PWMU.CO-Ahmad Syafi’i Ma’arif menyambut kami, rombongan demonstran dari Universitas Muhammadiyah Jember, dengan sumringah dan semangat di kampus IKIP Negeri Yogyakarta. Waktu itu Buya Syafi’i masih aktif mengajar di kampus ini.
”Silakan kalian demo tiap hari. Tapi jaga itu aset kampus. Jangan sedikit pun dirusak atau dibakar ya,” kata Buya Syafi’i yang saat itu menjabat Wakil Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Itu kejadian 26 tahun yang lalu. Tahun 1994. Saat itu kami melaporkan konflik di kampus antara ketua yayasan dengan segenap dosen dan mahasiswa. Buya Syafi’i menerima kami seperti sedang membimbing mahasiswanya sendiri.
Bertanya langsung to the point akar masalahnya. Tanpa sungkan meminta penjelasan lebih detail persoalan yang mendera kampus kami.
Dia mengatakan sangat respek dengan inisiatif kami yang membawa aspirasi objektif untuk meminta dukungan menyelesaikan. Ketika pulang ke Jember, moral dan harapan aktivis mahasiswa bangkit kembali.
Bahkan, di kalangan dosen dan karyawan ikut kembali bersemangat, menaruh harapan adanya perubahan kebijakan atas penanganan konflik yang telah terjadi di kampus kami.
Tanpa Basa-Basi
Sikap Buya Syafi’i itu begitu berenergi. Spontan mendukung aksi kami tanpa basa-basi. Kami merasakan beda dengan sikap Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang lain. Hanya menanggapi datar. Sekadar mendengar dan meminta kami bersabar.
Hingga Muktamar Muhammadiyah di Banda Aceh tahun 1995, masalah kampus kami tidak kunjung usai. Kami menaruh harapan Buya Syafii yang bakal terpilih sebagai ketua baru. Tapi angin perubahan saat itu mengarah kepada Amien Rais yang memang sedang moncer namanya. Dia meraih suara mutlak dari muktamirin.
Beberapa kawan aktivis AMM di Malang, usai reformasi 1998, menilai sosok Syafi’i Ma’arif mungkin lebih tepat menjadi pilihan memimpin Partai Amanat Nasional (PAN). Pak Amien jadi Dewan Pembina.
Saya membayangkan andai saja Buya Syafi’i saat itu bersedia memilih jalan sebagai seorang politisi, mungkin kita akan memiliki varian karakter lain dari politisi yang dilahirkan oleh Muhammadiyah.
Buya Syafi’i, menurut saya, cerminan politisi yang berkepribadian. Politisi yang selalu meletakkan moral kemanusiaan di atas semua kepentingan politiknya.
Saya meyakini Buya Syafi’i yang galaknya sama dengan Pak Amien akan mampu mewarnai pentas politik kebangsaan dan kenegaraan dengan cemerlang. Namun Buya Syafii memilih jalan yang relatif sunyi. Jalan sunyi dan sepi yang ditempuhnya, justru mengantarkan Buya tampil menjadi Guru Bangsa.
Hari ini Buya Syafi’i menginjak usia 85 tahun. Sudah panjang tapak jalan yang dibuat. Semoga berkah terus meniti langkah hingga ke ujung usia. (*)
Penulis Qosdus Sabil Editor Sugeng Purwanto