau. Kalau kau lepaskan, suatu hari nanti aku akan menolongmu.”
Harimau tergelak. Lalu berkata: “Engkau akan menolongku? Engkau akan menolongku? Mengacalah wahai, Tikus. Aku ini raja hutan. Kau hanya binatang kecil. Bagaimana engkau akan menolongku? Tapi, baiklah, akan kulepaskan kamu. Tapi jangan pernah bermimpi akan menolongku,” kata harimau lagi.
Tikus akhirnya terbebas dan berlari jauh meninggalkan harimau.
Suatu saat, ketika tikus tengah bermain-main di hutan, ia melihat seekor harimau meraung-raung. Tikus mendekat. Rupanya, seekor harimau tengah terperangkap jaring pemburu.
Sedemikian kuat harimau meronta. Tetapi tak satupun rautan jaring yang putus. Tikus terperanjat, harimau itulah yang menangkap dan lalu melepaskannya. Tanpa menunggu lama, tikus segera menggigit satu persatu benang jaring yang kuat itu. Hingga akhirnya, harimau bisa keluar dari perangkap pemburu. Harimau bebas, lalu mengucapkan terima kasih, sembari menginsyafi kesombongannya.
“Dulu aku melepaskanmu sambil meremehkanmu karena tubuhmu yang teramat kecil. Ternyata kini, justru kau yang mampu membebaskan aku dari perangkap pemburu,” kata harimau kepada tikus.
Hikmah Kisah Keledai dan Harimau
Kedua cerita di atas bisa benar-benar terjadi. Bisa juga hanya rekaan. Tetapi mari tak berdebat tentangnya, karena keduanya menuturkan pelajaran kehidupan yang sangat mulia.
Dalam perjalanan hidup, pastilah semua orang pernah mengalami kondisi seperti dalam kisah pertama. Seseorang mengambil keputusan untuk situasi dan kondisi yang ia hadapi. Namun, orang lain yang mengetahui keputusan itu, berkomentar negatif, dan itu mempengaruhi si pengambil keputusan.
Demikian pula, sangat mungkin terjadi, kita pernah meremehkan seseorang atau diremehkan seseorang; namun yang diremehkan ternyata justru memberikan pertolongan saat dalam kesulitan, pada suatu masa.
Cerita pertama menggariskan sejumlah pelajaran: Pertama, membuat semua orang bahagia dengan sebuah keputusan adalah sesuatu yang teramat susah, bahkan mustahil.
Kedua. kebanyakan orang gemar memberikan komentar kepada sebuah keputusan dan mencelanya, tanpa mengetahui latar belakangnya. Ketiga, komentar orang seringkali mampu mengubah keputusan.
Tiga pelajaran ini mengantarkan kepada dua pelajaran lain, keempat, menghindari ketergesaan dalam mengambil keputusan. Dan kelima, pentingnya menjaga keteguhan prinsip dan konsistensi dalam bersikap.
Tahapan Pengambilan Keputusan
David A. Garvin, seorang guru besar Universitas Harvard, Amerika Serikat, menyebut ada delapan tahapan dalam proses pengambilan keputusan. Pertama, setting the stage (menentukan orang yang akan diajak berdiskusi dalam pengambilan keputusan).
Kedua, recognizing obstacles (mengenali halangan). Ketiga, framing the issue (memahami isu yang hendak diputuskan). Keempat, generating alternatives (menciptakan pilihan-pilihan).
Kelima, evaluating alternatives (mengevaluasi pilihan-pilihan itu). Keenam, making a decision (mengambil keputusan). Ketujuh, communicating the decision (mengetahui kepada siapa keputusan itu disampaikan). Kedelapan, implementing the decision (menjalankan keputusan). (Making Decision, Harvard Business Press, 2008: 5-6).
Keputusan yang diambil dalam ketergesaan, pastilah mengabaikan hal-hal di atas.
Keteguhan Membabi-buta
Pada saat yang sama, keteguhan dalam memegang prinsip adalah hal penting dalam kehidupan. Hanya saja, keteguhan prinsip yang membabi-buta justru bisa mengarah kepada pengambilan keputusan yang tidak tepat.
Secara spiritual, keteguhan yang membabi-buta pada prinsip itu, bisa juga mengarahkan seseorang kepada kesombongan. Sementara salah satu sikap turunan dari kesombongan adalah meremehkan orang lain. Keduanya dilarang oleh al-Quran (al-Hujurat 11).
Ibnu Katsir menyebutkan ayat di atas berisikan larangan meremehkan dan melecehkan orang lain. Hadits Nabi Muhammad juga menegaskan hal itu: “Sombong adalah sikap menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.”
Perihal kesombongan ini, cerita kedua menggariskan nilai bahwa meremehkan seseorang dilarang karena selemah apapun orang lain, pastilah memiliki kelebihan.
Dalam Mukhtasyar Ihya Ulumuddin, al-Ghazali menyebut kesombongan sebagai sifat dalam jiwa dan sifat ini tumbuh dari penglihatan nafsu. Dengan mengutip Hadits Qudsi yang menyebut “Kesombongan adalah kain selendang Allah,” maka kesombongan, ditujukan kepada siapapun pada dasanya adalah pengingkaran (kufur) kepada Allah SWT, dan Jahanam adalah balasannya.
Balasan Kebaikan
Pada saat yang sama, cerita kedua juga menjadi semacam peringatan bahwa dalam berbuat kebaikan, jangan pernah berfikir itu untuk kebaikan orang yang ditolong.
Karena pemikiran seperti ini akan membawa orang kepada kesombongan. Pada dasarnya, “Jika engkau berbuat kebaikan, sesungguhnya engkau berbuat baik untuk dirimu sendiri, dan demikian pula jika engkau berbuat keburukan” (al-Isra 7).
Harimau yang menolong tikus dengan cara melepaskannya itu telah terjebak pada dua pemikiran yang kurang tepat. Pada satu sisi, dengan kekuasaan yang ia miliki, ia merasa bahwa membebaskan tikus dari adalah untuk kepentingan tikus.
Pada sisi lainnya, harimau berfikir melepaskan tikus adalah tindakan remeh dan sia-sia dan tak akan memberikan pengaruh kepada hidupnya. Karena itu, harimau tak pernah berfikir bahwa apa yang ia lakukan itu suatu hari akan kembali kepada dirinya sendiri dalam bentuk kebaikan yang lain.
Namun, “… tidak akan engkau dapati perubahan dalam hukum Tuhan,” (al-Ahzab: 62). Sehingga, meskipun harimau sama sekali tidak pernah berharap (bahkan menafikan) tikus akan memberikan pertolongan kepadanya, hukum Allah telah menetapkan bahwa, “Tidak ada balasan kebaikan selain kebaikan (pula)” (al-Rahman 60).
Baik sebagai individu, dalam menjalankan kehidupan pribadi masing-masing; maupun dalam konteks yang lebih luas sebagai pemimpin, apapun level kepemimpinan yang disandang, menyatukan moral kedua kisah di atas merupakan hal yang teramat penting.
Kisah keledai diambil sebagai i’tibar agar kita berusaha bersikap ideal dalam pengambilan keputusan. Namun, pada saat yang sama, sikap ideal itu harus disertai dengan sikap tidak meremehkan orang lain, sebagaimana diajarkan kisah harimau dan tikus.
Manakala kita berhasil menyatukan ‘keledai, harimau, dan tikus’ itu dalam kehidupan kita, maka salah satu hikmah kehidupan telah berhasil kita peroleh.
“Dan barangsiapa diberikan hikmah, maka baginya kebaikan yang sangat banyak.” (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.