Barnes & Noble, Legenda Toko Buku yang Belum Selesai ditulis oleh Ady Amar, penikmat buku dan owner Risalah Gusti Surabaya.
PWMU.CO – Inilah toko buku tertua di dunia yang tetap “mengkilap” tiada tanding dan banding. Kenapa saya sebut mengkilap? Karena jaringan toko bukunya selalu mewah menawan, dengan space area yang luas.
Didirikan tahun 1873—147 tahun lalu—sebagai toko buku bernama Arthur Hinds & Company. Arthur Hinds pemiliknya, kala itu merekrut anak muda lulusan Harvard University, bernama Gilbert Clifford Noble.
Karena usahanya berkembang, maka Noble diberi saham. Tidak lagi sebagai karyawan, tapi juga pemilik. Dan jadilah nama toko itu berubah menjadi Hinds & Noble (1894). Lalu lambat laun, justru Noble lah yang mengakuisisi saham Arthur Hinds itu. Dari karyawan biasa menjadi pemilik tunggal. Wow!
Selanjutnya dalam perjalanannya, Noble mengajak joint anak dari Charles M. Barnes, kawan lamanya, bernama William Barnes. Eh malah sang ayah kepincut, lalu turut pula bergabung. Sebelumnya, Charles M. Barnes adalah pengusaha percetakan. Dijual percetakannya untuk memperkuat bisnis anak dan kawan lamanya itu.
Maka kepemilikannya menjadi ayah-anak, Charles M. Barnes-William Barnes dan Gilbert Clifford Noble.
Di tahun 1932, didirikan toko pertamanya Barnes & Noble Booksellers di kawasan elit Manhattan, New York. Hanya satu toko yang dimiliki. Sampai di tahun 1971, masuklah Leonard Riggio menguasai saham mayoritas.
Meski sahamnya terbesar, ia tidak mengubah nama toko itu dengan namanya ikut terpampang. Baginya tidak perlu namanya tampil, yang penting dialah penguasa sesungguhnya yang bisa menjadikan Barnes & Noble menjadi sesuatu sesuai keinginannya.
Bergabungnya “Ted Turner”
Siapa sih sebenarnya Leonard Riggio itu? Dialah mahasiswa di New York University (UNY), yang bekerja paruh waktu di toko buku kampusnya sebagai krani.
Beberapa tahun bekerja di sana, dia nekad memutuskan untuk putus kuliah dan membuka toko sendiri dengan bermodalkan hanya $ 5.000 hasil menabung sekian lama. Tekadnya, “Aku yakin bisa lebih hebat dari Bosku.” Dan memang usahanya berkembang pesat, lalu dia buka 4 toko buku lagi di kampus-kampus seputaran New York City. Nama tokonya SBX (Student Book Exchange).
Kesuksesannya menjadi tak terbendung bagai air bah dengan mengakuisisi banyak toko buku yang collaps dan setengah collaps, dan membuka jaringan toko buku di mal-mal. Sampai waktunya dia meyakinkan pihak bank meminjam $ 1,2 juta untuk “mencaplok” idaman utamanya Barnes & Noble Booksellers.
Leonard Riggio menjadi tokoh kontroversial. dia dijuluki “Ted Turner” dari dunia buku. Tahu Ted Turner, kan? Ya benar, pemilik CNN.
Riggio dianggap salah satu pengusaha toko buku retail yang memahami, bahwa toko buku itu bagai panggung pertunjukan. Sedang buku-buku yang tertata rapi di rak-rak adalah teater yang memukau.
Riggio menyulap toko bukunya menjadi menyenangkan. Rak-rak buku yang mentereng di mana buku-buku tertata rapi. Mengundang kemewahan tersendiri. Tak lupa dia mengundang Starbucks Coffee di area dalam tokonya, sehingga yang datang ke toko bukunya tidak semata membeli buku, tapi juga bisa sejenak rileks sambil nyeruput kopi.
