Mohammad Djazman Al Kindi tulisan Qosdus Sabil, yang sekarang aktif sebagai penasihat PRM Legoso Ciputat. Menuliskan pengalamannya bersama pendiri IMM itu.
PWMU.CO– Mohammad Djazman Al Kindi. Pendiri Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) ini dikenal dekat dengan aktivis muda hingga akhir hayatnya. Sering menjadi tempat berdiskusi. Dalam forum seminar maupun kunjungan ke rumahnya. Djazman Al Kindi selalu terbuka menerima tamu para aktivis. Bahkan dijamu makan segala.
Pernah saya bertamu ke rumahnya di Kaliurang Yogyakarta. Untuk mengundangnya ceramah di forum Silatnas Fokal IMM se-Indonesia di Kampus UMM tahun 1997.
Saat itu, kondisi Pak Djazman sedang sakit. Walaupun begitu bersedia menerima tamu setelah saya telepon dulu dari Malang. Saya tiba di Yogya lantas menghubungi Mas Husni Amriyanto yang saat itu menjabat Pembantu Dekan 3 Fisipol Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Kemudian sopirnya mengantarkan saya ke rumah Pak Djazman menggunakan mobil fakultas.
Sampai di rumah Pak Djazman, saya diantarkan asistennya masuk menuju kamarnya. Pak Djazman tampak sumringah. Tak ada guratan sakit. Hanya sesekali harus menghirup oksigen murni dari masker slang yang terhubung ke tabung di samping tempat duduknya. Lalu kami tenggelam dalam obrolan soal aktivitas mahasiswa, kehidupan kampus, pembangunan Perguruan Tinggi Muhammadiyah, dan perkembangan politik.
Mohammad Djazman lahir di Yogyakarta, pada 6 September 1938. Lulusan UGM. Menjabat rektor pertama Universitas Muhammadiyah Surakarta tahun 1981-1985 setelah menggabungkan IKIP Muhammadiyah Surakarta dan Institut Agama Islam Muhammadiyah (IAIM) Surakarta. Meninggal 15 Agustus tahun 2000 dalam usia 62 tahun.
Posisi Muhammadiyah Repot
Dalam pandangan politik, Pak Djazman agak beda dengan Profesor Dr M. Amien Rais. Walaupun begitu dia meminta aktivis mahasiswa Muhammadiyah mengawal perjuangan Pak Amien.
Menjelang Reformasi 1998, Amien Rais membuat pernyataan panas perlunya mempersiapkan suksesi kepemimpinan nasional menggantikan Presiden Soeharto.
Pernyataan itu disampaikan dalam Sidang Tanwir Muhammadiyah di Surabaya tahun 1993. Juga dalam Tabligh Akbar Kokam di Stadion Tambaksari Surabaya tahun 1996. Menurut Pak Amien, dukungan Muhammadiyah terhadap pemerintah bukan tanpa reserve. Maknanya, dukungan Muhammadiyah terhadap pemerintah bukan dukungan buta, melainkan dukungan bersyarat.
”Kalau pemerintah masih tetap lurus, berorientasi kerakyatan, mengasah, dan mempertajam keberanian moralnya untuk memberantas korupsi, kolusi, otomatis dukungan Muhammadiyah akan terus. Namun kalau pemerintah tidak sanggup lagi menanggulangi korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), maka Muhammadiyah hanya bisa mendoakan mudah-mudahan pemerintah dilindungi oleh Allah SWT,” begitu pernyataan Pak Amien waktu itu.
Tekanan Pak Amien terhadap rezim Orde Baru memang membuat posisi Muhammadiyah menjadi serba repot. Beberapa tokoh Muhammadiyah lainnya menjadi waswas dengan pernyataan Pak Amien yang keras seperti Lukman Harun dan Djazman Al Kindi.
Menurut Pak Djazman, posisi Pak Harto masih sangat kuat sehingga diprediksi dalam Pemilu Maret 1998 pasti akan terpilih lagi sebagai presiden untuk periode ketujuh. Dia melihat seruan reformasi Amien Rais tidak memiliki arti apa-apa, jika Muhammadiyah tidak memberikan dukungan secara total.
Menyarankan Amien Rais Mundur
Tanpa diminta pun, semua warga Muhammadiyah pasti akan mendukung. Apalagi posisi Pak Amien sebagai Ketua (Umum) Pimpinan Pusat Muhammadiyah. ”Namun, Pak Amien hendaknya bisa menjaga posisi Muhammadiyah sebagai organisasi sosial kemasyarakatan yang berdiri secara independen di atas kepentingan politik,” kata Djazman saat diskusi dengan mahasiswa usai Tabligh Akbar Kokam di Stadion Mandala Krida Yogyakarta tahun 1997.
Pak Djazman waktu itu menyarankan Pak Amien harus berani mundur dari jabatan Ketua (Umum) Pimpinan Pusat Muhammadiyah agar posisi Muhammadiyah tidak riskan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Menurut dia, Muhammadiyah selalu mengambil peran secara arif dan bijaksana. Sikap inilah yang kemudian melahirkan gagasan high politics dalam fungsi kontrolnya terhadap pemerintah.
Djazman menilai, seruan Amien Rais hanya bernilai secara moral. Seruan itu tidak memiliki kekuatan apa-apa terhadap perubahan perilaku politik rezim Orde Baru yang dalam beberapa hal dinilai telah jauh dari tuntunan nilai Islam.
Djazman lebih memilih berkooperasi dengan pemerintah bahkan masuk kekuasaan untuk meluruskan praktik kekuasaan Orde Baru yang melenceng karena diisi para birokrat korup. ”Birokrasi didominasi permainan politik yang kotor dengan praktik KKN, maka pilihan lain bagi Muhammadiyah untuk kader-kader elite Persyarikatan berjuang mewujudkan high politics dengan cara masuk ke dalam struktur kekuasaan,” ujarnya.
Saat itu beberapa kader Muhammadiyah sudah masuk dalam struktur kekuasaan. Misalnya, Dr Ahmad Watik Pratiknya menjadi Sekretaris Wakil Presiden BJ Habibie. Padahal Pak Watik adalah sahabat terdekat Pak Amien yang menjadi sekretarisnya di Pesantren Budi Mulia serta Pusat Pengkajian Strategi dan Kebijakan (PPSK) Yogyakarta. Pak Watik juga menjabat Sekretaris Majelis Tabligh PP Muhammadiyah. (*)
Editor Sugeng Purwanto