Pak Nadjikh sang Komandan Eksekusi ditulis pada tanggal 18 April 2020 oleh Iman Supriyono, CEO SNF Consulting dan Wakil Ketua Majelis Ekononomi dan Kewirausahaan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur.
PWMU.CO – Tiap tahun Majalah Harvard Business Review (HBR) meluncurkan daftar 100 CEO terbaik dunia. Kriterianya ada tiga: kinerja keuangan, sustainability, dan kualitas hubungan dengan stake holder.
Ketiganya langsung diukur dan dimonitor dari perusahaan yang dipimpin sang CEO. Hanya CEO yang telah menjabat minimal dua tahun yang dipantau oleh majalah bisnis yang juga dikenal sebagai HBR ini.
Tahun ini yang menempati posisi pertama adalah Jensen Huang, CEO NVIDIA. Warga negara Amerika Serikat ini juga pendiri perusahaan semikonduktor itu. Jadi ia telah menjadi pimpinan tertinggi perusahaan itu selama 27 tahun.
Tahun-tahun sebelumnya tokoh bisnis yang juga berkebangsaan Taiwan ini sudah langganan masuk daftar. Walaupun belum pernah menempati urutan pertama.
Dua puluh tujuh tahun. Sepanjang masa itulah Jensen sebagai chief executive officer membangun segalanya dari nol. Kini, perusahaan yang didirikannya bersama dua rekannya itu bernilai USD 177 miliar alias Rp 2.760 triliun. Nilai finansial ini adalah variabel penentu paling besar kriteria HBR.
Apa peran Jensen dan 99 orang lain di daftar HBR itu? Kata kuncinya adalah pada executive. CEO adalah pimpinan puncak eksekusi. Komandan pasukan eksekusi.
Business thinker ternama Larry Bossidi dan Ram Charan dalam bukunya menyebutkan bahwa ada kesalahan fundamental dalam bisnis. Orang menganggap ekseskusi adalah masalah taktis. Bukan masalah stratejik. Karenanya para pimpinan kemudian mendelagasikannya kepada orang lain. Si komandan pasukan seraya fokus kepada sesuatu yang dianggapnya lebih besar.
Kata Ram & Larry, ini adalah kesalahan fatal. Eksekusi bukan sekadar taktik. Eksekusi adalah disiplin sekaligus sistem. Eksekusi harus dibangun dalam strategi, tujuan, dan budaya perusahaan. Pimpinan tertinggi perusahaan—CEO—harus terlibat dalam-dalam untuk hal ini.
Eksekusi Moderator di Bali
“Pak Iman di mana?” Begitulah suara yang sangat saya kenal dari ujung telepon. Pagi itu saya sedang bertandang ke kantor pusat Hybridbooking.com. Sekitar 20 menit perjalan bermobil dari hotel tempat saya menginap. Suara di ujung telepon itu meminta saya untuk segera kembalai ke hotel. Menjadi moderator untuk sesi Pak Dahlan Iskan.
Baru sekitar sepuluh menit saya tiba di kantor perusahaan IT yang produknya dipakai berbagai hotel itu. Makan pagi khas Denpasar yang dipesan baru datang. Tanpa sempat menikmatinya, saya segera minta tolong sang CEO agar bisa diantar kembali ke hotel.
Setengah jam lagi sesi pagi untuk acara Muhammadiyah International Business Forum itu dimulai. Untuk memastikan saya tidak terlambat, saya minta sang CEO menugasi anak buahnya untuk mengantar saya naik motor.
Terkejut Pak Nadjikh Wafat
Kemarin, persis setelah shalat Jumat saya membuka gadged. Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun. Sebuah berita duka begitu mengejutkan.
Yang meninggal dunia adalah pemilik suara yang ada di ujung telepon di atas. Pak Mohammad Nadjikh. Saya biasa memanggilnya Pak Nadjikh. Pendiri dan CEO PT Kelola Mina Laut itu meninggal sekitar jam 10 pagi karena sakit.
Hingga pagi ini pikiran saya terus melayang-layang. Memori kebersamaan dengan Pak Nadjikh terus bermunculan. Memori yang penuh dengan palajaran hidup dan bisnis dari seorang senior kepada juniornya. Peristiwa di Denpasar itu salah satunya.
Peristiwa akhir Nopember tahun lalu ini adalah pelajaran tentang disiplin ekesekusi. Persis seperti judul buku Larry dan Ram yang saya kutip di atas, Execution: The Discipline of Getting Things Done.
Pak Nadjikh adalah Ketua Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Kalau di negara setara dengan menteri ekonomi.
