PWMU.CO– Kisah hidup di Panti Muhammadiyah terkuak ketika adik kelas di SMA Muhammadiyah 1 Sumenep dahulu menghubungi saya bulan lalu. Dia memberitahu, sekolah minta saya memberikan testimoni di acara siswa.
Ini kali kedua saya diminta testimoni untuk sekolahku. Dulu menggunakan pesan suara. Kini menggunakan tulisan didesain dalam flyer untuk sosmed.
Saya tuliskan: SMA Muhammadiyah 1 Sumenep, mendidik dengan hati, membimbing dengan kesabaran, dan melatih dengan keandalan. Membekali ilmu, keterampilan, dan budi pekerti serta iman untuk masa depan nan gemilang.
Pesan itu mengintakan saya saat lulus madrasah tsanawiyah. Waktu itu hanya dua pilihan: ikut berlayar ke Kalimantan. Atau bertani dan jadi nelayan seperti orangtua. Tak ada bayangan melanjutkan ke SMA apalagi perguruan tinggi. Orangtua tak punya biaya.
Ketika mempersiapkan ikut berlayar, datanglah tawaran sekolah ke SMA Muhammadiyah. Gratis. Tinggal sekolah. Makan, seragam, buku, dan biaya lainnya ditanggung. Syaratnya satu. Tinggal di Panti Asuhan Muhammadiyah. Tawaran itu langsung saya terima. Setidaknya inilah asa yang saya impikan.
Tiba di Panti Asuhan Muhammadiyah Sumenep, Jalan Pahlawan IV/1, Ahad sore. Panti ini semula bangunan SMA Muhammadiyah yang kemudian pindah ke timur, sekitar 2,5 km. Bangunan lama dipakai panti.
Ketika saya datang, sudah ada empat penghuni baru. Tiga SMA dan satu SMP. Plus penghuni lama dua siswa SMA dan 4 SMP. Total 11 anak. Panti ini baru dua tahun berjalan.
Ikuti Pengajian
Kegiatan di panti, pagi sekolah dari Senin sampai Sabtu. Sore bermain atau menyelesaikan tugas sekolah. Malam mengaji. Terkadang latihan ceramah, atau belajar fikih. Ahad libur, diisi dengan kerja bakti, mencuci, memperbaiki sepeda, dan belajar kelompok di rumah teman.
Khusus Selasa malam Rabu, wajib mengikuti pengajian Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Kota Sumenep. Tempat pengajian ini berpindah-pindah, dari rumah-rumah anggota Muhammadiyah se-Kota Sumenep.
Selepas shalat Maghrib, kami bersepeda ke tempat pengajian. Kadang dekat, kadang juga jauh. Semua kami lakukan dengan riang gembira. Apalagi ada hadiah menarik. Makan besar dengan menu istimewa.
Dari pengajian ini kami mengenal Muhammadiyah lebih dalam. Mengetahui kegiatan organisasi dan tahu amalan ibadahnya. Ustadz menyampaikan kajian beragam topik. Sesuai keahliannya. Ada yang menarik. Juga ada yang membosankan. Kami tetap mengikuti sampai Isya. Kemudian shalat berjamaah, lalu makan.
Prestasi Sekolah
Di sekolah lancar saja. Secara akademik, anak panti bagus prestasinya. Saya masuk peringkat lima besar. Walau pun kami anak kampung bahkan dari pulau bisa mengungguli anak-anak kota.
Semua teman tahu kami anak panti asuhan. Tak ada perlakuan istimewa dari guru-guru. Tapi ada kewajiban tak tertulis kami harus jadi teladan sebagai anak-anak Muhammadiyah.
Kami pun jadi aktivis sekolah. Menghidupkan Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM). Mulai pimpinan ranting, cabang, hingga daerah. Juga mengadakan bakti sosial dan seminar dengan nara sumber top. Pertandingan persahabatan bola voli dengan sekolah lain juga dibuat. Aktivitas di SMA selama tiga tahun ini sangat menyenangkan.
Mencari Jalan Kuliah
Selepas SMA anak-anak panti keluar daerah. Mencari jalan sendiri. Ada yang ikut teman kuliah di kota. Ada pula yang kuliah mandiri. Saya berangkat ke Malang. Menjadi marbot masjid. Ikuti teman yang sudah lebih dulu tinggal di situ.
Teringat pesan Imam Syafi’i. ”Merantaulah… orang berilmu dan beradab tidak diam di kampung halaman. Tinggalkan negerimu dan hidup asing. Merantaulah… kau akan dapatkan pengganti dari orang-orang yang engkau tinggalkan. Berlelah-lelahlah. Manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang.”
Di Malang, terbuka jalan bagi saya masuk perguruan tinggi. Saya masuk Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Melanjutkan jadi aktivis kampus. Ikut jenjang perkaderan: Taruna Melati Utama (TMU), Pelatihan Melati Paripurna (PPPM), dan Pelatihan Instruktur Nasional (Pinas).
Semua teman anak panti juga jadi aktivis kampus. Di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), IRM. Tapi ada juga yang tidak jadi aktivis. Teman-teman seangkatan lima orang itu saat lulus, tiga orang menjadi pimpinan Muhammadiyah Cabang, Daerah, maupun Wilayah.
Kisah hidup di Panti Muhammadiyah juga melahirkan Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah periode 2018-2022 Sunanto. Dia aktif di IRM SMA. Lalu menemukan jalan aktif di IMM saat kuliah di Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Lantas menjadi Ketua Umum Dewan Pimpinan Daerah IMM Jawa Tengah, menjadi pimpinan DPP IMM, menjadi anggota Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah, dan sekarang Ketua Umumnya.
Pabrik Kader
Panti Asuhan Muhammadiyah bisa jadi pabrik kader kalau dipersiapkan dengan baik. Anak-anak panti siap melanjutkan kepemimpinan masa depan. Panti memiliki sumber dana, doktrin, dan ikatan kuat untuk mencetak kader potensial.
Jika ketika masuk panti di usia SMA, berarti setiap anak minimal punya waktu tiga tahun dididik. Apalagi jika sejak SD hingga perguruan tinggi. Sangat panjang waktu yang dimiliki untuk dididik jadi kader apa pun.
Anak panti bisa tampil sebagai pemimpin dengan syarat, pertama, pengelola yang andal. Kedua, ada kurikulum seperti pesantren. Ketiga, kegiatan keterampilan hidup agar mereka bisa mandiri. Keempat, dilibatkan dalam kegiatan Muhammadiyah.
Potensi ini kurang tergarap. Akibatnya ada alumni panti pulang tak bisa memengaruhi keluarga dan masyarakatnya. Kembali ke habitat seperti tak pernah bersentuhan dengan Muhammadiyah.
Sindiran imam Syafii seperti nyata. ”Aku melihat air menjadi rusak karena diam tertahan, jika mengalir menjadi jernih, jika tidak, akan keruh menggenang.”
”Singa jika tak tinggalkan sarang, tak akan dapat mangsa, anak panah jika tak tinggalkan busur, tak akan kena sasaran.”
”Jika matahari di orbitnya tak bergerak dan terus berdiam, tentu manusia bosan padanya dan enggan memandang.”
Karena itu perlu upaya keras menjadikan panti asuhan sebagai ladang persemaian kader agar Muhammadiyah terus berkibar di masa yang akan datang. Biji emas tak ada bedanya dengan tanah biasa di tempatnya sebelum ditambang. (*)
Penulis Mohammad Ernam Editor Sugeng Purwanto