Raja-Raja Kecil (Meng)AUM ditulis oleh Mohammad Nurfatoni, Pemimpin Redaksi PWMU.CO; Anggota Divisi Sosialisasi dan Pengawalan Kebijakan MCCC Jatim.
PWMU.CO – Istilah raja-raja kecil kembali mencuat saat Menteri BUMN Erick Thohir meminta PT Pertamina (Persero) merampingkan ‘anak’ dan ‘cucu’ usahanya.
Erick menyoroti ada 12 anak usaha di sektor hulu yang perlu dirampingkan sehingga produksi minyak bisa terus meningkat. Menurutnya perampingan anak usaha bisa membuat kekuasaan Pertamina sebagai induk usaha lebih kuat.
“Saya pastikan tidak ada lagi raja-raja kecil di Pertamina. Kemarin saja saya setop itu, ada anak perusahaan memaksa mengadakan RUPS sebelum holding-nya ini kan lucu, mestinya kan induknya dulu,” ujarnya, seperti dikutip inews.id, Jumat (16/5/2020).
Pendiri Mahaka Group itu ingin seluruh unit usaha dapat bergerak dalam satu komando. Sebab selama ini, ada ‘raja-raja kecil’ yang punya kebijakan sendiri di luar komando ‘raja besar’ perusahaan induk.
Raja-Raja Kecil Otonomi Daerah
Sebelum Erick berbicara soal raja-raja kecil, ruang publik Indonesia juga pernah diramaikan oleh istilah yang sama. Pascareformasi dan amandemen UUD 1945 lahirlah raja-raja kecil. Di antaranya melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang memberi ruang otonomi yang besar ke daerah.
Maka lahir sejumlah perda yang bertentangan dengan kebijakan pusat. Ada pula gubernur berlagak presiden. Begitu juga bupati atau walikota yang berseberangan dengan gubernur dan presiden.
Salah satu yang menjadi alat ‘pembangkang’ kebijakan di atasnya, karena mereka merasa dipilih langsung oleh rakyat melalui pilkada. Maka tak heran ada gubernur yang menolak melantik sekda yang sudah mendapat surat keputusan presiden. Atau walikota yang berseberangan dengan menteri.
Intinya, banyak daerah yang seolah bisa memilih jalan masing-masing karena memiliki otonomi kuasa pemerintahan sendiri. Tak peduli itu berbeda dengan pemerintah pusat atau tidak.
Pemerintah daerah—dalam hal tertentu bersama DPRD—seakan-akan jadi raja-raja kecil yang memiliki kuasa berlebih dan seperti tidak mau diintervensi pusat.
Raja-Raja Kecil AUM
Pandemi Covid-19—diakui atau tidak—ternyata juga melahirkan raja-raja kecil di lingkungan Muhammadiyah.
Saat Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah mengeluarkan maklumat atau surat edaran, beberapa daerah, cabang, ranting, dan amal usaha Muhammadiyah (AUM) tidak menaatinya.
Maklumat akhirnya seperti kertas ompong. Instruksi ibadah di rumah—shalat rawatib dan Jumatan misalnya—dilawan dengan tetap membuka masjid. Kebijakan shalat Idul Fitri di rumah juga tak dihiraukan dengan tetap menggelar shalat di lapangan atau masjid.
Dalam kasus ini, ketua takmir masjid seperti raja-raja kecil. Dia tak lagi mengikuti ‘titah raja besar’ PP Muhammadiyah. Berbagai alasan dikemukakan. Tapi semakin banyak alasan, semakin memperlihatkan mereka tidak bisa menangkap ruh menjaga keselamatan jiwa yang menjadi inti komando PP Muhammadiyah di tengah krisis Covid-19.
Fenomena banyaknya takmir masjid yang membandel itu pernah menginspirasi seorang Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) membuat usulan agar ke depan ketua takmir masjid diseleksi sebagaimana diberlakukan di AUM pendidikan: sekolah atau madrasah.
Sayangnya di tengah kurva Covid-19 yang belum mereda ini, kepala sekolah yang dicontohkan secara ideal itu, justru kini juga menjadi raja-raja kecil.
Terang-terangan atau sembunyi-sembunyi beberapa sekolah tidak mengindahkan, misalnya, kebijakan dilarang menghadirkan siswa ke sekolah. Beberapa sekolah melakukan wisuda atau pengambilan rapor secara tatap muka di sekolah.
Pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang sudah diputuskan oleh Majelis Dikdasmen PWM Jatim pun—yang tentu juga mengacu pada PP Muhammadiyah dan atau Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud)—diabaikan.
Menurut informasi, mereka (akan) tetap menghadirkan siswa di sekolah pada tahun ajaran 2020-2021. Padahal lokasinya bukan di zona hijau alias kawasan aman dari Covid-19 sesuai rekomendasi Kemdikbud.
Fenomena lain, beberapa sekolah yang sudah menyiapkan PJJ tapi masih abai dengan keselamatan guru dan karyawan. Mereka tetap menghadirkan guru dan atau karyawan untuk kegiatan tatap muka atau piket di sekolah dalam jumlah puluhan.
