Baiat di Muhammadiyah ditulis oleh Syafiq A. Mughni, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah; Guru Besar UINSA Surabaya.
PWMU.CO – Baiat adalah sebuah institusi yang dikenal dalam Islam. Ia memiliki landasan normatif dan historis dalam perjalanan umat Islam.
Dengan baiat, umat bisa bersatu tetapi akibat baiat, umat bisa terjebak dalam konflik dan peperangan. Karena itu, perlu mendudukkan baiat dalam arti yang sebenarnya.
Persoalan baiat muncul ketika ada banyak pemimpin dalam banyak komunitas dan ketika ada banyak pemimpin dalam level dan lokal yang berebda-beda.
Dasar Normatif Baiat
Nabi Muhammad SAW bersabda, “Barangsiapa yang tidak berbaiat, maka ia meninggal dalam keadaan jahiliyah (HR Muslim). Hadis lain menyebutkan bahwa Nabi SAW memerintahkan baiat kepada seorang pemimpin dan mematuhinya sedapat mungkin. Jika orang lain yang mengklaim menjadi pemimpin, naka bunuhlah yang kedua itu. (HR Muslim)
Dalam al-Quran Surat al-Fath Ayat 18, Allah berfirman, yang terjemahnya kira-kira, “Allah telah meridhai orang-orang Mukmin ketika berbaiat kepadamu (Muhammad) di bawah pohon. Maka Allah mengetahui apa yang ada di hati mereka, dan menurunkan ketenangan atas mereka dan memberikan balasan dengan kemenangan yang dekat.”
Ayat ini berkaitan dengan peristiwa yang dikenal dengan Baitur Ridwan. Menurut riwayat, telah datang serombongan penduduk Kota Madinah yang menemui Nabi di luar Kota Makkah. Mereka menyatakan diri masuk Islam dan mengakui kepemimpinan Nabi Muhammad SAW. Ketika Islam semakin kuat, banyak suku-suku di Jazirah Arabia menyatakan kesetiaan kepada Nabi dengan ber-baiat.
Pada zaman Nabi, baiat itu diberikan tentunya kepada Nabi. Semua orang yang masuk Islam berbaiat, yakni menyatakan loyalitas kepada Nabi sebagai satu-satunya pemimpin umat. Nabi sendiri tidak dibaiat karena telah ditetapkan oleh Allah sebagai nabi, rasul, dan pemimpin tertinggi yang harus dipatuhi.
Baiat itu berubah ketika Nabi wafat. Para sahabat berbaiat untuk loyal kepada Abu Bakar dan khalifah-khalifah Rasyidun sesudahnya, tetapi khalifah itu dibaiat oleh sahabat-sahabat Nabi.
Perubahan itu juga terjadi pada cara ber-baiat. Ketika umat Islam telah tersebar di tempat yang jauh dari Madinah, maka baiat itu tidak dilaksanakan dengan tatap muka (face to face) tetati cukup dengan de facto mengakui kepemimpinan khalifah.
Dalam perkembangan selanjutnya, cara ber-baiat itu berubah lagi ketika baiat itu diwakilkan kepada sekelompok orang yang dipandang memiliki pengaruh dan pengetahuan.
Baiat Masa Kini
Pada masa sekarang ini, bentuk baiat itu sendiri berubah lebih jauh lagi jika diukur dengan praktiknya pada zaman Nabi SAW. Sebagai contoh, dam lembaga tarekat setiap murid (pengikut) harus berbaiat kepada mursyid (pemimpin).
Karena banyaknya jumlah tarekat sekarang ini, maka tentu muncul banyak mursyid, dan masing-masing murid berbaiat kepada mursyid-nya masing-masing. Setiap sekte (agama) Ahmadiyah juga memiliki pemimpin yang berhak membaiat jamahnya sendiri.
Konon, di kalangan LDII (dulu dikenal dengan Darul Hadits atau Islam Jamaah), baiat (pernyataan loyal) itu diberikan kepada pemimpinnya sebagai syarat keislamannya.
Persis (Persatuan Islam) menggunakan istilah baiat untuk acara pengambilan sumpah dalam pelantikan pengurus baru untuk memulai sesuatu jabatan kepengurusan. Jadi, dalam Persis, yang berbaiat adalah pengurus, bukan anggota.
Baiat Ideologis
Sesungguhnya baiat itu tidak hanya berisi pernyataan pengakuan atas kepemimpinan tetapi juga komitmen terhadap ideologi. Orang harus berbaiat akan loyal kepada pemimpin juga harus berbaiat tidak akan taat kepada pemimpin yang zalim.
Dalam hal ideologi, Baiat Aqabah Pertama menjadi contoh komitmen untuk bertauhid, menjauhi syirik, tidak akan melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Allah, misalnya mencuri, membunuh, memfitnah, dan akan berjuang menegakkan keadilan.
Baiat sangat diperlukan sebagai kontrak sosial antara pemimpin dan yang dipimpin. Pemimpin ber-baiat (berjanji) untuk melaksanakan amanah, dan anggota berjanji untuk taat kepada pemimpin dan hukum-hukum yang berlaku.
Institusi baiat adalah sesuatu yang logis dalam setiap jamaah, organisasi, atau umat. Namun demikian, jika ditarik ke situasi sekarang, makna dan bentuk baiat itu harus berubah agar tetap berfungsi dalam kehidupan organisasi atau gerakan.
Baiat bisa dilakukan dengan berbagai bentuk; bisa dilakukan dengan ucapan, perbuatan (misalnya, jabatan tangan), bisa dengan tulisan, atau dengan ijmak sukuti (konsensus diam-diam).
Baiat di Muhammadiyah
Mengisi formulir menjadi anggota Muhammadiyah berarti berbaiat menaati seluruh aturan organisasi, termasuk hak dan kewajiban anggota. Mengisi formulir kesediaan dipilih menjadi pimpinan berarti berbaiat untuk melaksanakan amanah jika terpilih.
Karena itu, jika anggota Muhammadiyah meninggal, insyaallah tidak akan mati dalam keadaan jahiliyah karena Muhammadiyah adalah organiasi Islam.
Baiat juga bisa dilaksanakan secara berbeda-beda, sesuai dengan statusnya. Pemain sepak bola berbaiat akan loyal kepada pelatih (imam); mahasiswa berbaiat kepada universitas atau rektor (imam); dan jamaah tarekat berbaiat kepada mursyidnya masing-masing.
Jika tidak demikian, akan terjadi zaman jahiliyah yang digambarkan sebagai zaman anarki, kezaliman, dan ashabiyah (fanatisme kesukuan).
Pemimpin perlu ber-baiat, yakni janji melaksanakan tugasnya dengan baik sesuai dengan amanah. Tanpa sikap anamah pemimpin, maka organisasi, jamaah atau bangsa akan menjadi jahiliyah. Jika amanah diabaikan, tunggulah kehancuran.
Baiat adalah janji loyalitas dan komitmen. Model baiat bisa bermacam-macam, dan karena itu tidak boleh dipahami secara sempit apalagi digunakan untuk mengkafirkan orang lain. (*)
Atas izin penerbit Hikmah Press Surabaya, tulisan berjudul Baiat dalam buku Manifestasi Islam Mengurai Makna Agama dalam Kehidupan Masyarakat (2017) ini dimuat ulang oleh PWMU.CO.
Editor Mohammad Nurfatoni.