Menjual lebih dari sekadar buku, itu prinsipnya. Riggio ingin membangun image perusahaan. Dan itu berhasil.
Sejak Riggio bergabung di tahun 1971, jaringan tokonya meraksasa. Lebih kurang 800 toko buku di 50 negara bagian (AS), dan sekitar 627 toko buku kampus, yang melayani lebih dari 5 juta mahasiswa.
Di toko bukunya, sekitar 1 juta judul buku dijual setiap tahunnya. Dan 4,5 juta e-book tersedia untuk dijual. Lebih mencengangkan lagi, setiap tahunnya jaringan toko buku ritel dan online Barnes & Noble menjual buku sebanyak 190 juta eksemplar. Fantastis.
Hebatnya lagi, Barnes & Noble melayani 600 komunitas di 50 negara bagian di Amerika Serikat. Jika saja satu komunitas itu berjumlah rata-rata 10.000 orang, maka silakan hitung sendiri berapa jumlah orang yang dilayani dari komunitas yang ada.
Empat dekade usia keemasan Barnes & Noble, sejak 1971 berevolusi menjadi raksasa tak tertandingi. Menjadi bukan saja bookstore, tapi superstore.
Tahun 1990 itu puncak-puncaknya Barnes & Noble mengepakkan sayapnya. Karenanya mendapat julukan tidak mengenakkan, “raksasa korporat paling rakus”.
Tak ada kesempatan bagi pesaing, semuanya dilibas habis. Sebenarnya bukan benar-benar pesaing, karena tidak selevel dengannya. Melibas toko-toko buku kecil dan menengah, dengan cara memberi potongan harga tidak kecil pada konsumen justru pada buku-buku best seller.
Dan itu sulit bisa diikuti “pesaingnya”. Dia menuliskan dalam iklan pada brosur katalog yang dibuatnya, “Jika Anda Membayar Harga Penuh, Anda Tidak Mendapatkannya di Barnes & Noble”. Maknanya, semua yang dibeli mendapat potongan harga.
Di sisi yang lain—sisi baiknya—Riggio seorang filantropis dengan mendirikan Riggio Foundation. Dia membantu penduduk New Orleans, Louisiana, saat dilanda badai katrina, 2015, dengan mendirikan Home Again. Tidak kurang $ 20 juta, ia keluarkan untuk pendanaannya. Riggio dianggap sebagai dermawan dari banyak organisasi amal kemasyarakatan.
Kepak Raksasa yang Terhenti
Namun waktu berbicara lain. Dalam beberapa tahun ini, Barnes & Noble tidak mampu mengepakkan sayapnya lebih tinggi lagi, karena era sudah berganti. Pesaing utamanya perintis toko buku online Amazon.com meluluhlantakkan dengan penjualan buku via online yang meraksasa. Meskipun Riggio lalu membuat barnesandnoble.com tapi semuanya sudah terlambat.
Maka, langkah harus diambil dengan cepat, menutup 150 lebih toko bukunya dan menyisakan 627 toko lagi.
Tentu penerbit dan agen besar yang memasok buku di Barnes & Noble, ikut cemas dengan masa depan toko buku itu.
Caroline Reidy, CEO Simon & Schuster, dengan penuh haru menyatakan, “Hilangnya Barnes & Noble merupakan bencana besar bagi industri perbukuan.”
Simon & Schuster adalah salah satu penerbit besar di Amerika. Pantas merasakan kepiluan itu. Karena sekian lama perusahaan penerbitannya, dan penerbit-penerbit lainnya telah mengenyam keuntungan kerja sama yang baik.
Seluruh penerbit dan pemasok yang bekerja sama dengan Barnes & Noble diperlakukan sama. Karena Barnes & Noble hanya sebagai pihak penjual, tidak ikut memproduksi buku lalu memasarkan di jaringan ritel tokonya. Barnes & Noble hanya bermain di hilir, sedang hulunya itu adalah pihak penerbit dan agen-agen besar.