Sebuah Ironi
Padahal sebenarnya itu semua bisa disiasati. Workshop PJJ misalnya sangat bisa dilakukan secara online. Bahkan sebuah ironi jika pelatihan untuk menyiapkan PJJ dilakukan guru dengan tatap muka. Seolah guru tidak mau bersusah payah merasakan bagaimana menerima pelajaran secara online seperti yang dialami muridnya.
Protokol kesehatan yang sering dijadikan dasar untuk melakukan pertemuan tatap muka tidak boleh begitu saja dipercaya. Sebab dalam banyak kasus, penerapannya tidak sesuai janji-janji. Di lapangan protokol kesehatan itu perlu wasit atau pengawas.
Ini tentu memprihatinkan. Sebab, persoalannya bukan sekadar munculnya raja-raja kecil seperti kasus di BUMN atau daerah yang urusannya bukan soal nyawa. Raja-raja kecil di Muhammadiyah ini berkaitan dengan nyawa.
Kebijakan PP Muhammadiyah yang sangat hati-hati dalam menjaga keselamatan jiwa warganya tidak diikuti dengan langkah-langkah serupa di tingkat bawah. Tapi malah ditelikung dengan membuat kebijakan sendiri yang mengabaikan keselamatan dan kesehatan warga sekolah.
Kepedulian Bersama
Agar berbagai surat edaran dari PP Muhammadiyah, termasuk dari Majelis Dikdasmen, tidak menjadi kertas ompong, maka diperlukan langkah-langkah serius.
Majelis Tabligh (untuk masjid) dan Majelis Dikdasmen (untuk sekolah) di level terbawah harus peduli dan ikut mengamankan kebijakan ‘mengutamakan keselamatan dan kesehatan’ langsung ke AUM masing-masing.
Mereka perlu mengontrol kebijakan pimpinan AUM agar tidak berpotensi melahirkan raja-raja kecil—yang membuat kebijakan yang tidak satu komando dengan PP Muhammadiyah atau pimpinan level di atasnya.
Salah satu caranya adalah dengan turba ke bawah dan tetap dilakukan secara online. Mengapa disarakan secara online? Ini untuk membiasakan budaya baru pertemuan secara aman dan efisien sekaligus memberi teladan.
Teladan ini penting. Karena dia bisa menular. Sama bisa menularnya publikasi pengabaian protokol kesehatan. Karena itu PWMU.CO saat pandemi Covid-19 memberlakukan sensor.
Berita dan foto yang abai terhadap upaya penyelamatan jiwa tidak ditayangkan. Seperti berkegiatan dalam jumlah banyak atau beraktivitas tanpa masker dan menjaga jarak fisik. PWMU.CO ingin mengawal kebijakan PP Muhammadiyah.
Ini penting karena persoalannya bukan sekadar kebebasan, tapi menyangkut upaya penyelamatan nyawa. Dan kami sadar berita adalah salah satu insprasi. Maka jangan sampai jadi sumber ‘inspirasi’ negatif.
New normal tak boleh dipahami hanya sebagai kembali ke budaya lama dengan cara baru, misalnya pelatihan tatap muka dengan memerhatikan protokol kesehatan. Tapi yang lebih strategis adalah melahirkan budaya baru. Misalnya rapat atau pelatihan secara online. Sebisa mungkin, kalau tidak darurat hindari pertemuan fisik.
Gugus Tugas AUM
Yang juga penting dipikirkan adalah membentuk gugus tugas Covid-19 sampai di tingkat AUM, misalnya masjid dan sekolah atau madrasah. Tugas tim ini untuk memastikan kegiatan AUM tidak membahayakan keselamatan dan kesehatan jiwa warga.
Muhammadiyah Covid-19 Command Center (MCCC) bertanggung jawab atas gugus tugas di level AUM ini. Bekerja sama dengan pihak terkait, MCCC membentuk, melatih, mengkoordinasi, dan mengevaluasi hasil kerja tim ini.
Dari gugus tugas ini MCCC bisa bertindak pada AUM yang membuat kebijakan sendiri dan membahayakan keselamatan dan kesehatan warga. Sebaliknya MCCC juga harus memberi apresiasi pada AUM yang menjalankan kebijakan menjaga keselamatan dan kesehatan jiwa.
Kini sudah tanggal 1 Juli. Sebentar lagi tahun ajaran baru dimulai. Juga ibadah kurban akan segera tiba. Masih ada waktu untuk melakukan semua ini.
Apalagi Muhammadiyah oleh publik sudah dipersepsikan paling peduli dalam penanganan Covid-19 seperti survei LKSP atau Lembaga Kajian Strategis dan Pembangunan. Jangan sampai hal itu hanya bagus di luar tapi di dalam layaknya macan ompong!
Seperti raja besar yang peduli pada rakyatnya tapi dapat saingan raja-raja kecil yang tak memedulikannya, karena masing-masing mengaum, menunjukkan kekuasaannya. Padahal sebenarnya itu kekuasaan semu di tengah sistem sentralisasi wakaf harta benda milik Muhammadiyah. (*)