Pertama Jadi Imam Id, meski Dua Kali Khutbah adalah catatan Moh. Ernam, kontributor PWMU.CO asal Sidoarjo. Dia mengunggah rasa bahagianya saat berlebaran di rumah.
PWMU.CO – Menjadi khatib shalat Idul Fitri bagi saya sudah biasa. Saya sudah dua kali jadi khatib. Itupun karena orang kampung saya yang ngeyel minta saya jadi khatib tanpa bertanya, ‘Apa saya bisa jadi khatib atau tidak. Atau apa saya bisa khutbah apa tidak?”
Secara halus sudah saya tolak, tapi mereka tetap memaksa agar saya jadi khatib. Saya pun menyerah. Dari pada berdebat lebih baik saya latihan khutbah saja. Selain itu saya tidak pernah khutbah Idul Fitri maupun Idul Adha. Tentu saja khatib di kampung saya tak ada amplopnya. He-he-he …
Ahad (24/5/20) pagi, saya bangun agak siang. Selepas shalat lail yang dilanjutkan Subuhan, saya kembali tidur. Maklum, ada kebiasaan baru selama Ramadhan: tidur setelah ngaji dan shalat Subuh.
Anak-anak sudah siap, mereka sudah mandi dan siap melaksanakan shalat Id. Tentu saja di rumah. Walau hanya berempat, kami akan melaksanakan shalat Id di rumah. Sama seperti shalat-shaat sebelumnya yang kami laksanakan di rumah selama pandemi ini.
Masjid perumahan masih takbir, belum mulai shalat. Saya bergegas mandi, ganti baju terbaik saat anak-anak mulai takbir. Ketika semua siap, saya memimpin shalat. Jadi Imam. Jujur, walau pernah dua kali jadi khatib shalat Id, saya belum pernah berstatus imam. Ini pengalaman pertama kalinya.
Setelah takbiratul ihram, dilanjutkan takbir tujuh kali, saya membaca surat al-A’la di rakaat pertama. Setelah lima kali takbir, saya membaca surat ad-Dhuha di rakaat kedua. Tak memilih surat panjang, karena takut diprotes sama jamaah. Ini diplomatisnya orang yang tidak banyak hafalannya.
Selesai shalat saya tampil khutbah. Tak ada persiapan khusus untuk khutbah ini. Banyak postingan khutbah yang saya koleksi, tapi belum satupun saya baca.
Pesan Khutbah
Selesai mukadimah dan takbir, saya hanya berpesan agar tetap bersyukur. Pertama, bersyukur karena dalam situasi pandemi bisa melaksanakan puasa, qiyamu Ramadhan, tadarus, dan iktikaf.
Allah memberikan kemudahan dalam kondisi kesulitan. Inna ma’al ‘usri yusra, fainna maal ‘usri yusra. Melaksanakan semua kegiatan di rumah tanpa pernah ke masjid. Rumah betul-betul disinari shalat dan membaca al-Quran, nawwiru buyutakum bissholah watilawatil Quran.
Kedua, bersyukur karena diberi kecukupan rezeki berupa bahan makanan. Selama Ramadhan tak ada kekurangan bahan makanan untuk sahur dan buka.
Kami betul-betul merasakan kenikmatan sahur dan berbuka di rumah walau sangat sederhana. Biasanya Ramadhan sebelumnya kami sibuk mengurus takjil di masjid.
Bahkan sepuluh hari terakhir Ramadhan kami iktikaf dan sahur di masjid pula. Kini kami betul-betul menikmati sahur dan berbuka di rumah dengan sangat sederhana. Tak ada buka bersama di rumah makan sebagaimana biasanya kami lakukan.
Ketiga, bersyukur berarti siap menjaga dan istikamah untuk melaksanakan latihan selama Ramadhan pada sebelas bulan berikutnya. Menjaga qiyamu lail, menjaga tadarus, melanjutkan puasa sunnah dalam setahun ke depan.
Khutbah diakhiri dengan doa yang meminta pengampunan, keselamatan, kesehatan, kesabaran, kekuatan, serta dijauhkan dari fitnah dan cobaan. Kemudian ditutup salam.
Seusai takbir, saya video call orangtua di rumah, sanak kerabat, serta sahabat. Tahun ini saya tidak mudik, karena selain tak ada mudik gratis, saya mencoba melaksanakan anjuran agar tidak mudik demi memutus mata rantai penyebaran Covid-19.
Semoga Allah melindungi kita dan mempertemukan dengan Idul Fitri tahun depan. Menikmati fitrinya lebaran. Taqabbalallahu minna waminkum. (*)
Co-Editor Darul Setiawan. Editor Mohammad Nurfatoni.