Ahmad Dahlan Aktivis sejak Kecil yang Rapi, kolom oleh M Anwar Djaelani, aktivis dakwah tinggal di Sidoarjo.
PWMU.CO – KH Ahmad Dahlan itu aktivis, bahkan sejak kanak-kanak. Di masa kecilnya, dia cukup berpengaruh di kalangan kawan-kawannya. Di masa yang tergolong remaja, aktivitas dakwahnya sudah padat. Tentu, jangan ditanya lagi, seperti apa jadwal kegiatannya setelah Muhammadiyah dia dirikan pada 1912.
Bergerak dan Bergerak
Ahmad Dahlan (1868-1923) orang pergerakan tulen. Hidupnya penuh dengan berbagai aktivitas yang sangat bermakna. Bermakna bagi perbaikan di sisi kemasyarakatan dan di aspek keagamaan.
Sebelum Muhammadiyah berdiri, Ahmad Dahlan telah melakukan berbagai kegiatan keagamaan dan dakwah. Pada 1906, misalnya, beliau diangkat sebagai Khatib Masjid Besar Yogyakarta.
Pada 1907 Ahmad Dahlan memelopori Musyawarah Alim Ulama. Di rapat pertamanya, Ahmad Dahlan menyampaikan pendapat—sesuai ilmu falak yang dikuasainya—bahwa arah kiblat dari Masjid Besar Yogyakarta kurang tepat. Pendapat ini lalu mendorong murid-muridnya berinisiatif untuk melakukan pembenahan posisi garis shaf di masjid itu, sedikit digeser agak ke kanan dari yang sebelumnya.
Pada 1909 Ahmad Dahlan bergabung dengan Budi Utomo. Tujuannya antara lain untuk menyalurkan semangat kebangsaan. Juga, untuk memperlancar aktivitas dakwah dan pendidikan Islam yang dilakukannya.
Ketika kemudian Muhammadiyah berdiri pada 1912, hubungan Ahmad Dahlan dengan Budi Utomo tetap erat. Misal, Kongres Budi Utomo pada 1917 diselenggarakan di rumah Ahmad Dahlan. Di sisi lain, dr Soetomo—pendiri Budi Utomo—juga banyak terlibat dalam kegiatan-kegiatan Muhammadiyah dan bahkan beliau ditetapkan sebagai penasihat Muhammadiyah.
Beragam Kegiatan Dakwah
Keanggotaan Ahmad Dahlan di Budi Utomo memberikan kesempatan baginya untuk berdakwah lewat organisasi itu. Maka, Ahmad Dahlan-pun punya kesempatan untuk mengajarkan Islam kepada siswa-siswa yang belajar di berbagai sekolah Belanda seperti Kweeck School (Sekolah Raja) di Jetis Yogyakarta setiap Sabtu dan Ahad. Juga, di Opleiding School Voor Inlandsch Amtenaren (OSVIA) atau Sekolah Pamong Praja di Magelang.
Kegiatan dakwah kepada anggota-anggota Budi Utomo juga sering dilakukan di rumah Ahmad Dahlan di Kauman Yogyakarta. Pada 1914, Suara Muhammadiyah—sebuah media berkala—mulai hadir dalam bahasa dan tulisan Jawa (sementara, versi lain menyebut bahwa Suara Muhammadiyah mulai terbit pada 1920). Adapun Pemimpin Redaksi-nya—di awal—adalah KH Fachruddin. Sementara, KH Ahmad Dahlan sebagai Staf Redaksi (Munir Mulkhan, 2005: 17-18).
Pada 1917 Ahmad Dahlan mendirikan Pengajian Malam Jumat sebagai forum dialog warga Muhammadiyah dan anggota masyarakat yang bersimpati. Dari forum ini terbentuk Korps Mubaligh Keliling dan satuan kerjanya.
Korps Mubaligh Keliling bertugas menyantuni dan memperbaiki kehidupan yatim piatu, fakir miskin, dan orang-orang yang sedang ditimpa musibah. Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah terus bergerak.
Pada 1918 didirikanlah organisasi kepanduan bernama Hizbul Wathan (HW). Jenderal Sudirman termasuk pernah menjadi anggota organisasi kepanduan ini.
Masih pada 1918, didirikanlah sekolah yang diberi nama Al-Qism Al-Arqa. Lalu, pada 1920 sekolah ini mendirikan Pondok Muhammadiyah di Kauman Yogyakarta.
Pada 1921 didirikan Penolong Haji, sebuah badan yang membantu kemudahan pelaksanaan ibadah haji. Juga, pada 1921, didirikan mushalla—tempat shalat—khusus untuk wanita.
Surat dan Jejak Dakwah Ahmad Dahlan
Jejak dakwah Ahmad Dahlan bisa juga dilacak dari surat-surat yang dibuatnya pada 1920-an. Dari kegiatannya, baik di Muhammadiyah maupun di tengah-tengah masyarakat, terlihat bahwa banyak anggota atau kelompok masyarakat yang berhubungan dengan Ahmad Dahlan.
Ada surat yang ditulis pada pertengahan Oktober 1921 kepada sahabatnya di Solo. Isinya, mengabarkan bahwa Ahmad Dahlan beserta rombongan akan berkunjung untuk berceramah—atas permintaan jamaah—ke Wonogiri.