Orang bisa menyalahkan Pak Nadjikh ketika menelepon saya dan tiba-tiba meminta saya menjadi moderator. Bukankah itu masalah taktis. Masalah yang mestinya cukup dikerjakan oleh panitia. Bahkan cukup seksi acara. Bukan ketua panitia. Toh saya juga hanya diminta jadi moderator. Toh dimoderatori siapapun Pak Dahlan tetap menjadi nara sumber yang menarik.
Karena bukan panitia, saya tidak tahu apa yang terjadi di kepanitaan. Yang saya tahu, senior di Muhammadiyah maupun di dunia bisnis ini tidak pernah minta tolong jika masalahnya tidak urgen.
Nah, disinilah palajaran itu muncul. Jiwa CEO Pak Nadjikh muncul. Persis seperti saran Larry dan Ram. Eksekusi adalah masalah strategis. Sebagai pimpinan tertinggi di bidang ekonomi Muhammadiyah, Pak Nadjikh sedang memastikan tujuan stratejik acara yang mendatangkan peserta dan nara sumber dari beberapa negara itu tercapai.
Eksekusi Sate Mak Nyus
Dalam segmen memori lain, Pak Nadjikh misalnya pernah menjadi penunjuk jalan menuju sebuah warung sate di sebuah kota kecil. Lewat telepon, dia pandu perjalanan menuju warung yang lokasinya masuk ke kampung itu. Dia sangat antusias menjelaskan kenikmatan sate di warung itu. Dan ternyata benar. Satenya memang mak nyus.
Apa nilai strategisnya? Ketika itu saya dan kawan-kawan lain sedang menjadi tamu pak Nadjikh. Sang komandan eksekusi sedang memastikan bahwa tamu-tamunya puas dengan apa yang disajikan oleh tuan rumah.
Jika Jensen yang CEO terbaik dunia mendirikan dan menjadi CEO NVIDIA sejak tahun 1993, Pak Nadjikh mendirikan dan menjadi CEO PT Kelola Mina Laut satu tahun kemudian.
Jensen berhasil membawa perusahaannya menjadi terbaik di USA, Pak Nadjikh membawa perusahaan yang didirikannya menjadi yang terbaik di Indonesia. Tentu saja di industrinya masing-masing.
Perusahaan yang tahun lalu rebranding menjadi Kelola Group itu sukses membawa produknya masuk pasar berbagai negara.
Memberi manfaat untuk dunia.
Memori lain muncul: setiap menikahkan putra-putrinya, tamu-tamu Pak Nadjikh selalau datang dari berbagai negara. Kolega dan sahabatnya ada dari berbagai negara. Rekan bisnis Kelola Group.
Sebelum kepergiannya, Pak Nadjikh masih berencana mengajak saya untuk bertemu tim manajemen Kelola Group terkait dengan proses korporatisasi yang sedang berjalan. Bekerja keras membangun manfaat sampai akhir hayat.
Pernah ‘Todong’ Haedar Nashir
Masih banyak memori lain bersama almarhum. Teman-teman di Majelis Ekonomi Muhammaadiyah pasti merasakan menonjolnya kekuatan eksekusi itu. DMU, investment company-nya Muhammadiyah, tidak akan hadir di dunia bisnis tanpa kekuatan eksekusi itu.
Saya ingat, penandatanganan dokumen untuk pendiriannya dilakukan dengan “menodong” Pak Haedar Nashir. Saat itu pimpinan puncak Muhammadiah itu ada acara di Universitas Muhammadiyah Surabaya. Tepatnya di ruang rektorat. Saya menyaksikan langsung dialognya karena ketika itu saya adalah anggota Badan Penasihat Harian yang memang sering keluar masuk ruang rektor.
Masih banyak lagi memori bersama almarhum. Tidak mungkin untuk menuliskannya semua. Satu saja yang perlu dicatat dan diteladani. Sepanjang hidupnya, alumni pesantren ini begitu rajin membangun amal jariyah.
Sang komandan eksekusi ini tidak kenal lelah untuk hal ini. Beliau tetap antusias pada berbagai meeting sampai larut malam pun. Masih enerjik saat orang lain sudah pada kelelahan. Seolah beliau sudah tahu jika umurnya tidak akan panjang. Oleh karena itu harus membangun seusuatu yang berumur panjang.
Di Muhammadiyah, di KEIN, di IPB alamamaternya, di Unair, dan di manapun. Membangun sesuatu yang terus mengalirkan manfaat bagi sesama. Manfaat bagi umat. Manfaat bagi bangsa. Dan bagi masyarakat dunia. Yang mengalirkan pahala kasih sayang Sang Khalik sampai kapanpun.
Pak Nadjikh, kini dirimu menikmatinya.Teladan bagi kami para sahabatmu. Amin. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.