Idul Fitri tanpa Hari Raya dan Sejatining Nur, kolom ditulis oleh Nur Cholis Huda, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur.
PWMU.CO – Hari raya kali ini akan kita lalui dengan parasaan sepi. Tak ada mudik yang gegap gempita. Tak ada kumpul-kumpul keluarga. Tak ada bersalaman sambil tersenyum dan saling memaafkan. Dan masih banyak tak ada lagi yang lain.
Hari raya bisa sepi. Tetapi Idul Fitri akan tetap semarak di dalam hati. Apakah hari raya dan Idul Fitri itu berbeda? Memang keduanya beda. Maka ketika 1 Syawal tiba terdapat empat kelompok.
Yaitu orang yang: pertama, berhari raya tertapi tidak ber-Idul Fitri. Kedua, berhari raya sekaligus ber-Idul Fitri. Ketiga, tidak berhari raya tetapi ber-Idul Fitri. Keempat, tidak berhari raya sekaligus tidak ber-Idul Fitri.
Makna Hari Raya dan Idul Fitri
Hari raya adalah hari besar. Hari libur. Bahkan diberi cuti beberapa hari. Setiap orang bisa berhari raya. Bisa menikmati hari libur itu. Setiap orang bisa bergembira. Orang yang berpuasa dengan baik bisa bergembira pada hari raya. Yang berpuasa setengah baik bisa berhari raya. Yang tidak berpuasa bisa berhari raya. Bahkan yang non-Muslim juga bisa berhari raya.
Para pedagang berhari raya dan bergembira karena dagangan mereka banyak laku. Ada yang bergembira dengan datang ke tempat hiburan dan tempat rekreasi. Arus mudik yang mengalir bagaikan air bah adalah bagian dari hari raya.
Ada yang mudik dengan niat bersilaturrahmi. Tetapi ada juga yang ingin membuktikan kepada orang-orang di kampung bahwa dirinya berhasil menaklukkan kota. Terbukti dengan materi dan kekayaan yang dibawa mudik. Kendaran, emas, pakaian mahal, dan lainnya. Semua itu bagian dari hari raya. Bukan bagian dari Idul Fitri.
Dua Makna Idul Fitri
Setiap orang bisa berhari raya. Tetapi tidak setiap orang bisa ber-Idul Fitri. Mengapa? Ada dua pendapat tentang asal kata Idul Fitri.
Pertama: Idul Fitri berasal dari kata Idul Futhur. Id artinya kembali. Futhur artinya sarapan atau makan pagi. Jadi Idul Fitri berasal dari kata Idul Futhur itu artinya kembali sarapan.
Mengapa dikatakan kembali sarapan? Karena hari-hari kemarin selama sebulan kita tidak sarapan atau makan pagi. Kita sedang berpuasa. Memasuki 1 Syawal kita kembali sarapan. Kita dilarang berpuasa. Maka disebut Idul Futhur yang kemudian menjadi Idul Fitri.
Tentu kalimat kembali sarapan itu hanya ditujukan kepada orang yang hari-hari kemarin berpuasa. Yang tidak berpuasa tidak perlu ada kalimat ‘kembali sarapan’. Setiap pagi mereka sudah sarapan. Sudah menghabiskan soto satu mangkok atau nasi rawon satu piring.
Jadi kata Idul Fitri yang bermakna kembali sarapan hanya untuk orang yang berpuasa. Yang tidak berpuasa tidak memerlukan seruan kembali sarapan. Tidak perlu Idul Futhur atau Idul Fitri.
Makna Ruhaniyah Idul Fitri
Selanjutnya ada yang berpendapat lebih ruhaniyah. Idul Fitri berasal dari Idul Fitrah. Id artinya kembali. Fitrah artinya bersih. Jadi Idul Fitri artinya kembali bersih. Dikatakan kembali bersih karena orang yang berpuasa dosa-dosa masa lalunya diampuni Allah. Maka ketika pada 1 Syawal, dia menjadi orang yang kembali bersih.
Tentu saja ini hanya bisa dicapai oleh orang yang berpuasa dengan penuh kesungguhan. Orang yang berpuasa sekadarnya, apalagi yang tidak berpuasa tidak bisa menjadi bersih. Artinya mereka tidak Idul Fitri. Mereka hanya berhari raya.
Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW, “Siapa saja yang berpuasa ramadan dengan iman dan ikhlas, maka diampuni baginya dosa-dosanya di masa lalu” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Mudah-mudahan kita termasuk orang yang berhari raya sekaligus ber-Idul Ftiri. Tentu dalam suasana wabah Corona, hari raya tidak bisa meriah seperti hari-hari normal. Jadi ada orang yang hanya dapat hari raya saja tanpa Idul Fitri. Ada orang yang dapat hari raya sekaligus dapat Idul Fitri.
Jujur Buah Puasa
Rasulullah SAW juga menegaskan syarat pertama yang harus dipenuhi orang berpuasa agar puasanya bernilai adalah bersikap jujur dalam hidupnya. Jujur adalah pintu utama dan pertama menuju kebaikan. Jika orang tidak jujur maka tidak ada kebaikan yang bisa dibangun.
