Klaim Jamaah Islam Paling Sunnah Tak Zaman Lagi artikel opini tulisan Abdussalam Masykur Lc MA, dosen Ma’had Umar bin Al Khattab Surabaya.
PWMU.CO-Klaim jamaah Islam paling sunnah dan Qurani mewarnai perjalanan sejarah Islam hingga memunculkan konflik. Klaim itu misalnya datang dari ISIS, Jamaah Islamiyah, al-Qaidah, Komando Jihad, dan sejenisnya.
Klaim seperti ini kalau diruntut akar sejarahnya sudah mulai muncul pada zaman Khalifah Utsman bin Affan. Selama 12 tahun memerintah, di masa akhirnya kekuasaannya muncul demonstrasi besar yang mengepung rumah Utsman berhari-hari.
Salah seorang demonstran masuk rumah dan membunuhnya. Usai membunuh merasa diri sebagai pahlawan dan membenarkan tindakannya sebagai kubu jamaah Islam yang benar mengalahkan rezim Utsman yang dianggap thagut.
Ali bin Abi Thalib kemudian dibaiat oleh para tsuwwaar, para demonstran pemberontak, yang ternyata didukung pula oleh sahabat Nabi yang kritis terhadap pemerintahan Utsman.
Ketika Ali bin Abi Thalib memerintah ganti dia dituntut oleh keluarga dan kubu Utsman untuk menyerahkan pembunuh khalifah ketiga itu. Namun Ali kesulitan memenuhi tuntutan itu karena tidak diketahui siapa pelakunya. Kecuali cirinya saja berkulit hitam.
Tuntutan berubah jadi gejolak besar setelah Ali bin Abi Thalib merombak pemerintahan dengan melakukan De-Utsmanisasi. Gubernur dan pejabat pilihan Utsman dicopot lalu diangkat orang baru yang setia padanya.
Perombakan pemerintah lancar dilakukan kecuali mengganti Gubernur Syam Muawiyah bin Abu Sufyan yang terlalu kuat dan kaya raya. Dia jadi gubernur sejak tahun 639 M di masa Khalifah Umar bin Khattab. Muawiyah termasuk kerabat Utsman sama-sama Bani Umaiyah.
Muawiyah menolak keputusan Ali. Bahkan dia melawan. Konflik itu memicu perang Shiffin di dekat sungai Efrat wilayah Irak. Akhirnya kedua kelompok ini menghentikan peperangan dan memilih jalan musyawarah atau diplomasi.
Diplomasi Ali dan Muawiyah
Dalam diplomasi itu Ali mengutus Abu Musa Al Asy’ari. Sedangkan Muawiyah diwakili oleh Amr bin Ash. Masing-masing utusan menyatakan dari kubu yang benar dan sah memimpin jamaah Islam. Tapi Abu Musa yang polos bisa diakali oleh Amr bin Ash, politikus kawakan yang lihai bicara.
Berawal dari kesepakatan, dua pihak yang mengaku khalifah ini harus turun tahta dulu. Abu Musa dipersilakan mengumumkan penurunan Ali. Di luar dugaan saat giliran Amr bin Ash, dia langsung fait accompli. ”Karena Khalifah Ali telah turun maka saya mengangkat Muawiyah sebagai khalifah baru.”
Pertikaian dua pendukung khalifah ini melahirkan kelompok Khawarij yang menganggap Ali dan Muawiyah sama-sama kafir yang halal darahnya untuk menghentikan pertikaian. Kelompok Khawarij merancang pembunuhan Ali, Muawiyah, dan Amr bin Ash serentak.
Namun Muawiyah sangat cerdik. Sejak kasus pembunuhan Utsman dia membentuk pasukan pengaman khalifah di istananya. Begitu juga Amr bin Ash. Hanya Ali yang akhirnya bisa ditikam oleh orang Khawarij Abdurrahman bin Muljam 26 Januari 661 di Masjid Agung Kufah.
Ali yang sempat bertahan sakit selama
tiga hari ditanya putranya, Hasan. “Siapakah pengganti Ayah nanti, apakah
langsung saya?”
Ali berpesan,
“Jangan, kecuali dikehendaki oleh kaum muslimin melalui musyawarah.”
Setelah Ali wafat, Hasan dibaiat orang-orang Madinah pendukung ayahnya sebagai khalifah. Sementara Muawiyah juga memproklamasikan diri sebagai khalifah satu-satunya yang sah.
Dengan kekuatan pasukannya, Muawiyah kemudian mendatangi Hasan di Madinah. Dia menawarkan pilihan menyerahkan khalifah kepadanya dengan imbalan harta untuk hidup. Jika menolak akan diperangi. Hasan menyerah.
Setelah sukses mengalahkan pesaingnya Muawiyah berkata, “Sayalah yang memulai pemerintahan dengan sistem kerajaan.” Sejak itu tradisi pemilihan pemimpin lewat musyawarah hilang.
Arti Jamaah Islam Sekarang
Dari paparan sejarah di atas maka hati-hatilah kalau ada orang membuat klaim jamaah Islam paling sunnah dan Islami. Apalagi pakai dalil hadits yang keras seperti Al mufaariq lil jama’ah. Memisahkan dari jamaah Islam berarti dosa besar, dan halal darahnya.
Pengertian jamaah di zaman sekarang dari kelompok mana pun tidak bisa diartikan sebagai Jamaatul Muslimin seperti rakyat dari negara muslim di zaman Nabi. Sehingga ketika ada yang keluar atau dikeluarkan dari jamaah tersebut, maka hukumnya tidak murtad.
Apalagi kalau pemimpin jamaah itu sudah keluar dari khithahnya. Maka persoalan menjadi lebih luas dan longgar. Sehingga tidak boleh mengklaim bahwa mereka saja yang menjadi ahlussunah wal jamaah atau yang paling benar.
Masalah ta’addud al-jamaah wal jamiyyah, banyaknya jamaah dan kelompok, sekarang tidak bisa dihindari sampai muncul pemimpin yang mampu menyatukannya.
Jamaatul Muslimin seperti di zaman Rasulullah saw, zaman Abu Bakar dan Umar bin Khatab sudah sulit terwujud dan sepertinya sudah tidak berlaku secara mutlak di masa sekarang ini.
Karena itu jangan ada yang beranggapan hanya organisasi atau partai atau kelompoknya yang paling benar dalam menerapkan Islam secara mutlak. Wallahu a’lam bis shawab. (*)
Editor Sugeng Purwanto