Amerika yang menganut faham ekonomi liberal pun masih memiliki aturan yang memisahkan antara hulu dan hilir. Jika anda penerbit, maka otomatis tidak diperkenankan membuka toko/gerai buku, begitu pula sebaliknya. Sebesar apa pun Barnes & Noble, tetap tidak diperkenankan membuka usaha penerbitan. Itu diatur dalam Undang-undang Cross Ownership Act, dan atau juga larangan vertical integration atau dikenal juga sebagai vertical conglomeration.
Di negara kita, perdagangan dibuat sebebas-bebasnya: boleh menggarap hulu (penerbit) sekaligus hilir (toko buku). Ada yang salah dengan kebijakan perbukuan khususnya, dan ini tampaknya sulit untuk “dikoreksi” oleh kebijakan susulan yang seharusnya.
Elliot Advisor dewa penyelamat
Bencana jaringan toko buku ritel Barnes & Noble ini juga dialami oleh raksasa jaringan toko buku ritel Inggris, Waterstone, yang juga “megap-megap” menghadapi bisnis buku via online. Waterstone memiliki 280 toko ritel, tidak cuma di Inggris tapi juga di Irlandia, Belanda, dan beberapa negara Eropa lainnya.
Adalah Elliot Advisor, sebuah perusahaan pendanaan, yang akhirnya mengambil alih Waterstone pada Juni 2018. Terjadilah restrukturisasi dalam manajemennya, dan setelah setahun dipegangnya sudah tampak menuju tren positif.
Bagaimana dengan Barnes & Noble? Terjadi rumor bahkan spekulasi sejak awal Januari 2019, bhw Elliot Advisor akan mengakuisisi Barnes & Noble. Berita masih simpang siur, sampai Juni 2019 berita itu menjadi kenyataan, dimana setahun tepat saat Elliot di bulan yang sama, Juni 2018, mengakuisisi Waterstones.
Barnes & Noble Booksellers dihargai $ 638 juta. Nilai yang sebenarnya sangat rendah untuk asset dan nama besar Barnes & Noble Booksellers.
Tidak ada pilihan lain, jika tidak ingin Barnes & Noble makin terpuruk, yang menyebabkan sahamnya meluncur jatuh.
Namun demikian, spekulasi yang benrkembang selama berbulan-bulan, itu membuat situasi tidak menentu. Dan ini membuat penerbit khususnya berdebar penuh kekhawatiran akan kemungkinan runtuhnya jaringan toko buku terbesar dalam sejarah dan paling “menyakitkan” dalam periode panjangnya.
Akhirnya, penjualan Barnes & Noble Booksellers disetujui bulat oleh para pemegang saham. Dan, Leonard Riggio, pemegang saham terbesar, dalam rilisnya menyatakan, “… Saya percaya bahwa mereka– Elliot Advisor– secara spesifik mampu membesarkan Barnes & Noble dalam kurun waktu yang panjang.”
Elliot Advisor, lalu menunjuk James Daunt, pahlawan yang dianggap sebagai penyelamat Waterstones dari kebangkrutan, untuk menakhkodai Barnes & Noble. Daunt langsung terbang berkantor di New York.
Ada nada optimis dari Daunt, yang berujar, “Berinvestasi di toko akan terbayar pada waktunya… Gelombang hanya berlangsung dalam satu waktu, saatnya kita akan mampu membaliknya.”
Tentu tangan dingin Daunt, setelah Barnes & Noble Booksellers direvitalisasi, ditambah adanya tanda-tanda menggembirakan, bahwa bisnis cetak mengalami reborn, dan kecenderungan akhir-akhir ini konsumen mulai tampak mendatangi toko buku. Karenanya, kisah Barnes & Noble Booksellers, memang belum tamat. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.