Ahmad Dahlan menyatakan, ia akan datang di Solo pukul 10 pagi dengan kereta api. Lewat suratnya itu pula, Ahmad Dahlan meminta bantuan si teman untuk disewakan mobil yang akan dipergunakannya ke Wonogiri. Malam hari usai ceramah, masih di surat yang sama, ia menyatakan akan langsung kembali ke Solo dan lanjut ke Yogyakarta.
Surat-surat yang lain, misalnya merekam adanya berbagai sumbangan yang masuk ke Muhammadiyah. Untuk itu melalui suratnya, Ahmad Dahlan mengungkap rasa bahagianya dan menyampaikan terima kasih. Tercatat, antara lain, ada yang memberi sebuah bendi (dokar) dan ada pula yang berupa seekor kuda.
Di saat membaca surat-surat Ahmad Dahlan itu, bisa saja terbit kesan tentang: pertama, kerapian si penulisnya (misal, rapi merencanakan dan mengarsip kegiatan). Kedua, kualitas intelektual si penulis. Diketahui, surat-surat itu umumnya mempergunakan tiga bahasa yaitu Jawa, Melayu, dan Belanda.
Bukti Kerapian Performa Fisik Ahmad Dahlan
Sekarang, kita seksamai kerapian Ahmad Dahlan dalam hal performa fisik. Berikut ini profil Ahmad Dahlan, sebagaimana yang dideskripsikan oleh Djarnawi Hadikusuma. Siapa Djarnawi?
Djarnawi Hadikusuma lahir pada 4 Juli 1920. Artinya, saat KH Ahmad Dahlan wafat pada 1923, dia baru berumur tiga tahun. Di usia seperti itu, rasanya dia tak akan bisa mengingat seperti apa profil dari Sang Pendiri Muhammadiyah.
Tapi, deskripsinya tentang profil Ahmad Dahlan patut kita percaya karena dia adalah putra Ki Bagus Hadikusuma (1890-1954), salah seorang murid terdekat KH Ahmad Dahlan. Sementara, saat Djarnawi Hadikusuma bersekolah di Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta, dia adalah murid dari—antara lain—KH Mas Mansur (1896-1946), Farid Ma’ruf (1908-1976), dan H Abdul Kahar Mudzakkir (1908-1973). Juga, murid dari KH Siradj Dahlan yang tak lain adalah putra Ahmad Dahlan.
Jadi, jika melihat nama-nama itu—semua adalah orang dekat Ahmad Dahlan—maka mudah dibayangkan jika deskripsi dari Djarnawi Hadikusuma berikut ini cukup valid. Hal lain, Djarnawi Hadikusuma wafat pada 26 Oktober 1993.
Profil KH Ahmad Dahlan
Berikut ini profil KH Ahmad Dahlan. Lelaki ini berperawakan kurus dan agak tinggi. Raut mukanya bulat telur dan kulitnya hitam manis. Hidungnya mancung dengan bentuk bibir yang elok. Kumis dan janggutnya rapi.
Kacamata selalu melekat di depan matanya yang tenang dan dalam. Pandangan matanya lembut tetapi menembus hati siapa yang dipandangnya. Cahaya matanya memancarkan kasih sayang dan keikhlasan yang tiada taranya. Sinar matanya yang terang menandakan kedalaman ilmunya, terutama dalam bidang tasawuf.
Gerak-geriknya lamban tapi pasti dan terarah. Seolah-olah tiap gerak telah dipikirkan masak-masak. Gelembung di bawah kedua matanya, lanjut Djarnawi, menandakan bahwa Ahmad Dahlan kurang tidur malam. Hal yang demikian itu, karena beliau asyik membaca atau berfikir serta berdzikir kepada Allah.
Dalam hal berpakaian, masih tutur Djarnawi, sangat sederhana namun bersih. Beliau suka bersarung palikat yang dililitkan agak tinggi di atas mata kaki. Kerap mengenakan baju jas tutup berwarna putih. Kepalanya berlilitkan surban yang serasi letaknya. Kesemuanya itu menggambarkan sebuah pribadi manusia takwa kepada Allah, yang serba teliti dan hati-hati dalam setiap perkataan dan langkahnya (2010: 3-4).
Alhamdulillah! Di hadapan kita telah tampil sesosok figur yang sungguh patut untuk diteladani. Benar, KH Ahmad Dahlan adalah seorang aktivis pendakwah yang tak kenal lelah. Meski usianya relatif pendek—wafat pada usia 55 tahun—tapi jejak keteladanannya sangat panjang. Di antaranya, KH Ahmad Dahlan itu rapi dalam beraktivitas dan rapi dalam berpenampilan. (*)
Co-Editor Ria Pusvita Sari. Editor Mohammad Nurfatoni.
Tulisan ini adalah versi online Buletin Umat Hanif edisi 41 Tahun ke-XXIV, 29 Mei 2020/6 Syawal 1441 H. Hanif versi cetak sejak 17 April 2020 tidak terbit karena pandemi Covid-19 masih membahayakan moblitas fisik.