Apakah yang bisa dilakukan di tengah kehidupan yang serba bohong dan curang? Tidak ada! Karena itu mari kita suburkan kejujuran dalam kehidupan kita. Tanpa kejujuran puasa kita menjadi sia-sia.
Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang tidak bisa meninggalkan bicara bohong dan tidak meninggalkan perbuatan curang serta berbuat bodoh, maka Allah tidak pedulikan orang itu meninggalkan makan dan minumnya (puasanya). (HR al-Bukhari dari Abu Hurairah).
Kelompok ketiga adalah orang yang ber-Idul Fitri tetapi tidak berhari raya. Mereka ini melaksanakan ibadah puasa dengan baik. Maka ketika 1 syawal dosa-dosanya diampuni Allah dan menjadi bersih kembali.
Namun kondisi wabah Corona menyebabkan dia tidak bisa menikmati hari raya. Dia dirumahkan. Kena PHK. Tidak bisa bekerja. Kehilangan sumber nafkah. Warung ditutup. Pasar ditutup. Dia masih mencari alternatif kegiatan yang bisa menjadi sumber nafkah. Dia ber-idul Fitri tetapi tidak sempat menikmati hari raya. Dia dalam keprihatinan terdampak wabah Corona.
Kelompok keempat: orang yang tidak berhari raya sekaligus tidak ber-Idul fitri. Mereka ini orang yang hidup semaunya sendiri. Acuh dengan apa saja. Acuh dengan ibadah. Acuh dengan lingkungan. Acuh dengan masyarakat. Acuh dengan keadaan sekitar. Hati mereka mati.
Filosofi Janur dan Kupat
Dalam tradisi Jawa, hari raya itu disimbulkan dengan kupat atau ketupat. Kupat itu makanan yang bahannya dari beras dan dibungkus dengan janur atau daun kelapa. Bukan dibungkus dengan daun pisang atu daun jati.
Janur kependekan dari sejatining nur. Cahaya yang sesungguhnya. Yaitu cahaya dari Tuhan. Orang yang selesai melakukan puasa mestinya hidupnya menjadi terang benderang karena dapat cahaya Ilahi. Dalam dirinya ada janur, sejatining nur.
Namun untuk mendapat sejatinung nur, harus melalui Kupat artinya laku papat. Melakukan empat hal. Yaitu lebar, lebur, luber, dan labur.
Pertama, lebar artinya selesai. Puasanya harus tuntas. Satu bulan. Al-Quran menyatakan: Wa litukmilul iddata. Hendaklah kalian menyempurnakan bilangan puasamu (satu bulan) (al-Baqarah 185). Tidak boleh puasa tabuh kendang. Artinya hari awal berpuasa, hari terakhir berpuasa. Tengahnya bolong. Itu tidak lebar.
Kedua, lebur. Yang lebur adalah kesalahannya. Perbuatan dosanya. Sudah hilang. Sudah dihancurkan. Sudah berhenti total. Tidak akan diulang lagi. Sudah taubatan nasuha. Bertobat yang sungguh-sungguh.
Ketiga, luber. Artinya melimpah. Yang luber adalah kebaikannya. Banyak sekali kebaikan yang dilakukan setelah ibadah puasa. Ibarat air dituangkan ke gelas, maka air itu meluber saking banyaknya sehingga gelas tidak cukup untuk menampungnya. Terjadi perubahan amal baik yang luar biasa.
Keempat, labur. Dinding atau tembok yang dicat ulang dalam bahasa jawa disebut dilabur. Tembok yang dilabur akan tampak cerah dan bersih. Demikian juga orang yang selesai berpuasa, hidupnya akan bersih. Wajahnya bercahaya. Optimis, gembira, berpikir positip. Tidak berwajah ruwet, nelongso, sambatan melulu.
Itulah orang yang mendapat janur, sejatining nur. Setelah kupat, mengadakan laku papat, melakukan empat hal. Lebar, lebur, luber dan labur. Apakah kita akan memperoleh janur? Sejatinung nur? Cahaya sejati dari Ilahi? Hanya kita yang tahu karena kita yang merasakan.
Memudarnya Tradisi Kupat
Dahulu anak gadis hampir wajib bisa membuat kupat. Sekarang membuat kupat dianggap ribet. Lebih baik beli jadi. Nanti di rumah tinggal mengisi beras dan direbus. Namun itupun masih dianggap ribet.
Maka lebih praktis beli yang sudah matengan. Nanti di rumah tinggal makan. Memang lebih praktis. Namun ada yang hilang. Mereka tidak lagi paham mengapa harus membuat kupat dari daun kelapa. Dari janur. Bukan dari daun pisang. Nilai filsafatnya yang hilang karena tidak paham.
Ada juga yang berpendapat kata kupat berasal dari kata kaffah. Berubah kuffah. Lalu menjadi kupat. Artinya sempurna. Maksudnya orang yang berpuasa Ramadhan kemudian diikuti puasa sunnah syawal enam hari, maka puasanya sempurna seperti puasa setahun penuh.
Di desa hari raya kupat atau kupatan itu diselenggarakan setelah selesai enam hari puasa Syawal. Pada hari ke delapan bulan Syawal mereka berkumpul di masjid sambil masing-masing membawa kupat. Tradisi itu sekarang hampir punah.
Selamat Idul Fitri. Taqabbalallhu minna wa minkum. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.