Kisah-Kisah Kiai Dahlan Peduli Umat. Kolom ditulis oleh M. Anwar Djaelani. Mengupas bagaimana pendiri Muhammadiyah mempraktikkan kepedulian pada umat.
PWMU.CO – Bahwa kita harus peduli kepada sesama, itu telah jelas! Bahwa kita patut mendahulukan keperluan orang lain, itu sudah terang!
Tapi kadang, di tingkat praktik, kita masih sulit mewujudkannya dengan berbagai alasan. Di titik ini, semoga teladan KH Ahmad Dahlan—pendiri Muhammadiyah—berikut ini bisa turut menggugah semangat kepedulian kita.
Pelajaran Kiai Dahlan
Islam, lewat berbagai ajarannya, meminta kita peduli kepada sesama. Lihatlah misalnya, saat kita mengakhiri shalat dengan mengucapkan salam sambil menoleh ke arah kanan dan lalu ke kiri.
Di situ ada pesan simbolik, agar kita rajin menebarkan salam kepada lingkungan sekitar dan bahkan dunia. Terkait ini, salam bisa bermakna kasih sayang, kepedulian, dan hal-hal serupa itu.
Dalam ibadah puasa Ramadhan, pesannya terlihat gamblang. Misalnya, atas hikmah merasakan lapar dan haus, kita terkondisikan untuk memiliki empati kepada mereka yang kurang beruntung secara ekonomi dan lalu mudah tergerak membantunya. Begitu juga dengan hikmah di balik zakat, infak, sedekah, dan lain-lain.
Apa bentuk konkrit dari kepedulian kita? Bisa seperti ini: Bersedia mengorbankan apa saja yang kita miliki—semisal harta, tenaga, dan waktu- untuk kepentingan orang lain.
Kapan harus peduli sesama? Kita, sepatutnya menafkahkan harta di jalan Allah, baik di waktu lapang maupun sempit. Perhatikanlah ayat ini: “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan” (Ali-Imran 133-134).
Kisah Peduli Kiai Dahlan
Tentang peduli sesama, sekitar seratus tahun lalu, KH Ahmad Dahlan (1868-1923) telah aktif menghidup-hidupkannya. Pendiri Muhammadiyah ini sangat bersemangat mengajarkan dan sekaligus mengamalkan surat al-Maun.
Berikut ini terjemah ayat 1-3: “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin”.
Dalam kaitan ini, tersebutlah kisah. Bahwa, di pengajian rutin Subuh, Kiai Dahlan mengajarkan surat al-Maun berulang-ulang dan tak pindah ke surat yang lain. Intinya, Kiai Dahlan menghendaki masyarakat—terlebih murid-muridnya—memahami dan mempraktikkannya.
Kiai Dahlan lalu meminta murid-muridnya untuk mencari orang miskin di sekitar tempat tinggal mereka masing-masing. Jika mereka menemukan orang miskin dan anak yatim, agar dibawa pulang. Dimandikan (lengkap dengan sabun dan sikat gigi), diberi pakaian (dengan kualitas pakaian seperti yang biasa mereka pakai), diberi makan-minum, serta tempat tidur yang layak.
Selanjutnya, mari cermati keteladanan Kiai Dahlan di beberapa sisi. Pertama, kepedulian yang terkait dengan pengorbanan harta atau uang. Perhatikan contoh tentang Ahmad Dahlan dan gaji guru.
Di suatu hari, Kiai Dahlan akan melelang perabot rumah-tangganya ketika tak ada uang untuk membayar gaji guru di sekolahnya. Atas rencana itu, banyak sahabatnya yang tidak tega, lalu membeli barang-barang itu dengan harga jauh lebih mahal dari yang semestinya.
Contoh lain, soal Kiai Dahlan dan perkembangan dakwah. Kepedulian Kiai Dahlan kepada usaha memajukan Muhammadiyah—dengan berbagai amal usahanya—terlihat antara lain lewat cara dia menggali dana.
Untuk kepentingan Muhammadiyah, Kiai Dahlan pernah melelang hampir semua harta yang dimilikinya hingga tinggal tiga pasang pakaian, beberapa perkakas dapur, dan kursi tamu. Hasil lelang digunakan seluruhnya untuk kegiatan Muhammadiyah.
Cara Kiai Dahlan Hormati Tamu
Kedua, kepedulian dalam bentuk perhatian yang tulus dan maksimal. Simak contoh, fragmen Ahmad Dahlan dan pemberian terbaik. Pernah, seorang sahabat bertamu ke rumahnya. Setelah berbincang cukup lama, waktu shalat pun tiba. Tamu itu menyatakan pakaiannya terkena najis yang tentu tak bisa dipakai untuk shalat.
Kiai Dahlan lalu mengajak tamunya memilih sendiri pakaian yang disukainya di almari pakaiannya. Selang berapa waktu kemudian, si sahabat bermaksud akan mengembalikan pakaian yang dipinjam dulu. Tapi, ditolak oleh Kiai Dahlan dengan alasan bahwa pakaian itu sudah dihibahkan kepada si tamu tesebut.
Contoh lain, cara Ahmad Dahlan menyenangkan tamu. Di sebuah ketika, Kiai Dahlan menenerima tamu dari Ponorogo, membicarakan soal Muhammadiyah dan lain-lain. Setelah lama berbincang, sang tamu diajak makan bersama. Selesai makan, Kiai Dahlan kemudian mencuci tangan sang tamu dengan teko yang selalu tersedia di ruang tersebut.
Saat itu Kiai Dahlan berkata, bahwa tidak ada yang bisa dia lakukan untuk menghormati tamunya kecuali hanya dengan mencuci tangan si tamu tersebut.
Kiai Dahlan Peduli Pemuda
Ketiga, kepedulian atas kualitas perjalanan atau pengalaman hidup orang lain dan terutama anak muda.
Di sini ada contoh, bagaimana Kiai Dahlan peduli masa depan pemuda. Pada sebuah kesempatan memberi arahan kepada pemuda, Kiai Dahlan menyatakan Muhammadiyah sekarang ini lain dengan Muhammadiyah di masa yang akan datang.
Maka, beliau mendorong para pemuda untuk bersekolah dan menuntut ilmu pengetahuan di mana saja. Lalu, jadilah guru dan kembalilah ke Muhammadiyah. Jadilah Sarjana Hukum, insinyur, dan lain-lain, kemudian kembalilah kepada Muhammadiyah.
Contoh lain, bagaimana Kiai Dahlan memandang urgensi dokter perempuan. Pada suatu waktu, Kiai Dahlan membuka wawasan para pemudi, murid-muridnya.
“Apakah kamu tidak malu kalau auratmu sampai dilihat laki-laki? Mengapa kebanyakan dari kamu kalau sakit pergi ke dokter laki-laki? Terlebih lagi, di saat kamu melahirkan anak. Jika benar kamu malu, teruslah belajar. Jadilah dokter, sedemikian rupa bisa membantu sesama perempuan,” demikian nasihat Ahmad Dahlan.
Alhasil, semoga keseharian kita selalu bersikap peduli kepada sesama. Semoga kisah-kisah Kiai Dahlan ini bisa menginspirasi kita. Mari ikuti jalan KH Ahmad Dahlan. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.
Tulisan ini adalah versi online Buletin Umat Hanif edisi 39 Tahun ke-XXIV, 15 Mei 2020/22 Ramadhan 1441 H. Hanif versi cetak sejak 17 April 2020 tidak terbit karena pandemi Covid-19 masih membahayakan moblitas fisik.