PWMU.CO– Kiai Ahmad Dahlan adalah ulama yang militan. Prinsip dakwahnya keras. Walau kondisi sakit tetap beraktivitas. Menurutnya, berdakwah itu bukan urusan dengan manusia tapi dengan Tuhan.
Kiai Ahmad Dahlan punya prinsip, jika kamu minta izin tidak melakukan suatu pekerjaan yang telah ditetapkan oleh keputusan sidang persyarikatan seperti tugas tabligh, janganlah kamu meminta izin kepadaku tapi mintalah izin kepada Tuhan dengan mengemukakan alasan-alasan. ”Beranikah engkau mempertanggungjawabkan tindakanmu itu kepadaNya?”
”Jika engkau meminta izin tidak memenuhi tugas tersebut karena alasan tidak mampu, maka beruntunglah engkau. Aku akan mengajarkan kepadamu bagaimana memenuhi tugas tersebut,” katanya.
Tapi kalau engkau meminta izin tidak memenuhi tugas tersebut karena sekadar enggan, sambung Kiai Dahlan, maka tiadalah orang yang bisa mengatasi seseorang yang memang tidak mau memenuhi tugasnya. Janganlah persoalan rumah tangga dijadikan halangan memenuhi tugas kemasyarakatan.
Prinsip kerja dakwah seperti ini diterapkan kepada dirinya sendiri dan aktivis Muhammadiyah. Sampai-sampai Ki Bagus Hadikusumo dimarahi gara-gara ketika ditugasi menghadiri acara persyarikatan di Solo balik melapor tak jadi berangkat karena ketinggalan kereta.
Kiai Dahlan langsung berkata, apakah tak punya kaki untuk berjalan sehingga sampai ke sana. ”Jika ketinggalan kereta berarti tidak ada cara lain untuk memenuhi tugas?”
Akhirnya Ki Bagus langsung pergi menyewa mobil menuju Solo yang ternyata kehadirannya sudah ditunggu-tunggu jamaah Muhammadiyah di kota itu. Ongkos sewa mobil pun diganti jamaah dengan urunan.
Tetap Hadiri Kongres
Sewaktu Kongres Muhammadiyah tahun 1922, Kiai Dahlan tetap hadir memimpin sidang walaupun kondisinya sakit. Tapi di hari kedua sakitnya makin parah sehingga tidak bisa hadir. Barulah kemudian pesan-pesannya disampaikan oleh Kiai Muchtar.
Sesudah sembuh Kiai Dahlan berkegiatan kembali. Hingga sekitar Januari 1923, Kiai Dahlan jatuh sakit lagi. Kondisinya parah. Dokter dan para sahabat menganjurkan agar sementara waktu istirahat untuk pemulihan. Kiai Dahlan menolak. Dia terus bekerja untuk kegiatan Muhammadiyah.
Melihat tubuhnya yang mulai melemah, Siti Walidah, istrinya, meminta agar Kiai Dahlan bersedia istirahat dulu untuk penyembuhan.
Mendengar permintaan istrinya itu, Kiai Dahlan terkejut. Lantas berkata, jika selama ini orang lain memintanya berhenti beramal tak digubris, kini justru istrinya sendiri ikut melarang.
Istrinya berkata pelan, dia bukan melarang beramal tapi agar Kiai Dahlan segera sembuh sehingga bisa melanjutkan beraktivitas kembali. Namun Kiai Dahlan berkeras hati. Dia tak mau berhenti berdakwah. Bahkan harus bekerja keras lagi. Sebab jika lambat gerakannya akan gagal.
Tak berselang lama sakitnya makin parah. Sampai tanggal 23 Februari 1923, Kiai Dahlan wafat. Tapi perjuangannya tak berhenti dilanjutkan Wakil Presiden Muhammadiyah Kiai Ibrahim. (*)
Editor Sugeng Purwanto